Ketegangan Timur Tengah Rentan Melemahkan Ekonomi Asia Pasifik
Berlimpahnya sumber daya minyak di Timur Tengah membuat kawasan ini memiliki pengaruh kuat terhadap geopolitik dunia.
Konflik Timur Tengah rentan menimbulkan gejolak ketidakstabilan perekonomian global. Berlimpahnya sumber daya minyak bumi membuat kawasan ini memiliki pengaruh kuat terhadap geopolitik dunia. Banyak negara memiliki ketergantungan suplai minyak bumi terhadap kawasan ini, tidak terkecuali wilayah Asia Pasifik termasuk Indonesia.
Konflik bersenjata yang tengah berlangsung antara Hamas dan Israel saat ini dikhawatirkan akan memicu terjadinya konflik lebih luas yang berisiko meningkatkan kerawanan di kawasan Timur Tengah. Terlibatnya sejumlah negara pada setiap pihak yang berseteru itu rentan menimbulkan konflik yang dapat mengganggu distribusi minyak ke seluruh dunia. Terutama jika konflik tersebut justru menyebabkan perseteruan antarnegara-negara Arab yang pada akhirnya memicu ketegangan di Teluk Persia, Teluk Oman, dan di sekitar Laut Mediterania Timur.
Kawasan perairan tersebut sangat rawan terimbas karena konflik geopolitik itu sehingga akan berdampak pada distribusi ekspor minyak bumi yang melewati jalur laut. Aksi blokade laut dapat saja terjadi ketika sejumlah negara menggunakan kekuatan geopolitiknya untuk membela kubu yang mereka dukung.
Kekhawatiran itu didasarkan pada hubungan diplomatik sejumlah negara-negara Arab yang dekat dengan Amerika Serikat. Selain itu, beberapa negara Arab kini telah berdamai dengan Israel, seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, Maroko, Jordania, dan Mesir. Bahkan, Arab Saudi sebagai pemimpin negara-negara kawasan Teluk saat ini juga semakin dekat dengan upaya pemulihan hubungan diplomatik dengan Israel.
Situasi tersebut kemungkinan akan dimanfaatkan AS beserta sekutunya untuk meraih dukungan dari sejumlah negara Arab untuk ”melunak” dengan aksi Israel itu. Hal ini tentu saja akan memperkokoh sikap geopolitik AS beserta sekutunya untuk mendukung dan mengirimkan bantuan militer ke Israel. Di sisi lainnya, ada beberapa negara di kawasan Timur Tengah yang tetap teguh mendukung perlawanan pejuang Palestina, seperti Iran, Lebanon, dan Suriah.
Ketiga negara ini memiliki kawasan perairan sebagai batas wilayahnya sehingga dapat menggunakan kekuatan geopolitiknya untuk memengaruhi jalannya peperangan, seperti Iran yang memiliki batas laut dengan Teluk Persia hingga Teluk Oman dan Lebanon beserta Suriah yang memiliki batas laut di perairan Mediterania Timur.
Baca juga: Membuka Mata Dunia pada Ancaman Kemanusiaan di Palestina
Ketegangan di wilayah Teluk Persia dan Teluk Oman berpotensi mengakibatkan distribusi energi dari negara Kuwait, Arab Saudi, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, Irak, dan Iran terganggu sehingga dapat memicu harga energi melonjak. Pun demikian dengan gangguan di perairan Mediterania Timur dapat memicu kenaikan harga distribusi barang dan jasa dari kawasan Eropa ke Timur Tengah khususnya yang melewati Terusan Suez di Mesir menjadi lebih mahal.
Tidak solidnya sikap negara-negara Arab dapat memunculkan konflik kepentingan dalam mendukung kubunya masing-masing. Hal inilah yang sangat rawan memicu ketegangan lebih luas dan dapat berimbas pada distribusi minyak bumi beserta produk-produk turunannya secara global. Jika hal ini terjadi, akan memunculkan gejolak ekonomi yang disebabkan melambungnya harga minyak bumi dunia.
Harga pengiriman barang dan jasa akan semakin mahal sehingga rentan menggerus keuangan negara-negara importir minyak demi menambal subsidi energi yang kian mahal di pasaran internasional. Jika negara-negara importir minyak gagal menyediakan anggaran yang cukup, opsi mengurangi subsidi dengan menaikkan harga bahan bakar minyak menjadi opsi pilihan yang rasional demi menyelamatkan keuangan negara. Meskipun, langkah fiskal ini pada akhirnya akan memicu inflasi lebih tinggi, menurunkan daya beli masyarakat, menurunkan pertumbuhan ekonomi, dan rentan meningkatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan.
Minyak Timur Tengah
Dalam tata niaga minyak bumi, peranan Timur Tengah sangat besar dalam stabilisasi suplai pasar global. Berdasarkan data Badan Energi Internasional (IEA) tahun 2022, produksi minyak bumi kawasan ini mencapai 31 juta barel per hari. Dari produksi sebanyak ini, hanya terserap sekitar 8 juta barel per hari di kawasan tersebut sehingga kawasan Timur Tengah surplus produksi minyak 23 juta barel setiap hari.
Surplus tersebut merupakan yang terbesar di antara kawasan produsen minyak lainnya. Sebut saja seperti kawasan Amerika utara yang surplus sekitar 3 juta barel sehari; Amerika tengah dan selatan hampir 1 juta barel/hari; Afrika kisaran 3 juta barel per hari; dan Eurasia surplus rata-rata sehari sekitar 9 juta barel.
Baca juga: Menakar Potensi Dampak Ekonomi Krisis Hamas-Israel
Surplus produksi minyak bumi Timur Tengah yang lebih dari 20 juta barel per hari tersebut membuat kawasan ini menjadi tulang punggung penting bagi kesetimbangan pasar energi dunia. Susutnya produksi minyak bumi atau terganggunya arus pengiriman minyak dari wilayah ini akan berdampak luas pada tata niaga energi secara internasional.
Oleh karena itu, meskipun Palestina dan Israel bukanlah produsen minyak dunia, unsur geopolitik kawasan Timur Tengah yang menyertainya dapat memicu hadirnya kelangkaan energi akibat politik kepentingan. Hal ini sangat berisiko bagi seluruh negara di dunia terutama negara-negara yang minim sumber daya energi fosil.
Beban keuangan yang ditanggung oleh negara minim minyak bumi akan semakin berat seiring dengan melambungnya harga minyak bumi di pasaran global. Setiap negara harus bersiasat menghadapi situasi ini dengan menerapkan kebijakan fiskal dan moneternya secara tepat sesuai kondisinya masing-masing agar tidak terjadi stagflasi ekonomi di negara bersangkutan.
Ada dua kawasan di dunia saat ini yang sangat rentan terdampak dari situasi makro-ekonomi komoditas minyak bumi, yakni kawasan Eropa dan Asia Pasifik. Kedua kawasan ini tergolong sebagai daerah yang minim pasokan energi dari internal wilayahnya sehingga harus mendatangkan energi fosil dari luar kawasan. Setiap hari, kedua kawasan ini selalu defisit suplai energi dengan kuantitas yang sangat besar. Kawasan Eropa mengalami kekurangan sekitar 8 juta barel per hari dan wilayah Asia Pasifik defisit kisaran 25 juta barel sehari. Situasi demikian membuat kedua wilayah ini memiliki tingkat kedaulatan energi yang sangat rendah karena tingkat ketergantungannya terhadap asing sangatlah besar.
Kekurangan pasokan minyak dapat menjadi celah kelemahan kedua kawasan itu dalam percaturan geopolitik global. Secara alamiah, kedua kawasan tersebut menjadi relatif mudah ”dikendalikan” dan diatur demi memenuhi stok suplai energi domestiknya.
Asia Pasifik
Ada sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik yang tingkat ketergantungan suplai energi minyaknya sangat tinggi. Negara tersebut adalah China, India, Jepang, dan negara-negara di Asia Tenggara. Tingkat konsumsi minyak di keempat kawasan itu rata-rata di atas 3 juta barel per hari. Bahkan, tingkat konsumsi China dalam sehari mencapai 14,4 juta barel atau menduduki peringkat terbesar kedua di dunia setelah AS dengan tingkat konsumsi 18,3 juta barel sehari.
Namun, situasi China lebih rentan dibandingkan AS karena China sebagian besar mengandalkan pasokan energi minyaknya dari impor asing. Produksi minyak China per hari hanya sekitar 4 juta barel sehingga harus mengimpor minyak sekitar 10 juta barel sehari. Berbeda dengan AS, yang mampu memenuhi konsumsi energinya dari produksi domestik dan masih menyisakan surplus sehingga dapat di ekspor ke luar negeri.
Baca juga: Standar Ganda Dunia Barat atas Serangan Israel ke Gaza
Dengan demikian, impor komoditas minyak bumi terbesar di dunia saat ini diduduki oleh China. Dapat dibayangkan, apabila ada situasi global yang memengaruhi harga minyak bumi di pasaran China, secara tidak langsung juga akan berpengaruh pada neraca perdagangan internasional. Sebab, China memiliki peran sentral dalam perdagangan sejumlah komoditas penting yang dibutuhkan seluruh dunia.
Oleh karena itu, tren harga minyak dunia yang terus beranjak naik sejak konflik Israel-Hamas yang meletus pada 7 Oktober 2023 patut terus dicermati, termasuk bagi negara-negara net importir seperti halnya Indonesia. Terutama jika tren kenaikan harganya terjadi dalam tempo relatif lama dan di atas estimasi Indonesian Crude Price (ICP) yang diskenariokan. Dalam APBN 2023, ICP tahun ini diperkirakan pada kisaran 90 dollar AS/barel sehingga tren kenaikan harga minyak bumi yang melebihi patokan ICP itu harus terus dicermati dan diatasi agar tidak menimbulkan beban berat bagi keuangan negara.
Saat ini, harga minyak bumi mulai bertengger di kisaran 90 dollar AS per barel. Harga tersebut sudah dimulai sejak awal September 2023. Situasi itu dipicu oleh permintaan yang tinggi dari sejumlah negara, termasuk dari China. Di saat bersamaan, suplai dari negara produsen dan eksportir minyak dunia (OPEC) justru sedikit menyusut sehingga memicu kenaikan harga lebih mahal.
Belum tuntasnya persoalan supply-demand tersebut kini diperberat dengan konflik geopolitik Israel-Palestina yang menghangatkan situasi geopolitik di Timur Tengah. Ada potensi kerawanan hubungan diplomatik yang dapat memicu harga minyak dunia melambung lebih mahal lagi. Oleh karena itu, peran seluruh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, sangat dibutuhkan untuk turut menengahi konflik tersebut agar lekas mereda dan kembali menjaga stabilisasi geopolitik dan geoekonomi global. (LITBANG KOMPAS)