Gibran dan Polemik Dinasti Politik
Pencalonan bakal calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka memunculkan polemik politik dinasti. Bagaimana publik menilainya?
Nama Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka akhirnya resmi diumumkan sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju.
Pengumuman ini menjadi puncak polemik seiring dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden. Sorotan publik terkait menguatnya praktik dinasti politik tak bisa dielakkan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Peluang Gibran maju sebagai bakal calon wakil presiden ini makin terbuka setelah pada 16 Oktober 2923 MK membuka ruang kepala daerah maju di pemilihan presiden meski belum berusia 40 tahun. Putusan itu menuai pro dan kontra, bahkan tak sepi dari kritik karena dinilai lembaga ini melampaui kewenangannya.
Sejumlah pihak menyebutkan, putusan MK ini semestinya menjadi wilayah pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR. Selain dinilai melampaui kewenangannya, MK juga dianggap tidak konsisten dengan putusannya tersebut.
Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar dalam artikelnya di Kompas, Selasa (17/10/2023), menyebutkan, salah satu tidak konsistennya MK kelihatan dengan kedudukan hukum (legal standing) dari pemohon uji materi yang dikabulkan.
Menurut Zainal, MK yang biasanya ketat dengan legal standing tiba-tiba menerima legal standing ”hanya” dengan alasan pemohon uji materi adalah seorang pengagum Wali Kota Surakarta.
Uji materi yang mengabulkan klausul pernah menjadi kepala daerah untuk bisa maju di pemilihan presiden ini diajukan oleh seorang pemohon atas dasar Wali Kota Surakarta telah memajukan daerah Surakarta sehingga, menurut pemohon, patut diperjuangkan untuk bisa lebih memajukan negeri ini melalui posisi sebagai presiden atau wakil presiden. Menurut Zainal, MK makin kontroversial karena menerima posisi legal standing yang tak elaboratif tersebut.
Reaksi publik semakin negatif karena putusan MK ini juga tidak bisa dilepaskan dengan opini yang berkembang bahwa upaya uji materi tersebut memang diperuntukkan guna memberi jalan politik bagi Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo, untuk berlaga di pemilihan presiden.
Hal ini tertangkap dari pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan syarat batas usia capres-cawapres yang disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra. Buntutnya, sikap Saldi ini pun kemudian dilaporkan ke Majelis Kehormatan MK oleh sejumlah advokat karena dinilai menodai dan menjatuhkan harkat martabat MK.
Baca juga: Jokowi Restui, Prabowo Pilih Gibran
Politik dinasti
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pertengahan Oktober lalu juga menangkap ada kegelisahan publik seiring dengan putusan uji materi MK terkait syarat usia bakal calon presiden dan wakil presiden tersebut. Apalagi, uji materi ini sudah kuat diiringi dengan kepentingan memberi karpet merah kepada Gibran untuk berlaga di Pilpres 2024.
Sebanyak 60,7 persen responden dalam jajak pendapat mengakui bahwa langkah Gibran Rakabuming Raka melaju dalam pemilihan presiden sebagai bakal calon presiden yang diumumkan Prabowo pada Minggu (22/10/2023) adalah bentuk dari praktik politik dinasti.
Bagaimanapun, wacana soal politik dinasti masih dipandang negatif oleh publik. Sebagian besar responden memandang politik dinasti ini cenderung lebih mengedepankan kepentingan (politik) keluarga dibandingkan kepentingan masyarakat. Tidak heran jika kemudian separuh lebih responden dalam jajak pendapat ini menyatakan tidak setuju dengan praktik politik dinasti ini.
Jika merunut rekam jejak keluarga Jokowi, kecenderungan ini sudah dimulai saat Gibran dan Bobby Nasution, menantu Jokowi, berlaga di pemilihan kepala daerah di Surakarta dan Kota Medan tahun 2020.
Namun, isu kala itu belum menonjol karena keduanya dipilih melalui kompetisi langsung meskipun di Pilkada Surakarta lawan dari Gibran adalah pasangan calon dari jalur perseorangan yang dinilai banyak pihak bukan lawan yang tangguh bagi Gibran.
Namun, fenomena saat ini isu politik dinasti cenderung menguat karena publik dipertontonkan ajang putusan MK yang dinilai banyak kalangan putusannya lahir dari kepentingan politik, bukan semata-mata pertimbangan hukum. Hal ini juga diperkuat dengan reaksi negatif dari sejumlah kalangan, termasuk dari mereka yang sebelumnya menjadi pendukung Jokowi.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, memiliki pendapat menarik. Menurut dia, pemilihan Gibran sebagai bakal cawapres terlalu cepat, bahkan elitis. Menurut Jati, kesan tersebut membuat publik merasa tak dilibatkan (Kompas, 16/10/2023).
Baca juga: Gibran Tak Tampak Saat Diumumkan Jadi Cawapres Prabowo
Prosedural
Apa yang disampaikan Jati menunjukkan aspek prosedural dalam demokrasi menjadi mutlak. Penghormatan nilai-nilai demokrasi yang dibangun atas landasan prosedur yang baik dan benar, tentu juga menguatkan bangunan demokrasi tersebut. Menguatnya sentimen politik dinasti yang ditangkap publik dalam jajak pendapat ini sebenarnya juga tidak dalam konteks membatasi hak politik seseorang.
Setidaknya hal ini juga tertangkap bagaimana sikap publik ketika ditanya soal perlunya aturan untuk membatasi lahirnya praktik politik dinasti. Separuh lebih responden (63,7 persen) menyatakan setuju dengan adanya aturan tersebut.
Namun, apakah aturan tersebut bisa dijadikan bentuk untuk membatasi hak politik seseorang, cenderung ditanggapi secara terbelah oleh responden. Sebagian menyatakan memang membatasi, tetapi sebagian yang lain menyatakan tidak membatasi.
Sikap terbelahnya publik ini tidak lepas dari penilaian yang melihat sama pentingnya antara perlunya membatasi politik dinasti dan perlunya menjamin hak politik bagi siapa pun untuk berpartisipasi dalam proses kompetisi politik. Tentu, bisa jadi hal ini tidak lepas dari rekam jejak aturan yang pernah dimiliki bangsa ini untuk mencegah praktik politik dinasti, tetapi tidak berapa lama aturan tersebut dihapuskan.
Aturan itu tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal ini melarang calon kepala daerah memiliki hubungan kerabat dengan petahana. Larangan ini lahir untuk membatasi hubungan kerabat calon kepala daerah dengan petahana.
Mereka baru boleh mengajukan diri setelah ada jeda satu periode, sesudah petahana tidak menjabat. Harapannya, ada sirkulasi kekuasaan yang lebih terbuka agar di daerah tidak didominasi oleh kekuatan politik (keluarga) tertentu. Namun, aturan ini tidak bertahan lama. MK akhirnya membatalkan pasal tersebut pada 8 Juli 2015 karena dinilai membatasi hak politik warga.
Tentu aturan tersebut hanya berlaku di pilkada dan sudah dihapuskan. Sementara di ajang pemilihan presiden, belum pernah ada aturan yang menghalangi lahirnya praktik politik dinasti.
Kini, Gibran sudah resmi diumumkan menjadi bakal calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju yang terdiri dari Partai Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, dan Partai Gelora.
Majunya Gibran juga sudah mendapatkan restu dari Jokowi. Reaksi publik yang cenderung negatif, setidaknya yang terbaca di media sosial, akan menjadi ujian apakah majunya Gibran ini akan semakin mengukuhkan politik dinasti di tengah sikap publik yang cenderung menolak terhadap praktik tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Dinasti Politik, Dibenci tapi Tak Dilarang