logo Kompas.id
RisetPengungsi Rohingya dan Visi...
Iklan

Pengungsi Rohingya dan Visi Perdamaian Para Calon Pemimpin Negara

Krisis kemanusiaan dari arus pengungsi etnis Rohingya dapat menjadi beban dan ancaman bagi stabilitas keamanan nasional.

Oleh
YULIUS BRAHMANTYA PRIAMBADA
· 5 menit baca
Pengungsi Rohingya saat berada Pantai Ujung Kareung, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang, Provinsi Aceh, Rabu (22/11/2023). Arus kedatangan pengungsi etnis Rohingya asal Myanmar ke Provinsi Aceh semakin deras dan mulai timbulkan dilema. Kini mulai muncul riak-riak penolakan dari warga.
IRMAN UNTUK KOMPAS

Pengungsi Rohingya saat berada Pantai Ujung Kareung, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang, Provinsi Aceh, Rabu (22/11/2023). Arus kedatangan pengungsi etnis Rohingya asal Myanmar ke Provinsi Aceh semakin deras dan mulai timbulkan dilema. Kini mulai muncul riak-riak penolakan dari warga.

Indonesia kedatangan arus pengungsi etnis Rohingya asal Myanmar. Situasi krisis kemanusiaan ini menjadi tantangan bagi para pemimpin Indonesia berikutnya untuk terus mengampanyekan perdamaian dunia dan mencegah makin banyaknya pengungsi akibat konflik.

Sejak pertengahan November 2023, gelombang pengungsi etnis Rohingya, Myanmar, mendarat di Indonesia. Gelombang pertama tiba pada 14 November 2023. Ketika itu sedikitnya 196 imigran etnis Rohingya mendarat di pesisir Desa Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Hingga 10 Desember 2023, tercatat ada sembilan gelombang kedatangan para pengungsi etnis Rohingya yang membawa sekitar 1.600 orang. Mereka semua terdampar di Provinsi Aceh yang tersebar di Kota Sabang, Pidie, Aceh Besar, dan Lhokseumawe.

Gelombang kedatangan para pengungsi dalam waktu singkat dengan jumlah besar ini kemudian menuai respons dari berbagai kalangan masyarakat. Sebagian menginginkan agar Pemerintah Indonesia menampung para pengungsi karena alasan kemanusiaan.

Di sisi lain, tak sedikit yang menolak kedatangan para pengungsi tersebut. Mereka beralasan, para pengungsi dapat menambah beban ekonomi dan menimbulkan konflik sosial bagi masyarakat sekitar.

Baca juga: Rohingya dan Komitmen Indonesia Lindungi Pengungsi Dunia

Pengungsi Rohingya saat ditampung di SMPN 2 Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (27/12/2022). Gelombang pengungsi terus berdatangan ke Aceh. Dalam catatan<i> Kompas</i>, sudah belasan kali kapal pengungsi Myanmar itu masuk ke Aceh dengan total penumpang 1.802 orang sejak 2011.
SALMAN UNTUK KOMPAS

Pengungsi Rohingya saat ditampung di SMPN 2 Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (27/12/2022). Gelombang pengungsi terus berdatangan ke Aceh. Dalam catatan Kompas, sudah belasan kali kapal pengungsi Myanmar itu masuk ke Aceh dengan total penumpang 1.802 orang sejak 2011.

Dilema semacam itu sejatinya bukanlah hal baru bagi republik ini. Setidaknya sudah selama enam tahun belakangan Pemerintah Indonesia terjepit dalam dilema terkait dengan pengungsi etnis Rohingya. Ini terutama bermula sejak Agustus 2017, ketika militer Myanmar melakukan serangan dalam skala besar di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, tempat mayoritas etnis Rohingya menetap.

Diskriminasi rasial

Aksi kekerasan yang semakin meluas lantas memaksa sekitar 700.000 warga etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, negara tetangga terdekat. Arus eksodus ini terus terjadi hingga sekarang. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi masalah pengungsi, yaitu Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), memperkirakan, hingga pertengahan 2023, terdapat sekitar 1,29 juta jiwa pengungsi dari Myanmar yang tersebar di banyak negara.

Dari jumlah itu, 84,4 persen atau sekitar 1,1 juta orang di antaranya merupakan etnis Rohingya. Persentase yang begitu besar itu karena mereka merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan. Sejak 1982, Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya sebagai etnis yang diakui oleh negara.

Dengan demikian, seluruh orang Rohingya di Myanmar dicabut hak kewarganegaraannya dan dianggap sebagai penghuni ilegal. Diskriminasi terhadap etnis Rohingya ini semakin bertambah parah seiring dengan menguatnya kelompok nasionalis Buddha di Myanmar.

Melansir laporan dari Council on Foreign Relations, warga etnis Rohingya di Myanmar harus mendapatkan izin untuk bepergian dan menikah. Para pasangan Rohingya juga hanya diperbolehkan memiliki maksimal dua anak. PBB bahkan sampai menyatakan etnis Rohingya sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling terpersekusi di dunia.

Kembali pada konteks krisis pengungsi, Indonesia sejatinya bukan tujuan utama para pengungsi asal Myanmar tersebut. Ini dapat terlihat hanya sekitar 0,1 persen atau 1.600 orang dari 1,29 juta pengungsi Myanmar yang tercatat berada di Indonesia hingga Desember 2023.

Iklan

Mayoritas pengungsi Rohingya menempati Bangladesh, yakni sebesar 74,6 persen atau 967.842 jiwa. Setelah itu, disusul Malaysia yang menjadi negara tujuan kedua dengan 12,2 persen, dan berikutnya mengarah ke Thailand sebanyak 7,0 persen dan India sekitar 6,1 persen.

Meski Indonesia hanya menerima bagian kecil dari total jumlah pengungsi, kedatangan para pengungsi etnis Rohingya ini memantik perhatian nasional. Di satu sisi, banyak pihak yang menghendaki Pemerintah Indonesia menerima pengungsi sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.

Baca juga: Tragedi Rohingya di Dekat Kita

https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/12/10/35021ded-b7b4-413c-9dd1-f3585702bff9_gif.gif

Namun, di sisi lainnya, masyarakat di sejumlah daerah di Aceh dilaporkan enggan menerima pengungsi Rohingya ini. Mereka beralasan, para pengungsi Rohingya yang telah ditampung menunjukkan perilaku yang kurang baik dan kabur dari kamp pengungsian (Kompas.id, 19/11/2023).

Isu pengungsi Rohingya ini mengingatkan bahwa Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari krisis keamanan dan konflik internal negara lain. UNCHR mencatat, hingga 2023, ada sekitar 12.818 pengungsi dan pencari suaka yang berada di Indonesia. Hampir semuanya berasal dari negara-negara yang didera konflik berkepanjangan.

Afghanistan menjadi negara asal mayoritas para pengungsi yang ada di Indonesia, yakni mencapai 6.572 jiwa atau separuh dari total pengungsi. Pengungsi dari Myanmar hanya mencakup sekitar 12,5 persen dari total pengungsi di Indonesia. Selanjutnya, proporsi pengungsi terbesar berikutnya disusul dari Somalia (9,7 persen), Irak (4,7 persen), Sudan (3,8 persen), dan negara-negara lainnya (18 persen).

Ketahanan negara

Krisis arus pengungsi dalam jumlah besar telah terbukti melahirkan dampak turunan bagi keamanan dan stabilitas nasional di sejumlah negara, seperti Turki, Jerman, Perancis, dan Yunani. Ini disebabkan para pemerintah negara tuan rumah perlu menyediakan tempat tinggal dan logistik untuk merawat para pengungsi. Belum lagi permasalahan keberlanjutan kehidupan para pengungsi, seperti pendidikan dan pekerjaan.

Menyadari bahwa isu pengungsi ini memiliki arti penting bagi ketahanan negara, menarik untuk mencermati bagaimana para calon pemimpin Indonesia berikutnya membawa isu ini di dalam visi-misi yang mereka usung.

Berdasarkan hasil penelusuran terhadap dokumen visi-misi setiap pasangan calon (paslon), tidak ada satu pun yang secara khusus menyebutkan kata ”pengungsi”. Meskipun demikian, tiap-tiap paslon tampak memiliki gagasan yang cukup serupa dalam menjawab tantangan terkait dengan krisis pengungsi ini. Mereka semua menghendaki Indonesia dapat menjadi aktor global dalam menciptakan perdamaian dunia, yang secara langsung dapat mencegah timbulnya krisis-krisis pengungsi di kemudian hari.

Baca juga: Gelombang Pengungsi Banjiri Aceh, Presiden Nilai Kemungkinan Kuat Keterlibatan Jaringan TPPO

Pengungsi Rohingya saat berada Pantai Ujung Kareung, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang, Provinsi Aceh, Rabu (22/11/2023). Arus kedatangan pengungsi etnis Rohingya asal Myanmar ke Provinsi Aceh semakin deras dan mulai timbulkan dilema. Kini mulai muncul riak-riak penolakan dari warga.
IRMAN UNTUK KOMPAS

Pengungsi Rohingya saat berada Pantai Ujung Kareung, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang, Provinsi Aceh, Rabu (22/11/2023). Arus kedatangan pengungsi etnis Rohingya asal Myanmar ke Provinsi Aceh semakin deras dan mulai timbulkan dilema. Kini mulai muncul riak-riak penolakan dari warga.

Pada kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, hal ini tertuang dalam visi ”Memperkuat Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara”. Di dalam salah satu agenda visi tersebut, kubu Anies-Muhaimin ingin menjaga amanah Dasasila Bandung KAA 1955 dengan menyebarkan nilai-nilai kedaulatan, keadilan, dan hak asasi manusia.

Hal ini lebih kurang juga diutarakan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam visi ”Mempercepat Peningkatan Peran Indonesia dalam Mewujudkan Tata Dunia Baru yang Lebih Berkeadilan”. Mereka secara gamblang menyebutkan hendak menjalankan politik bebas aktif dengan prinsip Dasasila Bandung. Selain itu, Ganjar-Mahfud juga ingin memperkuat pelibatan global Indonesia yang otonom dalam forum bilateral dan multilateral dalam memperjuangkan perdamaian dunia.

Di lain sisi, kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tidak secara eksplisit mengusung prinsip-prinsip Dasasila Bandung di dalam gagasan pertahanan negara. Namun, melalui visi ”Memantapkan Sistem Pertahanan Keamanan Negara dan Mendorong Kemandirian Bangsa”, mereka berkeinginan untuk melanjutkan peran aktif Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia dalam forum-forum bilateral ataupun multilateral sesuai dengan amanat konstitusi.

Dari uraian mengenai visi-misi ketiga paslon tersebut, dapat dimaknai bahwa secara tidak langsung para calon pemimpin bangsa berusaha mengatasi krisis kemanusiaan, termasuk konflik dan juga pengungsian, langsung pada akar persoalannya, yakni turut menciptakan perdamaian dunia. Ketiganya berupaya supaya Indonesia dapat menjadi aktor utama dalam upaya tersebut, yang dapat dilakukan melalui jalur-jalur diplomasi bilateral dan multilateral.

Harapannya, terciptanya perdamaian dapat mencegah konflik dunia sekaligus meminimalkan keberadaan pengungsi akibat konflik atau peperangan. Perdamaian juga menjadi harapan meluasnya kolaborasi negara-negara di dunia dalam mengatasi ketimpangan dan permasalahan yang terjadi antarbangsa di dunia. (LITBANG KOMPAS)

Editor:
BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000