Budaya Bekerja Fleksibel Lebih Bertahan di Negara Maju
Pandemi membentuk budaya kerja baru. Pekerja tidak lagi dituntut hadir di kantor alias bisa bekerja fleksibel.
Oleh
GIANIE
·4 menit baca
Bekerja secara fleksibel atau jarak jauh (remote working) dengan mengandalkan kemajuan teknologi dan digital sangat dinikmati oleh pekerja di negara-negara maju seperti Eropa. Segala infrastruktur dan persyaratan tersedia dan sangat mendukung untuk kebebasan bekerja.
Sejak tahun 2020, jutaan orang harus bekerja dari rumah akibat pandemi Covid-19. Pandemi menjadi disrupsi kedua, setelah teknologi, yang memaksa perusahaan mempercepat transformasi digital proses bisnisnya.
Namun, berakhirnya pandemi pada tahun ini tidak lantas membuat perusahaan mewajibkan pekerjanya seratus persen kembali bekerja di kantor. Kebiasaan bekerja dari rumah (work from home/WFH) atau kerja jarak jauh dari mana saja masih tetap berlanjut. Hal ini terjadi di sejumlah negara.
Dalam analisis Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) dikatakan, bekerja jarak jauh atau bekerja fleksibel kini menjadi budaya perusahaan. Banyak pemilik atau pemimpin perusahaan yang bahkan meyakini bahwa bekerja fleksibel, mereka lebih mudah mendapatkan karyawan berbakat atau cemerlang.
Negara-negara di Eropa memimpin dalam pemeringkatan Global Remote Work Index 2023. Sepuluh negara Eropa yang mendapat skor tertinggi dalam indeks bekerja secara jarak jauh atau fleksibel itu secara berturut-turut adalah Denmark, Belanda, Jerman, Spanyol, Swedia, Portugal, Estonia, Lituania, Irlandia, dan Slowakia.
Ada empat dimensi utama yang diukur dalam indeks global ini, yakni keamanan siber, ekonomi, infrastruktur, dan keamanan sosial, termasuk di dalamnya keamanan dari segala macam kejahatan dan akses terkait hak asasi manusia.
Sebanyak 108 negara yang diindeks. Negara-negara Eropa masuk ke dalam separuh peringkat teratas. Di sini terlihat bahwa negara-negara yang menerapkan sistem bekerja fleksibel adalah negara-negara yang sudah maju dengan tingkat pendapatan per kapita tinggi.
Beberapa negara di Benua Amerika, seperti Kanada dan Amerika Serikat, juga masuk dalam 50 peringkat teratas. Kanada berada di peringkat ke-14, sedangkan AS di peringkat ke-16. Adapun Australia berada di peringkat ke-25.
Hanya terdapat enam negara Asia yang masuk dalam peringkat 50 teratas. Negara tersebut adalah Korea Selatan di peringkat ke-17, Jepang peringkat ke-22, Singapura peringkat ke-28, China peringkat ke-39, Malaysia peringkat ke-41, dan Thailand peringkat ke-49. Adapun Indonesia berada di peringkat ke-75.
Negara-negara Afrika banyak menempati peringkat-peringkat bawah, terutama dalam kelompok sepuluh peringkat terbawah, seperti Angola, Zimbabwe, Mozambik, Etiopia, Kamerun, dan Namibia.
Sejak awal bekerja fleksibel berjalan, WEF dalam laporan mengenai ”The Future of Jobs Report 2020” menyampaikan bahwa di masa depan tidak semua negara bisa menerapkan sistem bekerja dengan fleksibel.
Diperkirakan hanya 38 persen pekerja di negara berpendapatan tinggi dan 25 persen pekerja di negara berpendapatan menengah-atas yang dapat menjalankan budaya tersebut.
Sementara di negara berpendapatan menengah-bawah dan negara berpendapatan rendah, porsinya lebih kecil, yaitu masing-masing 17 persen dan 13 persen. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa keandalan akses internet merupakan hal utama yang menentukan keberlangsungan bekerja secara fleksibel.
Namun, akses internet yang menjadi infrastruktur digitalisasi bukan satu-satunya faktor yang menjamin keberlangsungan bekerja fleksibel. Di Denmark, misalnya, negara peringkat satu Global Remote Work Index, selain kualitas internet yang baik, bekerja fleksibel juga perlu ditunjang oleh adanya inklusivitas sosial dan jaminan kesehatan.
Di Belanda, faktor stabilitas ekonomi juga penting. Sementara di Jerman, selain layanan internet yang murah, juga kondisi keseimbangan antara biaya hidup dan kualitas hidup yang bisa didapatkan dengan menjalankan bekerja fleksibel. Di sini ada faktor upah yang juga jadi pertimbangan pekerja untuk menjalani bekerja fleksibel.
Meski banyak faktor yang menjadi pertimbangan baik bagi perusahaan maupun pekerja untuk bekerja fleksibel, kecenderungan untuk menolak kembali ke kantor setelah situasi normal masih cukup tinggi. Studi WEF tahun 2021 menunjukkan, dua dari tiga pekerja menginginkan kebebasan untuk bekerja fleksibel.
Banyak negara yang kemudian memberi hak kepada pekerjanya untuk bekerja fleksibel. Salah satu contohnya Inggris. Hal ini diperkuat pula dengan hasil studi dari McKinsey & Company pada tahun 2022 yang menemukan 6 dari 10 orang Amerika diberi kesempatan untuk bekerja dari rumah setidaknya satu hari dalam seminggu.
Kondisi darurat dan bahaya juga menjadi faktor. Di Ukraina, yang menjadi medan perang, di mana gedung-gedung hancur karena serangan Rusia, bekerja fleksibel atau remote working menjadi keniscayaan.
Dari kebebasan memilih bekerja fleksibel, kemudian berkembang budaya baru yang disebut pekerja digital berpindah (digital nomad). Hal ini mengacu pada jenis pekerjaan yang dapat dikerjakan dari mana saja, bahkan lintas negara, tergantung dari jaringan internet yang tersedia. Biasanya model ini terkait dengan pekerjaan seperti pemrograman (programming) dan desain digital.
Setidaknya, menurut WEF, terdapat 58 negara yang mengeluarkan visa yang memperbolehkan para digital nomad ini berpindah dari suatu negara ke negara lain. Daya tarik bagi digital nomad ini adalah pajak yang rendah dan insentif finansial lainnya.
Visa bagi digital nomad ini biasanya berlaku selama satu tahun dan bisa diperpanjang 1-2 tahun tergantung dari negara bersangkutan. Negara-negara yang mengeluarkan visa bagi digital nomad ini kebanyakan adalah negara-negara Eropa, seperti Jerman, Spanyol, Portugal, Norwegia, Yunani, Eslandia, Brasil, dan Italia.
Beberapa negara Asia yang juga menawarkan visa digital nomad adalah Taiwan, Sri Lanka, Thailand, Korea Selatan, India, Jepang, Filipina, dan Indonesia (khusus Bali).
Terlepas dari banyaknya negara yang memberi kebebasan untuk bekerja fleksibel, bahkan digital nomad, keputusan untuk itu sangat tergantung dari si pemberi kerja (perusahaan). Keputusan itu salah satunya tergantung dari kondisi ekonomi.
Selain itu, bekerja fleksibel juga memiliki sisi negatif. Hal itu antara lain relasi sosial yang tergerus di antara pekerja. Banyak pekerja yang merasa tidak terkoneksi dengan koleganya. Ditambah lagi kurangnya kesempatan bagi pekerja yang bekerja remote working atau WFH mendapatkan jenjang karier yang lebih baik. (LITBANG KOMPAS)