Gelombang Demonstrasi Dunia dan Upaya Mewujudkan Perdamaian di Gaza
Dukungan terhadap warga Palestina mengalir dari seluruh penjuru dunia. Dukungan ini diharapkan bisa mendorong jalan perdamaian lewat resolusi konkret.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI
·5 menit baca
AFP/PAU BARRENA
Seorang wanita memegang poster bertuliskan "Bebaskan Palestina" saat protes mendukung rakyat Palestina di Barcelona, Spanyol, Sabtu (4/11/2023).
Seruan ”From the river to the sea, Palestina will be free” terdengar di sudut-sudut kota di berbagai penjuru dunia. Kalimat ini menjadi slogan yang diserukan para pendemo yang menuntut gencatan senjata di Gaza. Hingga kini, suara ini telah digemakan ratusan ribu orang di London, Washington, Vienna, hingga Ankara.
Di Indonesia, aksi demonstrasi massa mendukung Palestina dilakukan di kawasan Monas, Jakarta, pada Minggu (5/11/2023). Aksi ini juga dihadiri beberapa pejabat negara dan tokoh penting. Beberapa di antaranya Ketua DPR Puan Maharani; Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid; Menteri Luar Negeri Retno Marsudi; anggota Dewan Perwakilan Daerah, Sylviana Murni; Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas; Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy; mantan Ketua Umum MUI Din Syamsuddin; dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Melihat gelombang dukungan simpati dunia, krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza sebetulnya tidak luput dari perhatian organisasi internasional. PBB, misalnya, telah berulang kali mencoba menelurkan resolusi, setidaknya untuk meredakan ketegangan yang terjadi. Upaya ini pun dilakukan melalui Dewan Keamanan (DK) dan Sidang Umum.
Pada Senin (16/10/2023), Rusia mengajukan draf resolusi pada sidang DK PBB. Draf ini berisikan seruan untuk melakukan gencatan senjata atas nama kemanusiaan dalam waktu secepatnya. Dalam dokumen ini, Rusia pun turut mengecam kekerasan dan terorisme yang dilakukan terhadap warga sipil di Gaza.
Dari 15 anggota, hanya empat anggota yang menyetujui draf yang dibawa oleh Rusia. Keempat negara tersebut adalah China, UEA, Mozambik, dan Gabon.
Hanya saja, resolusi ini gagal diadopsi karena adanya penolakan dari anggota permanen. Seperti diketahui, agar bisa diterima, draf resolusi di DK PBB harus disetujui paling tidak oleh sembilan negara anggota dan tanpa adanya penolakan atau veto dari negara anggota permanen.
Dalam pembahasan draf ini, dari empat negara anggota yang menolak, tiga di antaranya negara anggota permanen. Ketiga negara ini ialah Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat. Sementara anggota dewan lainnya menyatakan abstain dalam voting resolusi tersebut.
Salah satu sebab penolakan ini pun disampaikan oleh AS. Dalam sidang, perwakilan AS, Linda Thomas-Greenfield, menyatakan bahwa Rusia ”melindungi” kelompok Hamas yang meneror warga sipil secara brutal dengan tidak secara eksplisit menyebutkannya dalam draf resolusi. Tak lupa, AS pun menyatakan bahwa Israel harus diberikan ”hak” untuk membela diri dalam resolusi.
Tak berselang lama, Brasil pun turut menyodorkan draf resolusi. Dalam draf ini, Brasil memasukkan usul AS untuk secara jelas menyebut dan mengecam aksi Hamas pada 7 Oktober 2023. Substansi dalam draf ini juga menyinggung soal perlindungan terhadap awak medis dan pekerja kemanusiaan.
Hal lain yang juga krusial adalah soal perlu adanya mekanisme pemberitahuan agar fasilitas dan misi PBB bisa aman dari serangan. Draf ini juga menekankan pentingnya diambil langkah segera agar konflik tidak melebar ke kawasan Timur Tengah.
Walau sudah lebih detail, draf resolusi ini tetap gagal diadopsi. Kegagalan ini lagi-lagi karena adanya penolakan oleh AS meski Brasil telah menyertakan masukan AS dalam draf resolusi tersebut. Padahal, draf ini telah didukung oleh 12 negara anggota DK PBB lainnya. Sementara Rusia dan Inggris memilih abstain dalam voting terhadap draf ini.
Sekitar seminggu berselang, draf resolusi terkait krisis di Gaza kembali diajukan ke meja DK PBB. Kali ini, draf resolusi ini dipromotori AS. Dibandingkan dengan draf yang diajukan oleh Rusia dan Brasil, draf milik AS ini lebih komprehensif.
Beberapa poin yang ditambahkan dalam draf ini ialah penegasan hak tiap negara untuk membela diri atas ancaman, serta perlindungan terhadap fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, dan rumah ibadah. Selain itu, AS juga menekankan pentingnya memutus dukungan finansial dan persenjataan terhadap kelompok teroris yang terlibat dalam konflik.
Namun, draf resolusi ini juga gagal diadopsi. Sebab, Rusia dan China sebagai negara anggota permanen DK PBB menolak usulan tersebut. Perwakilan China menyatakan bahwa draf yang dibawa AS terlalu berat membela Israel, serta terlihat seperti upaya untuk membangun narasi baru krisis Israel-Palestina. Draf tersebut juga dirasa tidak tegas untuk menyerukan berhentinya perang.
Di luar rapat DK PBB, upaya diplomasi juga berlangsung di ruang Sidang Umum PBB. Pada Jumat (27/10/2023), Jordania mengajukan draf resolusi yang berisikan seruan untuk segera dilakukannya gencatan senjata di Gaza. Draf resolusi ini juga mendorong penyaluran bantuan yang mencukupi kepada para warga sipil yang menjadi korban.
Draf resolusi ini didukung oleh 120 negara anggota PBB. Meskipun begitu, masih ada 14 negara yang menolak resolusi ini, termasuk AS, Austria, dan Kroasia. Sementara 45 negara lainnya menyatakan abstain dalam voting resolusi tersebut.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Peserta Aksi Akbar Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina memenuhi Monumen Nasional di Jakarta Pusat, Minggu (5/11/2023). Aksi seruan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini juga diikuti oleh ormas keagamaan, kepemudaan, mahasiswa, buruh, hingga majelis taklim.
Meskipun lolos, Israel bersikeras tak akan mengindahkan resolusi Sidang Umum tersebut. Bahkan, di hari yang sama, Israel menyatakan akan terus melebarkan operasi militernya.
Hal ini juga tidak terlepas dari kedudukan resolusi yang tidak mengikat secara hukum (non-binding). Meski demikian, resolusi ini dapat menjadi gambaran sikap sebagian besar negara-negara di dunia yang menggelorakan perdamaian melalui gencatan senjata dan perlindungan kepada warga sipil.
Upaya merajut perdamaian juga menjadi perhatian Indonesia. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam forum High-Level Open Debate DK PBB mengenai situasi di Timur Tengah pada 24 Oktober 2023 mendesak DK PBB segera bertindak guna menghentikan eskalasi konflik Israel-Palestina di Gaza.
Tiga hal yang menjadi poin penting Indonesia ialah gencatan senjata, memprioritaskan akses kemanusiaan, dan mendorong DK PBB mengatasi krisis kemanusiaan yang terjadi.
Dalam konflik dengan tingkat kerumitan yang luar biasa seperti Israel-Palestina, resolusi melalui jalur pertama (first-track diplomacy) sulit untuk dicapai.
Perdamaian perlu diupayakan melalui jalur-jalur lain, di luar formalitas institusi yang terkadang justru ”mengekang” proses diplomasi. Tak ayal, diplomasi banyak jalur perlu terus didorong agar konflik bisa di-deeskalasi.
Hal ini tampak jelas pada pembahasan resolusi di DK dan Sidang Umum PBB yang menunjukkan bagaimana proses diplomasi di institusi internasional tampak tengah mencapai titik yang buntu.
AFP/AMY OSBORNE
Warga berkumpul dalam pawai "Solidaritas Palestina" di San Francisco, California, AS, Sabtu (4/11/2023).
Di satu sisi, keberpihakan AS terhadap Israel membuat para anggota DK PBB lainnya sulit untuk menerima ataupun membuat draf resolusi. Sementara di sisi lain, resolusi Sidang Umum PBB yang tidak mengikat membuat Israel enggan untuk menghormati keputusan rapat.
Gelombang demonstrasi yang mengalirkan dukungan terhadap Palestina ini menjadi penting di tengah proses diplomasi yang cenderung buntu. Hingga kini, dunia terus menantikan terobosan yang mampu menahan Israel menyerang wilayah Gaza.
Pada akhirnya dukungan warga dunia terhadap Palestina, yang diwujudkan dalam aksi demonstrasi, diharapkan bisa mendorong pada pemimpin dunia untuk segera merealisasikan perdamaian di Gaza. (LITBANG KOMPAS)