Melacak Asal Muasal Senjata dalam Perang Gaza
Pasokan senjata dari sejumlah negara ke Israel dan Hamas turut berperan dalam mengobarkan api pertempuran di Gaza.
Perang Gaza telah berlangsung selama 48 hari tanpa henti. Kesepakatan jeda pertempuran yang diraih antara Hamas dan Israel di Qatar melahirkan secercah harapan perdamaian. Diperlukan upaya ekstra untuk menciptakan perdamaian yang lebih permanen. Salah satunya dengan menghentikan keran aliran senjata ke area konflik.
Sejak 7 Oktober hingga 22 November 2023, sedikitnya 15.700 jiwa tewas dan 40.431 lainnya luka-luka sebagai korban pertempuran antara Israel dan Hamas. Pihak Palestina menanggung sekitar 92 persen dari total korban tewas dan 86 persen untuk korban luka-luka. Israel menanggung 8 persen korban tewas dan 12 persen korban luka-luka lainnya. Sebagian korban dari pihak Israel ini merupakan warga negara asing.
Dari seluruh korban tersebut, sebagian besar warga sipil. Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan, tak kurang dari 68 persen (7.533 jiwa) korban tewas dari pihak Palestina adalah perempuan dan anak-anak. Hal serupa terjadi di pihak Israel. Melansir dari The New York Times, sekitar tujuh dari 10 korban tewas Israel dipastikan merupakan warga sipil.
Besarnya warga sipil yang menjadi korban itu salah satunya akibat penggunaan senjata yang tidak mengindahkan hukum humaniter internasional. Pasal 51 Protokol I Konvensi Geneva dengan tegas menyatakan, warga sipil tak boleh menjadi obyek serangan.
Penggunaan senjata dilarang di area permukiman yang padat penduduk. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat diajukan ke Mahkamah Internasional atas tuduhan dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Israel dan Hamas menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap tingginya korban sipil itu. Perang di antara kedua belah pihak menyertakan warga sipil sebagai target sasaran senjata. Namun, perlu disadari, terdapat sejumlah negara lain yang memiliki andil secara tak langsung dalam dugaan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Gaza.
Baca juga: Anak-anak, Korban Terbesar Konflik Israel dan Hamas di Gaza
Hasil penelusuran yang dilakukan lembaga Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan, setidaknya ada empat negara yang memasok senjata untuk Israel selama satu dekade (2012-2022) dengan nilai total 5,4 miliar TIV (trend-indicator value). Adapun TIV merupakan standar satuan yang diciptakan SIPRI secara khusus untuk mengukur nilai peralatan militer yang diperdagangkan.
Empat negara pengekspor senjata ke Israel tersebut adalah Kanada, Italia, Jerman, dan Amerika Serikat. Dari keempatnya, Amerika Serikat (AS) mengambil porsi paling besar.
Setidaknya tujuh dari sepuluh impor senjata Israel selama satu dekade belakangan dipenuhi oleh Amerika Serikat. Setelah itu, ada Jerman yang mengambil porsi 27,2 persen, diikuti Italia 4,8 persen dan Kanada dengan 0,01 persen.
Senjata Israel
Peralatan militer yang diekspor ke Israel tak tanggung-tanggung. SIPRI mencatat AS mengirim 36 pesawat tempur F-35A Lighting II ke Israel selama kurun 2016-2022. Padahal, pesawat tempur generasi kelima ini merupakan pesawat tempur tercanggih yang dimiliki AS yang tak dijual ke sembarang negara.
Kehadiran salah satu pesawat tempur tercanggih di dunia tersebut tak pelak memperkuat jejak AS di dalam angkatan udara Israel. Data dari The International Institute for Strategic Studies (IISS) memperlihatkan, seluruh 315 jet tempur Israel adalah bikinan AS yang terdiri dari 83 unit F-15 Eagle, 196 unit F-16 Fighting Falcon, dan 36 unit F-35 Lightning 2/Adir.
AS juga mengirim sekitar 20.000 bom pintar berpemandu tipe GBU-39 SDB, JDAM, dan Paveway selama 2012-2022. Bom tersebut hanya dapat dijatuhkan dari pesawat udara dan memiliki kemampuan untuk dapat mengarahkan diri ke target sasaran secara akurat menggunakan bantuan laser, infrared, atau sistem GPS.
Baca juga: Membuka Mata Dunia pada Ancaman Kemanusiaan di Palestina
Kombinasi dari pesawat tempur beserta amunisi bom inilah yang kemudian digunakan Israel untuk membombardir wilayah permukiman di Jalur Gaza. Hasil investigasi Action on Armed Violence menunjukkan, Israel telah melancarkan 299 serangan udara ke Gaza selama Oktober 2023. Sebanyak 276 di antaranya langsung mengenai warga sipil yang mengakibatkan 2.798 korban tewas dan 1.306 korban luka-luka.
Apabila dikalkulasi, setiap serangan udara Israel yang mengenai warga sipil rata-rata menewaskan 10 orang dan melukai 5 orang lainnya. Jumlah ini yang tertinggi selama sejarah konflik Israel-Palestina sejak 2012 dan melebihi rata-rata konflik dunia pada 2013- 2022. AOAV menjelaskan, jumlah ini diperkirakan lebih rendah dari kenyataan karena masih banyak korban di Gaza yang masih belum terhitung secara pasti.
Selain melancarkan serangan udara menggunakan pesawat tempur, Israel melancarkan serangan darat dengan tank tempur utama Merkava Mk IV. Meski diproduksi secara mandiri oleh Israel, mesin tank berbobot 65 ton tersebut dipasok oleh Jerman.
SIPRI mencatat, sekitar 1.060 mesin MT 883Ka buatan pabrikan MTU dikirim Jerman dari kurun 2002-2022. Mesin diesel bertenaga 81.500 tenaga kuda tersebut lantas digunakan Israel untuk memberikan daya bagi tank Merkava dan kendaraan pengangkut personel ”Namer” yang juga buatan Israel.
Roket Hamas
Di sisi Hamas, SIPRI mencatat ada dua negara yang diduga menjadi pemasok senjata untuk mereka. Mereka adalah Korea Utara dan Iran. Pada 2014, SIPRI merekam terdapat pengiriman 25 unit misil anti-tank ”Fagot” versi Bulsae-2 dari Korea Utara untuk Hamas. Selanjutnya, pada 2010 terdapat pengiriman sejumlah 35 misil antitank tipe ”Konkurs” kepada Hamas yang diyakini berasal dari Iran.
Selain misil anti-tank, Hamas juga memiliki roket sebagai senjata andalan. Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya di Gaza dilaporkan menembakkan 7.000 roket selama dua minggu awal serangan.
Namun, karena kualitas roket yang buruk dan sistem pertahanan udara Iron Dome Israel yang canggih, serangan roket yang begitu masif itu tak terlalu banyak menimbulkan korban jiwa. Associated Press melaporkan, bombardir roket menewaskan 11 warga sipil Israel. Dengan demikian, kemungkinan satu serangan roket dapat menimbulkan korban tewas ialah sekitar 1,5 banding 1.000.
Baca juga: Pusaran Konflik Israel-Palestina Seret Dunia dalam Situasi Rumit
Berdasarkan data The International Institute for Strategic Studies (IISS), Hamas dilaporkan memiliki sejumlah roket Fajr-3 dan Fajr-5 buatan Iran. Laporan dari Fabian Hinz, pakar transfer senjata di kawasan Timur Tengah, mengatakan, Iran ditengarai menjadi mentor bagi Hamas untuk memproduksi roketnya sendiri.
Roket Badr-3 yang dibuat kelompok bersenjata Palestina, contohnya, diyakini Hinz didesain dan diuji coba di Iran pada medio 2021. Pasalnya, hulu ledak roket tersebut jauh lebih berat daripada roket-roket buatan Palestina lainnya, yakni sekitar 300 kg. Selain itu, drone kamikaze Shehab yang digunakan Hamas pada 2021 juga diduga merupakan pengembangan yang dibantu oleh Iran.
Penghentian pasokan
Perang Gaza membuka mata dunia tentang adanya aliran senjata-senjata ke Israel dan Hamas. Impor dan dukungan kepada kedua belah pihak yang terlibat konflik tersebut dilakukan sejumlah negara.
Di satu sisi, penggunaan senjata dan alutsista membawa konsekuensi tanggung jawab di tangan kedua belah pasukan yang bertikai sebagai pengguna senjata. Namun, di sisi lain, tak dapat dimungkiri, pasokan senjata dari negara-negara lain tersebut turut berperan dalam mengobarkan api pertempuran.
Dampak nyata penggunaan senjata-senjata canggih ini adalah jatuhnya banyak korban jiwa dari warga sipil, terutama anak-anak dan perempuan. Karena itu, diperlukan upaya ekstra untuk menciptakan perdamaian yang lebih permanen setelah muncul kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan negara-negara di dunia adalah menyerukan penghentian keran aliran senjata ke area konflik. Terhentinya aliran senjata ke wilayah konflik diharapkan dapat menghentikan penderitaan jutaan warga sipil di Gaza. (LITBANG KOMPAS)