Menakar Elektabilitas Gibran
Melejit atas sejumlah nama tokoh yang sebelumnya digadang-gadang bakal menjadi cawapres, Gibran tiba-tiba mengakhiri teka-teki cawapres Prabowo. Seberapa besar potensi elektabilitas Gibran?
”Tenang saja Pak Prabowo, tenang saja Pak, saya sudah ada di sini.” Itu adalah kata-kata yang diserukan Gibran Rakabuming Raka pada pidato pertamanya saat seusai pendaftaran ke KPU sebagai bakal calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto, Rabu (25/10/2023). Gibran yang biasanya selalu irit bicara di depan publik, saat itu berani tampil vokal di depan para ketua umum dan kader partai politik Koalisi Indonesia Maju.
Tak hanya menenangkan Prabowo, dengan gaya setengah berkampanye Gibran yang dikelilingi ribuan kader dan simpatisan Koalisi Indonesia Maju (KIM) juga menyosialisasikan janji-janji politiknya. ”Dana abadi pesantren, kredit startup milenial, KIS Lansia, Kartu Anak Sehat, untuk mencegah stunting...,” seru Gibran sambil berkeliling membawa papan bertuliskan program-program yang akan dijalankan pemerintahannya jika menang.
Cara berpidato Gibran dan bahasa tubuhnya (gesture) sangat simpel dan mudah dicerna publik. Sang calon presiden Prabowo Subianto tak kalah semringah berdampingan dengan penampilan cawapresnya. ”Bagaimana, enggak salah kan pilihan aku? Paten enggak, wakil presiden kita?” kata Prabowo kepada pendukungnya. Massa pendukung menjawab, ”Pateen.” ”Terlalu muda enggak?” kata Prabowo. ”Enggaak,” jawab massa serempak.
Penampilan Gibran yang kini lebih berani dan tampil lebih vokal dalam berpidato tampaknya merupakan upaya mengenalkan sosok Gibran yang lebih ”utuh” kepada pemilih. Selama ini, boleh jadi nama Gibran hanya ada dalam pemberitaan media yang ada di ruang publik tetapi belum mengenalkan Gibran sebagai sosok yang lebih utuh sebagai seorang calon pemimpin.
Minimnya pengenalan publik itu terekam pula dari hasil survei Kompas bulan Mei 2023 dan Agustus 2023. Di tingkat nasional, nama Gibran Rakabuming Raka masih sangat minim dikenal sebagai calon pimpinan nasional. Dari hasil survei terlihat bahwa hanya sekelumit (0,1 persen) responden yang menyebutkan nama Gibran sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Hal demikian juga diperkuat dari survei Litbang Kompaskhusus di Jawa Tengah dengan 1.100 responden pada 1-10 Desember 2022. Survei menanyakan siapa tokoh dari Jawa Tengah yang dianggap layak maju menjadi presiden/wakil presiden Pemilu 2024. Hasil survei mencatat rekomendasi publik Jawa Tengah mencakup nama Ganjar Pranowo (53,1 persen), Prabowo Subianto (1,7 persen), dan Gibran Rakabuming Raka (0,5 persen).
Meski Gibran tidak cukup populer dalam pencalonan level presiden/wapres, di mata publik Jawa Tengah nama putra Presiden Joko Widodo itu tergolong paling populer sebagai calon gubernur Jateng. Nama Gibran Rakabuming menempati posisi teratas dengan elektabilitas sebagai Gubernur Jateng pengganti Ganjar Pranowo dengan angka elektabilitas 14,3 persen. Tingkat elektabilitas Gibran ini di atas angka Wagub Jateng Taj Yasin Maimoen (2,3 persen) dan mantan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi (2,3 persen).
Nama Gibran juga menonjol dalam pandangan publik Kota Solo di mana dia menempati peringkat tertinggi tokoh di kota tersebut mengungguli kepala daerah lainnya di Jawa Tengah. Publik memandang bahwa karakteristik dan keberhasilan Gibran di Kota Solo dianggap paling menjanjikan untuk selanjutnya naik ke jenjang yang lebih tinggi sebagai Gubernur Jateng.
Kini, putusan atas gugatan syarat batas usia 40 tahun sebagai capres/cawapres di Mahkamah Konstitusi akhirnya berakhir dengan klausul tambahan ”berpengalaman sebagai kepala daerah hasil pilkada langsung” yang membuka jalan Gibran Rakabuming sebagai cawapres. Namun, apakah penetapan Gibran itu memberikan insentif elektoral yang signifikan bagi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka?
Elektabiltas melejit
Hasil survei Kompas yang dilakukan baik di tingkat nasional maupun Jawa Tengah menunjukkan bahwa popularitas Gibran sesungguhnya masih bersifat lokal Jateng. Untuk tingkat nasional, survei Kompas merekam bahwa meskipun nama Gibran muncul sejak survei Juni 2022 tetapi baru dinyatakan oleh segelintir responden.
Hal ini berbeda dengan nama lain yang saat ini maju menjadi pasangan capres/cawapres Pemilu 2024, di mana rata-rata masuk dalam nominasi utama nama capres/cawapres berdasarkan hasil survei. Nama Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan dalam survei Kompassepanjang tahun 2023 selalu menempati posisi tiga besar kandidat capres 2024.
Demikian pula nama cawapres saat ini, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Mahfud MD merupakan nama-nama yang cukup beroleh suara publik hasil survei meski tidak dominan. Seperti diketahui, nama-nama yang dominan diunggulkan menjadi cawapres berdasarkan survei Kompas meliputi Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, dan Agus Harimurti Yudhoyono.
Dengan penetapan nama Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan Prabowo Subianto dalam kontestasi Pilpres 2024, tampaknya langkah politik KIM semakin percaya diri untuk memenangi kontestasi Pilpres 2024 at all cost. Hal ini karena berbagai sorotan publik tak mengendurkan upaya mereka. Jawaban Prabowo terlihat teguh saat menjawab pertanyaan terkait sejumlah polemik yang melingkari pencalonan Gibran.
”Kalau dinastinya Pak Jokowi ingin berbakti untuk rakyat, kenapa? Salahnya apa? Jadi berpikir yang baiklah, berpikir positif,” kata Prabowo menjawab pertanyaan bernada kritis tentang Gibran yang dinilai menjalankan politik dinasti karena merupakan anak Presiden Joko Widodo.
Gibran pun menepis tudingan politik dinasti dengan jawaban, ”Saya kembalikan itu kembali ke warga, misalnya tidak berkenan, ya jangan dipilih.”
Terlepas dari polemik yang terjadi, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 16-18 Oktober 2023 menunjukkan, pasangan capres/cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming unggul dibandingkan dua pasangan lainnya. Jika pemilu dilakukan saat itu, pasangan Prabowo-Gibran menempati elektabilitas teratas dengan angka 35,9 persen, di atas peringkat kedua Ganjar Pranowo-Mahfud MD (26,1 persen) dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (19,6 persen).
Lebih jauh dari hasil survei LSI tersebut, elektabilitas akan relatif sama jika seandainya Prabowo berpasangan dengan Khofifah Indar Parawansa (35,8 persen) tetapi sebenarnya akan lebih tinggi jika Prabowo berpasangan dengan Erick Thohir yang bisa mencapai 39,0 persen.
Survei LSI ini juga menangkap tingkat pilihan cawapres saja di mana dalam format pilihan nama tertutup tiga nama, tingkat elektabilitas Gibran Rakabuming sudah berada di antara Erick Thohir dan Khofifah Indar Parawansa. Hal ini bermakna bahwa pada saat jelang akhir pendaftaran capres ke KPU tanggal 25 Oktober 2023 itu, elektabilitas Gibran sudah naik tinggi ketimbang sebelumnya sebagaimana terekam dalam survei Kompas yang terakhir dilakukan pada Agustus 2023.
Citra vs strategi
Sulit dimungkiri, langkah memilih Gibran menjadi pasangan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 lebih mendasarkan pada pertimbangan strategis ketimbang pertimbangan dukungan/basis elektoral. Karena jika pertimbangan elektoral yang dipakai, maka Erick Thohir adalah pilihan yang paling rasional.
Tak hanya karena elektabilitas Erick Thohir, tetapi juga dari sisi keterwakilan calon dari luar Jawa (ayah Erick Thohir berdarah Lampung) dimana keunggulan ini tak dimiliki kandidat lain. Dengan memasang Gibran sebagai pasangan Prabowo, pada akhirnya terlihat pertimbangan strategi Koalisi Indonesia Maju yang melihat faktor keunggulan lain dari sosok Gibran.
Baca juga: Gibran Rakabuming Raka, Sosok Mandiri atau Penerus Jejak Ayahnya?
Hal itu diperkuat dengan temuan lain dari survei LSI pada 16-18 Oktober 2023 bahwa terdapat perbedaan penyikapan publik atas keputusan Mahkamah Konstitusi yang putusannya membuka jalan bagi pencalonan Gibran sebagai cawapres. Dukungan terhadap putusan MK paling banyak disuarakan oleh responden pemilih Prabowo (41,0 persen) ketimbang pemilih Ganjar (33,8 persen) dan pemilih Anies Baswedan (16 persen). Artinya, dukungan kepada Gibran sesungguhnya lebih bersifat monolitik pemilih Prabowo.
Dipasangnya Gibran Rakabuming Raka tampaknya juga ditujukan untuk meraih suara pemilih muda-milenial yang di dalam Pemilu 2024 diperkirakan berjumlah 115 juta orang atau 56 persen dari total pemilih. Komposisi pemilih-pemilih muda ini tentu diharapkan menjadi penguat elektabilitas Prabowo yang dalam survei-survei termutakhir masih dalam posisi cukup berimbang dengan Ganjar Pranowo.
Komposisi pemilih Prabowo dalam survei Kompas Agustus 2023 menunjukkan jumlah pemilih muda (17-41 tahun) yang terdiri dari gen Z, milenial muda, dan milenial tua yang cukup besar mencakup hampir 70 persen. Sementara komposisi gen X (42-55 tahun) mencakup 20-an persen dan usia lansia sekitar 10 persen. Secara umum, komposisi pemilih Prabowo sebenarnya cenderung lebih muda ketimbang pemilih Ganjar atau pemilih Anies.
Namun, lagi-lagi komposisi pemilih ini tampaknya tak menjadi pertimbangan utama bagi dipilihnya Gibran dalam mendampingi Prabowo karena sebenarnya Prabowo lebih memerlukan penebalan pemilih di kelompok usia matang (generasi X).
Salah satu pertimbangan yang tergolong tepat terkait dipilihnya Gibran adalah dari kategori provinsi pemilih. Dari kategori ini, elektabilitas Prabowo tampak masih kurang kuat di Jawa Tengah (hanya 14,1 persen) dibandingkan Ganjar Pranowo (49,2 persen). Penempatan Gibran sebagai sosok yang dominan di Solo raya tentu diharapkan mampu meraih sebagian suara simpatisan dan jejaring sukarelawan Gibran.
Pencalonan Gibran sebagai cawapres pendamping Prabowo pada akhirnya akan terkait dengan upaya mengandalkan mesin sukarelawan Jokowi dan mesin partai pendukung Koalisi Indonesia Maju. Hal itu tecermin dari sikap sukarelawan Projo pimpinan Budi Arie Setiadi yang sejak awal sudah menegaskan mendukung Prabowo sebagai perwujudan sikap ”tegak lurus” arahan Jokowi (Kompas, 15/10/2023).
Jaringan kekuatan politik itu ditunjang pula dengan sikap politik Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto. Terlebih kini dengan posisi Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI, maka jejaring kekuatan politik ”anak muda” semakin potensial direngkuh Prabowo-Gibran.
Gugatan publik
Dengan segenap kekuatan dan kapital sosial politik yang mampu dihimpun Gibran Rakabuming sebagai cawapres Prabowo Subianto, faktanya tak lepas dari sorotan publik yang terarah kepadanya. Tudingan terjadinya ”politik dinasti” dan kapasitas pengalaman kepemimpinan adalah dua hal utama yang menjadi tantangan Gibran.
Publikasi media monitoring Drone Emprit pada periode 15-17 Oktober 2023 mencatat analisis sentimen di media daring dan media sosial pada saat putusan MK dibacakan hakim ketua Anwar Usman. Hanya 32 persen sentimen positif dengan respons ”angin segar bagi generasi Z dan milenial”. Sementara sebagian besar (47 persen) menunjukkan sentimen negatif di mana MK dikatakan ”kehilangan akal sehat”, ”muluskan dinasti Jokowi”, dan ”merusak demokrasi”.
Drone Emprit juga merangkum sentimen di media sosial di mana hanya 29 persen sentimen positif yang terbentuk, sedangkan yang negatif jauh lebih besar (60 persen) dengan pesan, ”marah terhadap putusan MK”, ”MK lampaui kewenangan”, ”MK mahkamah keluarga”, dan ”tidak lepas dari pengaruh istana”. Data monitoring diambil Drone Emprit” dari media daring dan X ini menggunakan kata kunci Mahkamah Konstitusi.
Hal itu bermakna, jika kedua isu tersebut tak mampu dimoderasi oleh pasangan capres/cawapres Prabowo-Gibran, maka sulit menghindarkan dari potensi penurunan citra positif di mata publik. Bagaimanapun, serangan berupa narasi untuk membuat framing dari pihak lain akan mengarah pada aspek yang paling rentan dari posisi politik Prabowo-Gibran saat ini.
Becermin dari hasil survei Kompas periode Mei 2023 dan Agustus 2023 menunjukkan Prabowo menanggung risiko resistensi publik hingga sebesar 4,5 persen dalam hal kelayakan pencalonan sebagai presiden. Angka resistensi tersebut dinamis dari waktu ke waktu seiring isu yang sedang tercitrakan kepada kandidat capres/cawapres. Bandingkan angka itu dengan tingkat elektabilitas Prabowo Subianto pada waktu yang sama sebesar 24,5 persen.
Penurunan citra itu sendiri bisa jadi tak akan langsung menurunkan elektabilitas pasangan ini karena karakteristik pemilih yang disasar merupakan kalangan yang kurang mengikuti isu politik spesifik seperti politik dinasti. Namun, seiring semakin merembesnya informasi tentang politik dinasti dan kapabilitas capres ke lapisan masyarakat bawah (akar rumput) dan menjadi perbincangan sosial, maka bakal sulit bagi Prabowo-Gibran mengembalikan posisi keunggulan elektabilitas.
Apalagi saat ini makin marak ketegangan kata-kata yang terjadi antara sejumlah elite pengurus PDI-P terhadap kiprah Joko Widodo dan Gibran Rakabuming, yang banyak dikaitkan dengan perihal etika politik.
Lebih daripada itu, dampak dari isu putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan klausul tambahan memungkinkan Gibran Rakabuming maju cawapres sebenarnya menjadi penghalang yang lebih serius. Kalangan ahli hukum, akademisi, hingga praktisi hukum ramai-ramai mengecam putusan MK yang dinilai sarat dengan penyimpangan prosedur dan bermasalah secara substansi.
Baca juga: Menakar Kontribusi Gibran di Pilpres 2024
Ketua Majelis Kehormatan MK (MKMK) Jimly Asshiddiqie telah menyatakan MKMK tak berwenang mengubah putusan terkait gugatan syarat usia capres/cawapres. Namun, dengan berkembangnya polemik hukum di masyarakat, maka membawa risiko bagi pasangan Prabowo-Gibran.
Pada akhirnya, majunya Gibran menjadi cawapres Prabowo merupakan sejarah baru dalam pilpres era reformasi dimana seorang putra presiden, wali kota yang berusia 36 tahun, akan bertanding dalam pemilu presiden. Apakah publik pemilih di kotak suara saat memilih pasangan Prabowo-Gibran akan mempertimbangkan rekam jejak nantinya akan ditentukan bagaimana ucapan, citra, dan tindakan Gibran dibandingkan dengan dampak kerusakan politis isu politik dinasti, kapabilitas, dan putusan MK. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Gibran dan Polemik Dinasti Politik