Menakar Potensi Dampak Ekonomi Krisis Hamas-Israel
Konflik Hamas dan Israel mengancam ribuan nyawa dan juga ekonomi dunia. Konflik ini dapat berujung perang terbuka.
Salah satu ancaman paling nyata dari konflik Hamas-Israel yang semakin memanas ialah melonjaknya harga minyak mentah dunia.
Secara geografis, proksimitas dari konflik yang terjadi di Timur Tengah ini cukup dekat dengan negara-negara penghasil minyak. Apabila pasokan atau distribusi minyak dari kawasan ini terganggu, harga minyak pun kemungkinan akan terdorong dari sisi suplai.
Naiknya harga minyak secara signifikan dalam waktu singkat bisa memberikan efek kejut luar biasa ke pasar. Karena meresap dalam proses produksi dan distribusi berbagai produk di nyaris setiap industri, dampak kenaikan komoditas ini akan menjalar.
Belum lama, konflik Rusia-Ukraina menjadi contoh bagaimana disrupsi di sektor energi ini menghantam laju perbaikan ekonomi pascapandemi.
Dalam konteks konflik Israel-Palestina, krisis energi sebagai ekses konflik juga pernah terjadi. Hal ini terjadi pada Perang Yom Kippur 50 tahun lalu.
Saat itu, organisasi negara pengekspor minyak di Arab (Organization of Arab Petroleum Exporting Countries/OAPEC) melakukan embargo kepada AS sebagai langkah retaliasi atau pembalasan.
Pangkal persoalannya, Amerika Serikat kala itu memberikan bantuan 2,2 miliar dollar AS kepada Israel pada Perang Yom Kippur tahun 1973.
Tak lama setelah embargo diberlakukan, harga minyak mentah dunia meroket. Dalam kurun waktu sekitar tiga bulan, harga minyak mentah dunia naik hampir empat kali lipat dari 2,90 dollar AS per barel menjadi 11,65 dollar AS per barel. Kenaikan harga minyak ini terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya meski embargo dari OAPEC telah dihentikan.
Kenaikan harga ini pun mendorong laju inflasi dengan cepat. Sebelum konflik memanas, inflasi global berada di kisaran 5-7 persen. Pada Februari 1974, angka itu naik hingga lebih dari 11 persen. Bahkan, beberapa negara mencatatkan tingkat inflasi di atas 20 persen.
Situasi tersebut masih terus bergulir hingga setahun berikutnya di mana tingkat inflasi global masih berada di angka 11 persen pada Juli 1975. Tak heran, periode 1973-1981 dikenang sebagai era the great inflation yang ditandai dengan tingginya inflasi dan stagnasi pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Perang Asimetris Hamas Vs Israel
Tiga skenario perang
Kuatnya hubungan antara konflik di Timur Tengah dan kenaikan harga minyak dunia dan inflasi ini memantik kekhawatiran banyak pihak.
Sekitar seminggu setelah pecahnya konflik Hamas-Israel, harga minyak mentah mulai merangkak naik hingga di kisaran 89 dollar AS per barel pada 20 Oktober 2023. Sebelum konflik, pada Jumat (6/10/2023), harga minyak dunia berada di sekitar 81 dollar AS per barel.
Ancaman kenaikan harga minyak telah diwaspadai lembaga keuangan dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, jika harga minyak mengalami kenaikan berlarut sebesar 10 persen, akan menyebabkan turunnya pertumbuhan PDB global sebesar 0,15 poin persen. Inflasi juga diprediksi akan naik 0,4 persen poin di tahun berikutnya.
Dalam konteks konflik kali ini, terdapat tiga skenario perang yang mungkin terjadi, bergantung pada seberapa luas konflik meluber. Setiap skenario memiliki potensi dampak ekonomi yang berbeda besarnya.
Skenario pertama adalah yang paling ringan, yakni konflik terbatas. Sesuai dengan namanya, skenario ini terjadi ketika konflik bisa dibatasi di sekitar Gaza saja. Hal ini mungkin terjadi apabila Israel melakukan mobilisasi pasukan dan melakukan invasi ke wilayah Gaza, tanpa adanya intervensi dari negara lain di kawasan.
Apabila konflik bisa dikendalikan hanya di wilayah Israel dan Palestina, dan juga dengan minimnya keterlibatan negara lain, dampak ekonomi yang ditakutkan bisa saja tidak terjadi. Dalam skenario ini, kenaikan harga minyak sebagai dampak konflik hanya berkisar di angka 4 dollar AS per barel. Bisa dibilang, kenaikan di level ini masih relatif normal.
Terkendalinya kenaikan harga minyak ini diprediksi membuat efek lanjutan di indikator perekonomian lain tidak terlalu besar. Kenaikan inflasi akibat dampak konflik di skenario ini diprediksi hanya berkisar di 0,1 poin persen. Perlambatan pertumbuhan PDB global pun diperkirakan kecil, hanya turun 0,1 poin persen.
Skenario kedua terjadi ketika konflik meluber hingga ke negara-negara di sekitar. Skenario ini mungkin muncul apabila perang merembet ke negara tetangga, seperti Lebanon dan Suriah. Konflik akan semakin kompleks dengan munculnya kerusuhan di beberapa negara sekitar titik konflik yang memperkeruh situasi sosial politik di kawasan.
Dalam skenario ini, kenaikan harga minyak mentah global diperkirakan akan lebih terasa hingga dua kali lipat dibandingkan dengan skenario pertama. Tekanan dari harga minyak akan berimbas pada tingkat inflasi yang bisa naik 0,2 poin persen. Kenaikan tingkat inflasi ini bisa menghambat pertumbuhan PDB dunia hingga 0,3 poin persen.
Baca juga: Membuka Mata Dunia pada Ancaman Kemanusiaan di Palestina
Skenario terburuk
Skenario ketiga muncul apabila konflik akhirnya melibatkan aktor utama di Timur Tengah. Ini terjadi apabila Iran, yang memiliki kedekatan dengan kelompok Hezbollah di Lebanon, Mesir, dan Suriah, terlibat dalam perang terbuka. Konflik ini pun bisa tereskalasi menjadi lebih luas dengan masuknya aliansi Israel, seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia, ke dalam perang.
Dalam skenario ini, harga minyak diprediksi naik tajam. Estimasi Bloomberg, harga minyak bisa meroket hingga lebih dari 150 dollar AS per barel. Salah satu yang paling ditakutkan adalah terhambatnya distribusi minyak dunia di mana seperlimanya melewati Selat Hormuz yang dekat dengan titik konflik.
Kenaikan ini bisa menggetarkan Eropa dengan tingkat inflasi hingga di angka dua digit. Dampak ekonominya pun akan lebih terasa secara global, hingga melambatkan pertumbuhan PDB dunia turun hingga 1,7 persen. Jika dikuantifikasi, resesi ekonomi ini bisa mengurangi pengeluaran ekonomi global hingga 1 triliun dollar AS.
Dari ketiga skenario, yang paling tampak mungkin terjadi adalah skenario kedua. Setelah dikhawatirkan terjadi sejak awal krisis, wilayah Lebanon selatan mulai memanas. Laporan terbaru dari harian Haaretz Israel, pada Jumat (20/10/2023), Hezbollah telah melancarkan serangan roket ke Israel.
Meski paling mendekati skenario kedua, ancaman konflik tereskalasi hingga ke skenario ketiga masih sangat nyata. Terlebih, konflik yang makin berlarut akan menimbulkan krisis pengungsi. Krisis ini kemungkinan besar akan menimbulkan krisis sosial di negara sekitar, termasuk Mesir hingga Turki.
Maka, jika eskalasi terus terjadi, dunia akan terancam jatuh ke dalam jurang resesi setelah sedikit bangkit dari tekanan pascapandemi dan krisis Rusia-Ukraina.
Hanya saja, deeskalasi konflik melalui kanal-kanal diplomasi masih cenderung mandek. Di tengah kebuntuan ini, dunia mesti bersiap untuk menghadapi kemungkinan paling buruk. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Indonesia Terus Suarakan Penghentian Perang Israel-Hamas