Penduduk Bekerja Berpendidikan Rendah Masih Dominan
Korelasi antara penghasilan dan latar belakang pendidikan masih menjadi isu laten. Porsi terbesar pekerja masih diisi yang berpendidikan rendah.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·4 menit baca
Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikasi kualitas dan produktivitas tenaga kerja. Meskipun sebagian orang tetap percaya bahwa etos dan keseriusan dalam bekerja lebih menentukan ketimbang tingkat pendidikan belaka, tak dapat dimungkiri tingkat pendidikan masih menjadi akses penting menuju suatu pekerjaan.
Tak hanya soal akses terhadap posisi dalam sebuah bidang pekerjaan, tingkat pendidikan juga akan berkorelasi positif dengan penghasilan. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan seorang pekerja akan cenderung semakin tinggi pula penghasilannya.
Namun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Agustus 2023, penduduk bekerja dengan tamatan SD ke bawah masih menunjukkan proporsi terbesar. Sebesar 36,82 persen penduduk bekerja merupakan lulusan SD ke bawah. Mereka yang tidak/belum bersekolah, belum tamat SD maupun tamatan SD, termasuk dalam kelompok ini.
Lebih lagi, 17,77 persen penduduk bekerja merupakan mereka yang tamat sekolah menengah pertama. Dengan demikian, 54,59 persen penduduk pekerja berpendidikan dasar (SD/SMP).
Bergeser ke penduduk bekerja tamatan pendidikan menengah, pada kelompok ini terdapat dua kategori, yakni penduduk yang menamatkan sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan.
Meskipun sekolah kejuruan lebih dilekatkan dengan kesiapan kerja, proporsi lulusan SMK yang bekerja masih lebih rendah dibandingkan penduduk yang merupakan lulusan SMA.
Jumlah penduduk bekerja lulusan SMA berada di angka 20,25 persen. Sementara itu, penduduk bekerja yang menamatkan SMK sebanyak 12,40 persen. Ada selisih 7,85 persen dari dua kategori ini. Namun, ketika dijumlahkan, kedua kategori ini menyumbang proporsi sebesar 32,65 persen. Artinya, tiga dari sepuluh penduduk bekerja di Indonesia berpendidikan menengah.
Selanjutnya, dari seluruh penduduk bekerja, lulusan perguruan tinggi menyumbang proporsi paling rendah. Hanya 12,76 persen penduduk bekerja berlatar belakang pendidikan tinggi. Angka tersebut terinci menjadi 10,32 persen merupakan tamatan diploma IV, S-1, S-2, S-3 dan 2,44 persen tamatan diploma I/II/III.
Data BPS di atas sebenarnya menggambarkan fenomena struktural terkait perkara pendidikan masyarakat Indonesia. Secara populasi, penduduk Indonesia paling besar merupakan tamatan pendidikan dasar.
Data Statistik Pendidikan 2022 mencatat, 59,88 persen penduduk Indonesia menamatkan pendidikan dasar. Sementara 29,97 persen merupakan penduduk berpendidikan menengah. Hanya 10,15 persen penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi.
Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu dampak yang berkorelasi dengan tingkat pendidikan penduduk bekerja adalah penghasilan yang didapatkan. Hal ini dapat dilihat kembali pada data Sakernas Agustus 2023.
Buruh/pegawai yang berlatar belakang pendidikan lulusan universitas, memiliki rata-rata penghasilan sebesar Rp 4,78 juta per bulan. Hal ini sekaligus menempatkan kelompok ini sebagai pekerja dengan rata-rata penghasilan tertinggi.
Sebaliknya, pekerja yang berlatar belakang pendidikan SD ke bawah hanya mendapatkan upah rata-rata sekitar Rp 2,03 juta. Melihat data ini, tampak bahwa pekerja yang berlatar pendidikan tinggi berhasil mencapai penghasilan lebih dari dua kali lipat dibandingkan pekerja dengan latar pendidikan rendah.
Apabila dilihat lebih dalam, hanya mereka yang berpendidikan tinggi mampu mendapatkan penghasilan di atas rata-rata secara keseluruhan. Rata-rata penghasilan pekerja di Indonesia sebesar Rp 3,18 juta per bulan.
Selain pekerja tamatan universitas, kelompok pekerja dengan tamatan pendidikan diploma I/II/III mendapatkan penghasilan di atas rata-rata nasional, dengan penghasilan rata-rata Rp 4,15 juta setiap bulannya.
Pekerja dengan pendidikan menengah pun belum mampu mendapatkan penghasilan di atas rata-rata nasional. Pekerja dengan lulusan SMA mendapat penghasilan rata-rata Rp 2,98 juta per bulan. Sementara pekerja dengan tamatan SMK mendapatkan penghasilan rata-rata Rp 3,03 juta per bulan.
Selain pendidikan, faktor jenis kelamin masih menjadi faktor yang berpengaruh terhadap penghasilan pekerja di Indonesia. Dalam setiap level pendidikan, perempuan selalu mendapatkan upah di bawah pekerja laki-laki, pun di bawah rata-rata umum.
Untuk pekerja yang memiliki ijazah tingkat universitas, misalnya, pekerja laki-laki mendapatkan penghasilan rata-rata Rp 5,82 juta per bulan. Sementara pekerja perempuan di bawah itu dengan penghasilan rata-rata Rp 3,79 juta per bulan.
Fenomena yang sama juga terjadi dalam setiap kategori pekerja, pun dengan latar belakang pendidikan rendah. Dalam kategori pekerja berlatar pendidikan SD ke bawah, pekerja laki-laki mendapatkan gaji rata-rata Rp 2,3 juta per bulan.
Sementara itu, pekerja perempuan berpendidikan SD ke bawah mendapatkan penghasilan rata-rata per bulan Rp 1,36 juta. Angka ini sekaligus menempatkan pekerja perempuan berpendidikan SD ke bawah menjadi lapisan terbawah dalam seluruh lapisan pekerja.
Jika membandingkan rata-rata pendapatan antara pekerja berdasarkan jenis kelamin, pekerja perempuan mendapatkan penghasilan sekitar 60 persen dari penghasilan pekerja laki-laki.
Artinya, jenis kelamin masih menjadi faktor yang berpengaruh terhadap penghasilan pekerja. Dengan kata lain, sisi diskriminatif karier dalam bekerja tampak belum benar-benar hilang dalam dunia kerja di Indonesia.
Kembali pada relasi antara pendidikan dan pekerjaan, meskipun pendidikan tinggi menjanjikan akses serta penghasilan lebih tinggi, fenomena sulitnya mendapatkan pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi masih menjadi problem yang belum terselesaikan. Masih adanya mismatch atau ketidakcocokan antara keterampilan yang ditawarkan lulusan baru dan kebutuhan industri masih terus terjadi.
Perputaran karyawan di sejumlah industri cenderung lambat. Sejumlah industri memilih memperpanjang masa kerja bagi pekerja-pekerja yang sudah akan pensiun ketimbang mengeluarkan biaya lebih untuk pelatihan tatkala menjaring tenaga kerja baru (Kompas, 23/10/2023).
Akhirnya, persepsi masyarakat bahwa pendidikan tinggi belum menjamin terbukanya lapangan pekerjaan mendapat pembenaran. Dengan kata lain, mendorong angkatan kerja berbekal pendidikan tinggi perlu dibarengi dengan kecocokan skill para lulusan dengan kebutuhan industri.
Negara perlu mempertebal usaha kepaduan kebutuhan industri dengan keterampilan para lulusan dengan roadmap yang rapi untuk jangka panjang. (LITBANG KOMPAS)