Krisis Gaza dan Upaya Netanyahu Amankan Kekuasaan
Krisis Gaza dimanfaatkan Netanyahu untuk mengamankan kekuasaan dan mengalihkan perhatian dari skandal korupsi dan krisis perumahan. Mampukah Netanyahu melakukan agenda ini?

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu
Selain sebagai bentuk pembalasan terhadap Hamas, agresi Israel yang sedang berlangsung juga tidak terlepas dari pengaruh gejolak domestik.
Sebelum krisis meletus di awal Oktober, posisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebetulnya tidak aman di tengah skandal korupsi, melemahnya partai penguasa, dan makin parahnya krisis perumahan di Israel.
Untuk mengamankan posisinya, Netanyahu pun memanfaatkan kekerasan dan retorika kebencian terhadap Palestina untuk mengalihkan perhatian publik.
Benjamin Netanyahu sudah bercokol di puncak kekuasaan Israel setidaknya lebih dari satu dekade terakhir. Namun, langgengnya kekuasaan Netanyahu bukan karena kemampuannya dalam memimpin atau integritasnya yang teruji. Nyatanya, kekuasaannya selalu terselamatkan oleh kelihaiannya membangun koalisi dan memainkan retorika kebencian.
Dari sepanjang perjalanan kariernya, Pemilu 2019 lalu menjadi yang paling berat bagi Netanyahu. Saat itu, tidak satu pun dari dua partai politik utama, Likud dan Biru Putih, memenangi suara mayoritas. Situasi mengambang itu memaksa Likud dan Biru Putih berkonsolidasi, meski berasal dari spektrum politik yang sangat berbeda.

Tak ayal, negosiasi untuk membentuk koalisi pemerintahan pun berjalan sangat alot. Ketika terbentuk, koalisi ini pun sangat mudah pecah sehingga pemilu harus kembali diadakan.
Kondisi ini membuat Israel harus menyelenggarakan pemilu sebanyak tiga kali dalam setahun. Kebuntuan ini akhirnya pecah pada Mei 2020 ketika kedua partai dengan suara terbanyak membentuk pemerintahan persatuan di bawah komando Benjamin Netanyahu.
Namun, turbulensi politik di Israel tak berhenti sampai di sini. Tak lama sebelum pemilu, Netanyahu sempat diperiksa terkait dengan dugaan korupsi. Alih-alih mereda, isu ini justru makin menguat hingga tiga tahun berselang.
Dokumen resmi menunjukkan bahwa Netanyahu beserta istrinya menerima suap dari pebisnis untuk menghalangi beberapa UU untuk disahkan di parlemen karena dianggap merugikan. Artinya, jika nantinya ia jatuh dari kekuasaan, sudah hampir bisa dipastikan bahwa ia akan menjalani sisa hidupnya di penjara.
Baca juga : Gelombang Demonstrasi Dunia dan Upaya Mewujudkan Perdamaian di Gaza
Krisis perumahan
Selain skandal korupsi dan penyelewengan kekuasaan, muncul juga krisis soal perumahan. Selama beberapa tahun terakhir, isu ini menjadi api dalam sekam yang memantik kekhawatiran di masyarakat. Terutama, bagi para generasi muda yang terancam menggelandang karena tak mampu membeli atau menyewa hunian.
Berdasarkan data dari biro statistik Israel, kenaikan harga rumah di kuartil pertama 2023 memang relatif tinggi. Secara tahunan (year-on-year), harga hunian di Israel mengalami kenaikan sebesar 9,95 persen. Angka ini tiga kali lipat lebih tinggi dari tingkat inflasi Israel keseluruhan di periode waktu sama sekitar 3 persen.
Yang lebih mengagetkan, angka 9 persen tersebut merupakan penurunan. Pasalnya, inflasi hunian tahunan di Israel pada 2022 lalu menyentuh angka yang fantastis hingga di atas 10 persen.
Jika ditarik, angka inflasi ini menjadi yang paling tinggi semenjak lebih dari 10 tahun. Sebelumnya, inflasi hunian sempat menyentuh puncaknya pada 2009 dengan tingkat inflasi tahunan sebesar 22,3 persen.
Dilihat sepanjang dua dekade terakhir, naiknya biaya terkait hunian ini memang menjadi krisis yang tak urung selesai. Jika ditilik lebih dalam, faktor yang menyebabkan kenaikan tajam umumnya meliputi krisis keamanan dengan Palestina, gejolak politik domestik, dan situasi ekonomi global.

Salah satu contohnya adalah ketika Intifada kedua terjadi. Saat itu, inflasi perumahan memang menurun minus 6 persen. Namun, tak lama setelahnya, dalam rentang 2003 hingga 2006, harga hunian di Israel mengalami kenaikan yang cukup tinggi di angka 28 persen. Hal serupa juga terjadi pascaperang Hezbollah, ketika perumahan di sekitar Tel Aviv mengalami inflasi 22,3 persen.
Pengaruh faktor perekonomian internasional terhadap kenaikan harga rumah di Israel terjadi pada 2008 hingga 2009, tak lama setelah krisis Wall Street pecah. Saat itu, harga rumah di Israel rata-rata mengalami kenaikan 24,2 persen. Bahkan, harga rumah di sekitar Tel Aviv melonjak hingga lebih dari 41 persen dibandingkan setahun sebelumnya.
Sementara faktor gejolak internal sempat memengaruhi harga hunian Israel di 2011. Saat itu, muncul gerakan massa yang memprotes kenaikan harga kebutuhan hidup, terutama harga perumahan. Tak lama berselang, harga hunian justru meroket dengan kenaikan 31 persen lebih.
Selain faktor permintaan dan perekonomian, ketersediaan lahan juga menjadi faktor yang terus mendorong harga hunian. Dengan keterbatasan lahan yang tersedia, harga rumah pun secara organik akan terus naik.
Terlebih lagi, Israel kini menjadi salah satu destinasi pensiun yang diidamkan oleh warga dunia, terutama dari Eropa Barat dan Amerika Utara. Hal ini berpotensi menimbulkan gentrifikasi yang akan makin memperparah krisis hunian.
Baca juga : Menakar Potensi Dampak Ekonomi Krisis Hamas-Israel
Kekerasan sebagai solusi
Persoalan krisis perumahan ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan ketika berbicara soal krisis Israel dan Palestina. Untuk bisa mengatasi krisis perumahan, salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah dengan melakukan ekspansi ke arah Gaza dan Tepi Barat. Hal ini bisa dilakukan baik dengan metode pemukiman ilegal ataupun agresi militer.
Selama ini, praktik yang pertamalah yang paling umum dilakukan. Salah satu contohnya terjadi belum lama, tepatnya pada Juni lalu. Saat itu, pemerintahan Israel memberikan izin dan bahkan mendukung pembangunan perumahan ilegal di kawasan Tepi Barat. Hal ini pun memancing reaksi keras dari komunitas internasional, termasuk dari AS yang merupakan sahabat dekat Israel.
Namun, adanya serangan dari Hamas pada awal Oktober lalu menjadi ”berkah” bagi Netanyahu untuk melancarkan aneksasi total ke Gaza. Lahan yang kira-kira bisa dipadankan ukurannya dengan bentang dari Kota Tangerang hingga Kota Bekasi ini tentu sangat bisa dimanfaatkan untuk menjadi solusi jangka pendek bagi krisis hunian.

Selain itu, aneksasi total akan menjadi kemenangan mutlak bagi Netanyahu. Mudah baginya nanti untuk membalas semua kritik dan bahkan proses hukum yang tengah menyasarnya dengan argumentasi kemenangan perang dengan Palestina. Ibaratnya, kemenangan atas Gaza akan menghapus semua dosa politik yang telah mengotori tangan Netanyahu.
Memahami dimensi ini bisa memberikan gambaran baru soal motif dan mungkin akhir dari krisis yang tengah berlangsung. Setidaknya dari sisi Israel, aneksasi menjadi tujuan mutlak dan harus dicapai dengan cara apapun.
Tak ayal, tanpa adanya hukuman berat dan serius dari komunitas internasional, Gaza dan masyarakat di dalamnya sudah bisa dipastikan akan luluh lantak dalam waktu singkat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Standar Ganda Dunia Barat Atas Serangan Israel ke Gaza