Tantangan Pengembangan Layanan Kesehatan Daring, ”Telemedicine”
Masyarakat lebih memilih akses layanan kesehatan secara langsung dibandingkan konsultasi medis melalui media daring atau ”telemedicine”.
Upaya meningkatkan pemerataan akses layanan kesehatan melalui telemedicine atau konsultasi kesehatan daring belum termanfaatkan secara optimal di Indonesia. Masyarakat lebih memilih akses layanan kesehatan secara langsung dibandingkan konsultasi medis melalui media online.
Data Statistik Kesehatan 2022 menunjukkan bahwa penggunaan telemedicine di kalangan masyarakat masih rendah. Dalam setahun terakhir, hanya sekitar 5 persen masyarakat yang menggunakan layanan kesehatan jarak jauh itu.
Telemedicine atau telehealth merupakan sistem, alat, dan aplikasi yang memberikan akses layanan kesehatan dengan menghubungkan tenaga medis dengan pasiennya tanpa harus bertemu fisik secara langsung. Kosakata telemedicine muncul pada 1970-an yang diartikan sebagai menyembuhkan dari jauh.
Langkah praktis konsultasi kesehatan itu sayangnya belum jamak dilakukan oleh masyarakat luas. Salah satu faktor penyebabnya adalah ketidaktahuan dan kurang dianggap penting layanan tersebut oleh masyarakat. Alasan utama yang terlaporkan dalam Data Statistik Kesehatan 2022 itu menyebutkan masyarakat lebih memilih mengunjungi fasilitas layanan kesehatan secara langsung daripada telemedicine. Enam dari sepuluh responden menyatakan alasan demikian. Selain itu, ada 22,6 persen responden lain yang menilai penggunaan telemedicine dianggap belum perlu. Bahkan, ada sebagian kecil responden lain yang tidak megetahui adanya telemedicine itu.
Fenomena tersebut sejatinya agak bertolak belakang dengan situasi saat wabah Covid-19 melanda. Pasalnya, selama pandemi, telehealth menjadi sistem aplikasi yang sering kali digunakan sehari-hari. Telehealth digunakan secara nasional untuk menunjukkan status kesehatan seseorang berkaitan dengan mewabahnya virus Covid-19. Melalui aplikasi Peduli Lindungi yang sekarang berubah menjadi aplikasi Satu Sehat, status kesehatan dan riwayat vaksin seseorang tercatat dengan baik demi mencegah penularan. Aplikasi itu menunjukkan data bukti seseorang tentang kesehatannya sebagai syarat memasuki ruang publik atau bepergian menggunakan transportasi publik.
Baca juga: Digitalisasi Kesehatan untuk Pemerataan Akses
Saat pandemi, masyarakat relatif terbiasa menggunakan fasilitas telemedicine. Pembatasan aktivitas dan rentannya fasilitas kesehatan terhadap penularan virus Covid-19 menyebabkan masyarakat yang ingin memeriksakan kesehatannya harus mencari cara lain agar tidak perlu mendatangi dokter atau tenaga medis secara langsung. Aplikasi telemedicine yang sudah banyak beredar di Indonesia menjadi solusi kala itu.
Popularitas telemedicine meningkat pada masa pandemi. Berdasarkan laporan Menteri Kesehatan pada rapat kabinet terbatas April 2020 (sebulan awal pandemi Covid-19), sebanyak 15 juta orang mengakses telemedicine. Doddy Lukito, Co-Founder Halodoc, menyebutkan, pada periode Maret-Mei 2020, transaksi konsultasi daring dengan dokter meningkat enam kali lipat dan jumlah pengguna aktif per bulan mencapai 20 juta orang.
Pemanfaatan telemedicine
Meskipun sudah terbiasa menggunakan telemedicine saat pandemi, hanya sebagian kecil yang kemudian berlanjut memanfaatkan layanan tersebut. Mereka yang terus memanfaatkan mayoritas adalah penduduk perkotaan dan berada pada status ekonomi menengah atas. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat perkotaan cenderung sudah terbiasa dan bergantung pada layanan daring berbasis digital ini. Selain itu, mereka juga terbiasa mencari layanan yang paling efektif dari segi waktu dan jarak sehingga fasilitas yang ditawarkan telemedicine ini menjadi sangat bermanfaat bagi masyarakat urban.
Sebaliknya, di perdesaan, masyarakat masih terbiasa dengan kegiatan yang berbasis tatap muka. Dalam mengakses layanan kesehatan, mereka lebih memilih mengunjungi klinik praktik dokter, puskesmas, atau klinik pengobatan tradisional.
Fenomena tersebut menyebabkan pengguna aplikasi telemedicine terfokus di kawasan perkotaan. Sebesar 21,9 persen layanan kesehatan daring diunduh dan dimanfaatkan oleh masyarakat perkotaan, sedangkan untuk penduduk perdesaan hanya sekitar 7,01 persen. Masyarakat suburban lebih banyak mengakes layanan telehealth ini melalui komunikasi telepon, SMS, atau media lain di luar aplikasi telemedicine.
Baca juga: Digitalisasi dan Kecepatan Jaringan Internet Bantu Perkuat Layanan Kesehatan
Secara umum, pemanfaatan telemedicine, baik di perkotaan ataupun di perdesaan, cenderung sebatas layanan sederhana. Separuh dari masyarakat yang menggunakan fasilitas telehealth itu untuk mendaftarkan diri ke fasilitas kesehatan. Sejauh ini, fasilitas kesehatan memang sudah membuka layanan pendaftaran pasien melalui daring, baik menggunakan telepon maupun aplikasi. Layanan ini memang bermanfaat untuk mengurangi antrean pendaftaran serta memberikan kepastian kepada pasien untuk datang ke fasilitas kesehatan tanpa harus menunggu jadwal dokter tersedia secara offline.
Selain untuk mengantre atau mengatur jadwal kunjungan, fasilitas telehealth itu juga dimanfaatkan untuk konsultasi kesehatan. Sebesar 43,6 persen responden mengakui demikian. Gejalan sakit ringan biasanya dikonsultasikan melalui telehealth ini daripada mengunjungi fasilitas kesehatan secara langsung.
Optimalisasi telemedicine
Masih terbatasnya pemanfaatan telemedicine menjadi tantangan untuk mengembangkan layanan kesehatan jarak jauh di Indonesia. Pandemi Covid-19 memang menjadi momentum untuk mengenalkan dan memperluas jangkauan pemanfaatan telehealth itu. Namun, hal tersebut belum cukup untuk menggerakkan masyarakat mengakses telemedicine. Padahal, banyak kemudahan terutama dari sisi edukasi kesehatan dan juga kemudahan akses yang ditawarakan melalui layanan itu. Hanya saja, belum seluruh masyarakat mau terus memanfaatkan kemudahan yang disediakan dari telemedicine ini.
Padahal, telemedicine itu memiliki potensi besar untuk mengurangi kesenjangan akses kesehatan di Indonesia. Terutama di daerah-daerah perdesaan dan pelosok yang minim fasilitas medis.
Diperlukan langkah strategis untuk memperluas dan meningkatkan akses telemedicine oleh masyarakat. Kementerian Kesehatan telah melakukan transformasi kesehatan digital. Salah satu dari tiga poin penting yang didorong adalah perluasan teknologi telemedicine di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Dengan BPJS, layanan itu sudah bisa menghubungkan dokter di FKTP dengan peserta JKN-KIS. Pada 2022, sudah ada 10.000 dokter FKTP yang terhubung dalam layanan tersebut.
Baca juga: Digitalisasi Layanan Kesehatan Mempermudah Akses Masyarakat
Pada tataran sistem dan fasilitas kesehatan sudah terlihat adanya peningkatan secara jumlah dan cakupan layanan. Namun, tetap perlu didorong untuk terus meningkat, salah satunya melalui sosialisasi agar masyarakat lebih mengenal dan kemudian mau memanfaatkannya. Dengan demikian, masyarakat akan terbiasa dan menjadi kanal penting untuk mendapatkan gambaran status kesehatannya.
Tentu saja, upaya tersebut perlu diikuti dengan ketersediaan infratruktur jaringan internet dan perlindungan data pengguna. Selain itu, juga perlu dukungan kesiapan tenaga medis di setiap fasilitas kesehatan dan juga fasilitas kesehatan yang memadai. Dengan demikian, pelayanan kesehatan melalui telemedicine menjadi salah satu cara efektif untuk mempercepat tercapainya cakupan kesehatan semesta (universal health coverage).
(LITBANG KOMPAS)