Anak-anak, Korban Terbesar Konflik Israel dan Hamas di Gaza
Konflik Hamas-Israel di Gaza memakan banyak korban anak-anak. Mereka mengalami tekanan mental akibat konflik yang sering terjadi di kawasan itu.
Konflik antara Hamas dan Israel kali ini menjadi peristiwa yang memilukan karena memakan banyak korban dari kelompok paling lemah, yakni anak-anak. Hampir separuh korban tewas atas serangan Israel di Jalur Gaza adalah anak-anak.
Serangan kilat Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu memicu balas dendam Israel ke wilayah Tepi Barat, terutama wilayah Gaza. Korban luka-luka hingga tewas tak terelakkan lagi. Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyebutkan, hingga 4 November 2023 sudah lebih dari 1.400 warga Israel dan 9.485 warga Palestina tewas. Ironisnya, hampir separuh dari korban tewas tersebut anak-anak. Lembaga Defense for Children International Palestine menyebutkan, per 3 November 2023, sebanyak 3.826 korban tewas di Gaza adalah anak-anak.
Jumlah korban dapat terus bertambah mengingat masih ada seribuan anak yang dinyatakan hilang. Setidaknya 1.150 anak dilaporkan hilang di bawah reruntuhan bangunan. Selain itu, lembaga Save the Children juga menyebutkan adanya ribuan anak lain yang terluka. Setidaknya ada 6.360 anak luka-luka di Gaza dan 180 anak yang terluka di Tepi Barat.
Tewasnya anak-anak akibat aksi balasan Israel ke Gaza selama tiga minggu tersebut melampaui jumlah anak-anak yang tewas di area konflik sejak 2019. Peristiwa ini kian menegaskan bahwa serangan balasan Israel itu begitu dahsyat sehingga berdampak besar terhadap jatuhnya korban. Serangan Israel dengan alutsista mutakhir dan berdaya hancur tinggi itu rawan mengancam seluruh jiwa manusia di wilayah tersebut, tak terkecuali anak-anak. Apalagi, wilayah Gaza memiliki populasi anak-anak yang cukup besar di Palestina.
Secara umum, proporsi jumlah penduduk anak yang berusia 0-14 tahun di Palestina cukup besar. Setidaknya mereka menempati 38 persen populasi Palestina pada tahun 2022. Jika berdasarkan wilayah, proporsi anak-anak di Jalur Gaza lebih besar dibandingkan di Tepi Barat. Sebanyak 41 persen penduduk Palestina di Jalur Gaza adalah anak-anak, sedangkan di Tepi Barat hanya 36 persen. Artinya, ada sekitar 902.000 penduduk berusia 0-14 tahun yang tinggal di Jalur Gaza.
Demografi tersebut secara tidak langsung turut dipengaruhi oleh konflik di Jalur Gaza selama berpuluh-puluh tahun. Konflik yang berkesinambungan membuat warga sulit mencapai usia lansia. Akibat konflik terus-menerus dan juga serangan-serangan brutal antara kedua pihak, banyak warga Palestina yang tewas sebelum dewasa ataupun tua.
Baca juga: 27 Hari Paling Mematikan di Gaza
Selain itu, fenomena demografi yang cenderung muda itu disebabkan rendahnya kualitas kesehatan. Keterbatasan akses pada layanan kesehatan juga membuat penduduk yang sakit kurang mendapatkan perawatan secara layak. Kesulitan ini semakin terasa ketika Israel memperketat pintu-pintu perbatasan Jalur Gaza. Penduduk Gaza tidak bebas masuk-keluar wilayahnya termasuk untuk menyeberang ke wilayah lain Palestina di Tepi Barat.
Pasien yang sakit dan akan berobat ke luar Jalur Gaza harus mengurus surat perizinan dengan proses lama dan bahkan sering ditolak. Oleh karena itu, banyak warga yang tidak bisa mendapat perawatan layak, padahal kondisi tubuhnya sudah kritis dan pada akhirnya tidak tertolong.
Di sisi lain, terjadi pertumbuhan penduduk yang tergolong tinggi karena besarnya tingkat kelahiran sehingga wilayah Jalur Gaza memiliki banyak penduduk anak-anak. Menurut Badan Pusat Statistik Palestina, dalam periode 2017-2019, angka kelahiran di Gaza sebesar 3,9. Artinya, setiap perempuan di Gaza melahirkan rata-rata empat anak. Sebagai perbandingan, angka kelahiran Indonesia pada tahun 2020 hanya 2,2. Tingkat kelahiran sebesar 3,3 pernah dialami Indonesia pada dua dekade lalu.
Angka kelahiran di Gaza itu sudah jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebagai contoh, pada periode 1999-2003, angka kelahiran mencapai 5,8. Tingginya angka kelahiran tersebut didorong oleh berbagai faktor, seperti pernikahan usia dini, sosial-budaya yang menganggap anak sebagai jaminan, hingga tingkat pendidikan yang relatif rendah.
Gangguan emosional anak
Banyaknya anak di Gaza akhirnya turut terdampak konflik yang sering terjadi di kawasan itu. Bahkan, anak-anak turut menanggung dampak terburuk dari pecahnya pertikaian di wilayah itu. Akibatnya, empat hak dasar anak, yaitu hak atas kelangsungan hidup, perlindungan, tumbuh kembang, dan keterbukaan untuk berpartisipasi, jelas sulit untuk dijaga dan diberikan di area konflik itu.
Dalam kondisi ”tenang” sekalipun, yakni tanpa ada aksi peperangan antara Palestina dan Israel, anak-anak dan warga Gaza sejatinya sudah terbelenggu dalam kondisi memprihatinkan. Terutama ketika diterapkan blokade oleh Israel sejak 2007 yang membatasi akses warga Gaza pada dunia luar. Hal itu berdampak buruk bagi kehidupan sosial-ekonomi warga Gaza. Masyarakat di sana rentan menganggur, miskin, serta minim akses kesehatan dan pendidikan sehingga menjadi sangat sulit berkembang.
Baca juga: Getirnya Hidup di ”Penjara Terbuka” Jalur Gaza
Ditambah dengan konflik yang terus memanas berkali-kali, Gaza jelas bukan tempat layak bagi anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang. Sebaliknya, anak-anak justru mengalami tekanan mental yang luar biasa sehingga kondisi psikologis mereka rentan terganggu.
Tekanan kondisi ini terasa lebih parah setelah konflik yang memanas pada 2021 silam dan menjadi yang terburuk selama periode 2014-2021. Apalagi, saat itu terjadi pandemi Covid-19 yang menambah beban hidup masyarakat Palestina.
Menurut survei lembaga Save the Children terhadap 400 anak/pemuda dan 160 orangtua atau pendamping anak di Gaza pada 2022, sebanyak 80 persen anak dan pemuda merasakan gangguan emosi. Proporsi anak yang mengalami gangguan tersebut meningkat dibandingkan tahun 2018 yang hanya 55 persen. Gangguan emosi itu berwujud perasaan sedih, depresi, berduka, ketakutan, tertekan, dan cemas.
Tidak hanya itu, situasi Gaza yang rawan konflik juga membuat anak-anak merasa tidak aman. Ironinya, anak-anak itu merasa tidak aman bahkan di lingkungan sekitar rumahnya. Sebanyak 44 persen responden, menurut laporan Save the Children, merasakan hal itu.
Sekolah yang notabene merupakan fasilitas publik yang jelas melindungi anak-anak pun nyatanya tidak pula membuat anak-anak itu tenang. Sebanyak 68 persen responden mengakui rasa yang tidak aman di bangku pendidikan itu.
Semua emosi negatif yang dirasakan anak-anak tersebut berdampak pada perilaku keseharian mereka. Hampir semua anak yang mengalami hal tersebut berperilaku agresif dan pemarah. Tujuh dari 10 anak merasakan kegelisahan terus-menerus sehingga separuh dari anak-anak itu mengalami kesulitan berkomunikasi.
Korban diam
Dampak tersebut menunjukkan bahwa anak-anak di sana sangat menderita. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga psikis. Gambaran masa anak-anak yang seharusnya menjadi momen untuk mengembangkan diri, bermain, dan belajar justru runtuh karena konflik berkepanjangan. Anak-anak itu masih terlalu dini untuk memikirkan bagaimana bertahan hidup di tengah situasi yang tidak menentu.
Satu hal penting yang menjadi gantungan hidup adalah memiliki orangtua atau sanak saudara yang bisa merawatnya. Hanya, banyak dari mereka kehilangan orangtua, saudara, ataupun orang-orang terdekat. Akibatnya, anak-anak di Gaza harus berjuang melangsungkan kehidupannya secara mandiri dan serba kekurangan sedari kecil.
Baca juga: Membuka Mata Dunia pada Ancaman Kemanusiaan di Palestina
Dengan besarnya eskalasi konflik yang berlangsung hampir sebulan ini, tidak mustahil apabila dampak fisik dan psikis anak-anak di Gaza akan semakin parah. Oleh karena itu, perlu ada dukungan dari berbagai pihak di seluruh dunia agar konflik segera mereda dan usai. Konflik ini penting untuk segera disudahi demi pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan dan harkat kehidupan anak-anak serta perempuan yang sangat rentan terimbas dampak buruk pertikaian itu.
Meminjam istilah Gordon Brown, mantan Perdana Menteri Inggris, dalam tulisannya di The Guardian (27/10/2023), anak-anak menjadi silent victims atau korban yang diam ketika terjadi konflik di tempat tinggal mereka. Kendati sulit menyuarakan keadaan dan harapannya, anak-anak harus memendam dalam ingatan, trauma, dan perasaannya yang justru dapat mengancam masa depan menjadi suram.
Konflik antara Israel dan Hamas tidak hanya meluluhlantakkan bangunan infrastruktur semata, tetapi juga mengubur masa depan anak-anak. Besarnya dampak jangka panjang pada generasi penerus itu kiranya menjadi dorongan bagi dunia untuk terus menyerukan perdamaian dan dukungan demi menyelamatkan anak-anak dari ancaman masa depan yang memilukan. (LITBANG KOMPAS)