Kandang Banteng di Timur Jabar
Meski PDI-P tak pernah menduduki ranking pertama di dua pemilu terakhir, wilayah timur Jawa Barat menjadi basis utamanya. Namun, bayangan pragmatisme masyarakat mengancam perolehan suara partai berlogo banteng tersebut.
Dominasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P di wilayah timur Jawa Barat tak bisa lepas dari nama besar Presiden Soekarno dengan nasionalismenya yang menjadi idola sebagian besar masyarakat wilayah itu.
Pada Pemilu 1955, Partai Nasional Indonesia (PNI) unggul di wilayah Cirebon, terutama dominan di Kabupaten Majalengka dan Kuningan. Sementara di Jawa Barat sebagai provinsi, PNI hanya menduduki peringkat kedua setelah Masyumi yang menduduki peringkat pertama dengan meraih 26 persen suara.
Pada Pemilu 1955, PNI meraih 9.852 suara atau 20 persen dari total suara di Kota Cirebon, sementara di Kabupaten Cirebon mendulang 63.916 suara atau 16 persen. Kemudian di Kabupaten Kuningan 81.160 suara (36 persen), Kabupaten Indramayu53.639 (16 persen), dan Kabupaten Majalengka tertinggi, yakni 125.134 suara atau 41 persen.
Kala kekuasaan Presiden Soekarno dan Orde Lama runtuh, dominasi PNI di wilayah itu pun dikuasai Golkar bersama Orde Baru. Masyarakat yang beda pandangan dengan rezim Orde Baru dibungkam sehingga masyarakat menjadi apatis, trauma, dan takut kalau berbicara politik.
Alhasil, Golkar sebagai partai baru mampu mendominasi suara di wilayah Cirebon dalam Pemilu 1971-1997. Melalui kekuatan penguasa birokrasi, Golkar mampu memaksa pendukung PNI untuk bergabung dalam mesin politik pemerintah. Pada periode itu, suara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hasil fusi partai nasionalis yang dimotori PNI hanya meraih suara kurang dari 5 persen.
Pada Pemilu 1971, misalnya, rata-rata perolehan PDI di kabupaten/kota di wilayah Cirebon hanya 2 persen, sementara pada Pemilu 1997 suara PDI di wilayah itu hanya 1 persen. Adapun Golkar sebagai partai penguasa meraih mayoritas suara di atas 80 persen.
Setelah kekuasaan Orde Baru runtuh, kungkungan yang dirasakan masyarakat Cirebon lepas. Ideologi nasionalis pun kembali menjadi pilihan sebagian besar masyarakat wilayah Cirebon. Pada Pemilu 1999, perolehan suara PDI-P yang dipimpin Megawati Soekarnoputri di wilayah itu duduk di posisi pertama, bahkan persentese perolehan suara partai itu di atas rata-rata Jawa Barat.
Pada Pemilu 1999, PDI-P unggul di Jawa Barat dengan meraih 7,5 juta suara atau 32,5 persen dari suara sah. Sementara di wilayah Cirebon, perolehan suara partai tersebut di atas 40 persen.
Di Kabupaten Cirebon, misalnya, PDI-P meraih 43,5 persen, Kuningan 40,3 persen, dan Majalengka 37,1 persen. Sementara di Indramayu yang menjadi basis tradisional Golkar, PDI-P meraih 42 persen suara.
Pada pemilu-pemilu berikutnya, PDI-P masih menguasai wilayah itu, kecuali Indramayu yang dikuasai Golkar hingga Pemilu 2019. Sementara Kuningan sempat dimenangi Golkar pada Pemilu 2004 dan Kota Cirebon dikuasai Golkar pada Pemilu 2004. Kemudian, Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Selebihnya, partai berlambang banteng moncong putih itu menguasai wilayah timur Jawa Barat.
Baca juga : Partai Gerindra Menjaga Kantong Suara Utama di Jabar
Peran tokoh
Menurut budayawan wilayah Cirebon, Supali Kasim, keunggulan partai nasionalis di wilayah Cirebon tak bisa lepas dari munculnya tokoh-tokoh di era Reformasi yang militan terhadap warisan nasionalisme Soekarno. Tokoh-tokoh itu muncul di tingkat kecamatan dan menjatuhkan pilihan pada PDI-P karena dianggap partai pewaris nasionalisme Soekarno.
”Militansi itu kemudian dipelihara dan diwariskan pada keturunan dan orang-orang di sekitarnya. Hal itu kemudian diperkuat dengan mekanisme organisasi sehingga ideologi nasionalisme makin mengakar di masyarakat,” kata Supali.
Supali juga menjelaskan, ideologi PDI-P yang kuat mengakar di masyarakat dan didukung tokoh-tokoh yang merakyat sehingga menjadi gerakan masif yang membuat orang-orang berpendidikan dan birokrat menjadi simpatisan partai tersebut.
Hal senada dikatakan dosen FISIP Universitas Swadaya Gunungjati, Khaerudin. Ia mengatakan, militansi itu secara historis tak bisa dilepaskan dari intimidasi yang mengakibatkan trauma bagi masyarakat di wilayah Cirebon di masa Orde Baru. Kala itu masyarakat Cirebon yang berbeda pilihan dari pemerintah kerap diintimidasi dan dibungkam oleh aparat.
Setelah reformasi, tokoh-tokoh yang terintimidasi itu muncul dan menjatuhkan pilihan pada PDI-P yang mereka anggap merepresentasikan wong cilik atau masyarakat kecil. Pilihan tokoh-tokoh itu kemudian diikuti oleh masyarakat sekitarnya.
Selain itu, Khaerudin menambahkan, dominasi PDI-P di wilayah Cirebon itu tak bisa lepas dari karakter peleburan masyarakat agraris dan pesisir yang lebih dekat secara kultural dengan Jawa dibandingkan Sunda yang menjadi etnis mayoritas di Jawa Barat.
Alhasil, pilihan politik masyarakat wilayah Cirebon pun cenderung mirip pilihan politik masyarakat Jawa Tengah yang menjatuhkan pilihan pada partai nasionalis PDI-P.
Hal senada dikatakan Ketut Swastiana, Sekretaris DPD PDI-P Jawa Barat. Menurut Ketut, kelompok nasionalis PNI dan partai nasionalis lain lebih dominan di Jawa Barat bagian timur pada 1955. Secara kultural masyarakat pantura itu abangan yang lebih cocok dengan ideologi partai nasionalis, dalam hal ini PDI-P. Kecocokan ideologi nasionalis itu terus berlanjut hingga sekarang.
Baca juga : Merebut Hati Pemilih yang Tidak Loyal
Kerja petugas parpol
Kedekatan secara kultural itu kemudian diperkuat kerja-kerja organisasi melalui tiga pilar, yakni eksekutif, legislatif, dan struktur partai, membuat PDI-P makin mendominasi wilayah tersebut.
Kabupaten Cirebon dan Majalengka dipimpin tokoh dari PDI-P sejak pilkada langsung tahun 2008. Kepemimpinan petugas partai di pemerintahan dua kabupaten itu dirasakan perannya di masyarakat sehingga pilihan politik masyarakatnya pun loyal pada partai pemenang.
Sejak pemilihan kepala daerah secara langsung, Kabupaten Majalengka selalu dipimpin oleh kepala daerah dari PDI-P. Dalam pilkada pertama tahun 2008, pasangan Sutrisno-Karna Sobahi yang diusung PDI-P unggul atas enam pasangan lainnya.
Pasangan itu kembali terpilih di periode keduanya, yakni 2013-2018, setelah mengalahkan tiga pasangan lainnya. Di kepengurusan partai, Sutrisno menjabat Ketua DPC PDI-P Majalengka, sementara Karna menjabat sebagai wakil ketua DPC.
Setelah dua periode sebagai bupati, Sutrisno maju sebagai calon anggota DPR dari dapil Jawa Barat IX yang meliputi Majalengka, Sumedang, dan Subang. Sementara Karna mencalonkan diri sebagai bupati periode 2018-2023 berpasangan dengan Tarsono yang menjabat Ketua DPRD Majalengka.
Pasangan yang diusung PDI-P itu terpilih menjadi bupati dan wakil bupati untuk periode 2019-2024, sementara Sutrisno lolos sebagai anggota DPR dari dapil tersebut.
Sutrisno yang memimpin dua periode dan kemudian diteruskan oleh Karna Sobahi untuk periode berikutnya kian menguatkan dominasi partai di eksekutif. Ditambah kinerja anggota dewan yang didominasi PDI-P, Majalengka praktis dikuasai partai nasionalis tersebut.
Alhasil, kombinasi warisan ideologis yang ditopang kinerja tokoh-tokoh parpol di Majalengka makin memperkuat citra parpol di masyarakat kabupaten itu. Apalagi, kerja mereka yang maksimal dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Majalengka.
Fenomena serupa terlihat di Kabupaten Cirebon. Meski perolehan suara di tingkat lokal cenderung menurun, suara PDI-P di tingkat pusat di daerah itu masih stabil dan mendominasi kabupaten itu sejak Pemilu 1999.
Sama seperti Majalengka, sejak pemilihan langsung, PDI-P memimpin eksekutif dan legislatif di Kabupaten Cirebon. Pada pilkada pertama tahun 2008, pasangan Dedi Supardi-Ason Sukasa yang diusung PDI-P berhasil memenangi kursi kepala daerah.
Lima tahun berselang, PDI-P mengusung kadernya sendiri, yakni pasangan Sunjaya-Gotas, dan berhasil memenangi pilkada langsung melalui dua putaran dengan mendapat 53,4 persen suara.
Di Pilkada 2018, Sunjaya kembali mencalonkan diri berpasangan dengan Imron Rosyadi, sementara Gotas gagal mencalonkan diri karena tersandung persoalan hukum di KPK. Pasangan Sunjaya-Imron berhasil memenangi pilkada, tetapi di tengah jalan Sunjaya terjerat kasus hukum dan posisinya digantikan Imron yang sebelumnya menjabat sebagai wakil.
Pada periode yang sama, pilihan masyarakat Kabupaten Cirebon juga jatuh pada PDI-P. Partai itu mendominasi di tingkat lokal selama empat periode, yakni 1999, 2004, 2009, dan 2014. Masyarakat memilih partai itu karena melihat kinerja tokoh-tokohnya di eksekutif yang dinilai berjasa membangun Cirebon.
Namun, pada Pemilu Legislatif 2019, suara caleg DPRD dari PDI-P di Kabupaten Cirebon turun drastis akibat tokoh-tokoh PDI-P di legislatif terjerat korupsi. Gotas saat menjabat wakil bupati terjerat kasus hukum pada 2015, sementara Sunjaya terjerat kasus hukum pada 2018 atau setelah ia dinyatakan sebagai pemenang Pilkada Kabupaten Cirebon 2018.
Meski demikian, suara di tingkat pusat masih tetap stabil dan berada di peringkat teratas. Stabilnya suara di tingkat pusat di Kabupaten Cirebon pada Pileg 2019 tak bisa lepas dari kerja mesin politik di tingkat pusat.
Ono Surono dan Selly Andriany terpilih sebagai anggota DPR dari dapil VIII dengan wilaya mencakup Cirebon dan Indramayu. Ono menjabat Ketua DPD PDI-P Jawa Barat, sedangkan Selly sebelumnya menjabat Wakil Bupati Cirebon mengantikan Gotas yang terjerat korupsi.
Baca juga : ”Medan Pertempuran” Tiga Matahari Politik
Tantangan
Jika dicermati lebih jauh, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) wilayah Cirebon yang menjadi basis suara PDI-P termasuk rendah. IPM mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk) berdasarkan dimensi hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak.
Di wilayah Cirebon, IPM di empat kabupaten (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan) di bawah rata-rata IPM Jawa Barat. Tahun 2022, misalnya, IPM Jawa Barat tercatat 73,12, sementara di Kuningan 70,16, Cirebon 70,06, Majalengka 68,56, dan Indramayu 68,55. Adapun IPM di Kota Cirebon di atas rata-rata Jawa Barat, yakni 75,89.
Senada dengan IPM, persentase penduduk miskin di basis massa itu juga terbilang tinggi, yakni di atas rata-rata Jawa Barat. Penduduk miskin di wilayah Cirebon rata-rata 12 persen pada periode 2017-2022, sementara di Jawa Barat hanya 8 persen. Persentase penduduk miskin tertinggi berada di Kabupaten Kuningan dan Cirebon, masing-masing 12,7 persen dan 12 persen.
Selain itu, tingkat penganguran terbuka di basis PDI-P itu juga terbilang tinggi, terutama di Kabupaten Kuningan dan Cirebon, dengan persentase di atas rata-rata Jawa Barat. Pengangguran terbuka di Kuningan dan Cirebon pada 2022 tercatat 11,68 persen dan 10, 38, sementara Jawa Barat di angka 9,8 persen.
Menurut Supali Kasim, rendahnya IPM dan tingginya tingkat pengangguran itu berdampak pada sikap pragmatisme masyarakat wilayah Cirebon. ”Orang akan memilih calon yang memberikan dana karena berpikir pragmatis, tidak berpikir bagaimana dengan uang itu, apakah yang dipilih itu punya kapasitas, kapabilitas, atau kompetensi,” kata Supali.
Sementara Khaerudin mengatakan, faktor uang ini dominan dalam memenangi suara di wilayah tersebut. Orang menganggap pesta demokrasi itu pesta rakyat untuk menerima dan mengambil uang dari kontestan. ”Pragmatisme terjadi karena faktor mengedepankan modal ekonomi,” katanya.
Rendahnya kualitas SDM dan pragmatisme masyarakat itu menjadi tantangan tersendiri bagi PDI-P dalam mempertahankan basis suaranya. Jika tidak diantisipasi, hal itu bisa menggerus suara partai yang sudah mendominasi wilayah itu selama 25 tahun. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Bandul Keseimbangan Baru Politik