Getirnya Hidup di ”Penjara Terbuka” Jalur Gaza
Besarnya kebergantungan Gaza terhadap pintu perbatasan dengan Israel menjadikan blokade total yang diterapkan Israel membawa efek domino yang sangat merusak bagi Palestina.
Perang terbuka antara Hamas dan Israel memanas. Blokade Israel terhadap akses barang kebutuhan pokok dan bantuan kemanusiaan menjadikan nasib sedikitnya 2,3 juta warga Palestina di Jalur Gaza kian berada di titik nadir.
Perang yang baru berjalan 10 hari antara Hamas dan Israel telah menimbulkan korban jiwa begitu banyak. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mencatat jumlah korban jiwa hingga 15 Oktober 2023 telah mencapai 4.000 orang, dengan sebagian besar warga sipil. Konflik yang berlangsung saat ini dinilai paling mematikan bagi kedua belah pihak sejak tahun 2008.
Sebanyak 67,5 persen korban tewas atau sekitar 2.700 jiwa terenggut nyawa mereka di sekitar Jalur Gaza. Jumlah korban begitu banyak karena serangan balasan Israel di kawasan seluas sekitar 360 kilometer persegi itu berlangsung intensif. Israel mengerahkan kekuatan militer secara masif, baik lewat udara, laut, maupun darat.
Dalam melancarkan serangan, Israel tampak menerapkan strategi indiscriminate bombardment atau pengeboman tanpa pandang bulu. Melalui strategi semacam ini, seluruh bangunan dan warga sipil tidak dikecualikan ketika memilih target sasaran pengeboman. Apalagi, Tel Aviv memandang segala entitas di Jalur Gaza adalah sebagai obyek militer sehingga sah untuk dilenyapkan (Kompas.id, 15/10/2023).
Pengeboman itu hanyalah satu dari sekian petaka yang kini harus dihadapi sekitar 2,3 juta warga Palestina di Jalur Gaza. Aksi balasan Israel lain yang tak kalah mematikan adalah blokade total. Sejak 9 Oktober 2023 atau dua hari setelah serangan balasan atas Hamas, Israel mengumumkan telah memutus aliran makanan, air, listrik, bahan bakar, dan obat-obatan. Mereka menutup semua gerbang perbatasan dan melarang akses masuk keluar Gaza untuk alasan apa pun, termasuk bantuan kemanusiaan.
Israel dapat melakukan blokade itu secara efektif karena menguasai akses darat, udara, dan laut terhadap Gaza. Sejak 1994, Israel membangun pagar pembatas yang mengelilingi Gaza sepanjang 60 kilometer.
Baca juga: Perang Asimetris Hamas Vs Israel
Secara bertahap, Israel melengkapi pagar berduri setinggi 6 meter itu dengan sistem keamanan yang ketat dan canggih, seperti radar, sensor bawah tanah, kamera, menara pengawas, dan senapan mesin berpengendali jarak jauh. Pada 2021, pagar tersebut juga dilengkapi dengan pembatas beton bawah tanah sedalam beberapa meter. Pembatas beton dibangun khusus untuk mencegah pejuang Hamas menyusup ke wilayah Israel melalui terowongan bawah tanah.
Selanjutnya, Israel menerapkan zona larangan yang mengelilingi wilayah laut Gaza. Warga Gaza hanya bisa mengakses Laut Tengah paling jauh 15 mil laut dari pesisir. Kemudian, satu-satunya bandar udara di Gaza, yakni Gaza International Airport, dihancurkan Israel dan tidak lagi beroperasi sejak tahun 2001 (Al Jazeera, 13/10/2023).
Kendali terhadap perbatasan darat dan laut itu tidak main-main. Israel tak segan menembak pelanggar perbatasan. Berdasarkan data Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), selama kurun 2017-Agustus 2023, terdapat 4.551 insiden penembakan oleh tentara Israel terhadap warga Palestina terkait dengan dugaan pelanggaran akses perbatasan di darat dan laut. OCHA melaporkan setidaknya 36 petani dan nelayan Palestina di Gaza terluka antara kurun 2022- Agustus 2023 akibat penembakan oleh Israel.
Perbatasan darat
Dengan demikian, satu-satunya akses menuju Jalur Gaza hanya melalui gerbang perbatasan darat. Pada awalnya terdapat beberapa gerbang perbatasan, tetapi karena konflik yang terus terjadi dengan Hamas, tersisa empat gerbang yang beroperasi pada 2023.
Dua gerbang berbatasan dengan Israel, yakni Kerem Shalom untuk distribusi barang dan Erza untuk lalu lintas manusia. Dua gerbang lainnya adalah Rafah dan Salah Ad-Din yang berbatasan dengan Mesir.
Ketatnya pembatasan terhadap akses masuk keluar Gaza menjadikan wilayah seluas sekitar 365 kilometer persegi tersebut dijuluki ”penjara terbuka” atau open-air prison oleh komunitas internasional.
Dilansir dari OCHA, warga Palestina di Gaza dilarang melintasi perbatasan Israel, kecuali memiliki izin keluar yang diterbitkan oleh otoritas Israel. Hanya kategori tertentu yang diizinkan melintasi Gerbang Erza, seperti buruh harian, pedagang, pasien dan pendampingnya, pekerja kemanusiaan, atau staf organisasi internasional. Hal yang lebih kurang sama berlaku di perbatasan dengan Mesir. Warga Gaza harus mengajukan izin dua sampai empat minggu sebelumnya kepada otoritas Palestina atau Mesir.
Kendali akses yang begitu ketat menjadikan masyarakat Gaza sangat bergantung kepada Israel terkait dengan aliran masuk keluar barang. Data OCHA pada kurun 2013-2023 menunjukkan, dari sekitar 1 juta muatan truk komoditas yang diimpor Gaza, sekitar 89 persen atau 933.000 muatan truk (truckloads) masuk melalui Gerbang Kerem Shalom yang berada di bawah kendali Israel. Selanjutnya, hampir 11 persen atau 113.000 muatan truk komoditas impor lainnya datang dari Gerbang Rafah yang berbatasan dengan Mesir.
Baca juga: Membuka Mata Dunia pada Ancaman Kemanusiaan di Palestina
Kebergantungan semakin pelik karena Gerbang Kerem Shalom menjadi pintu masuk bagi sembilan dari 10 komoditas kebutuhan dasar yang diimpor Gaza. Komoditas vital ini meliputi bahan pangan, barang konsumsi nonpangan, ternak, pakan ternak, dan obat-obatan.
Suplai bantuan kemanusiaan juga sangat bergantung pada Gerbang Kerem Shalom. Tak kurang dari 88 persen dari 113.974 muatan truk bantuan kemanusiaan tahun 2013-2023 datang ke Gaza melalui gerbang tersebut. Sekitar 44 persen bantuan kemanusiaan itu datang dalam bentuk makanan dan 56 persen lainnya dalam bentuk nonmakanan.
Israel turut mengendalikan pasokan listrik dan bahan bakar ke Gaza. Rata-rata aliran listrik Israel menyumbang 66 persen pasokan listrik Gaza selama kurun 2017-2023. Satu-satunya pembangkit listrik bertenaga diesel yang dimiliki Palestina di Gaza hanya mampu menyumbang sepertiga dari total kebutuhan listrik.
Dengan semua pasokan elektrifikasi tersebut, masyarakat Gaza masih mengalami defisit listrik hingga sekitar 278 megawatt per hari. Akibatnya, masyarakat Gaza harus merasakan 11-12 jam tanpa listrik setiap hari.
Israel juga menjadi satu-satunya pintu masuk aliran solar untuk bahan bakar pembangkit listrik Gaza. Pada tahun 2013-2023, dari 987,9 juta liter solar yang dipakai untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) Gaza, 99,5 persen di antaranya masuk melalui Gerbang Kerem Shalom. Sisanya, 0,5 persen, datang melalui Gerbang Rafah yang hanya terjadi pada tahun 2017.
Kuatnya kontrol Israel terhadap sumber energi Gaza semakin terasa ketika melihat 61,4 persen atau 1,10 miliar liter aliran bensin dan solar untuk warga Gaza selama satu dekade ini masuk melalui Gerbang Kerem Shalom. Sementara itu, Gerbang Salah Ad-Din yang berbatasan dengan Mesir hanya mengalirkan 38,5 persen sisanya.
Dampak blokade
Besarnya kebergantungan Gaza terhadap pintu perbatasan dengan Israel menjadikan blokade total yang diterapkan Israel membawa efek domino yang merusak. Laporan dari OCHA pada 15 Oktober 2023 menyebutkan Gaza telah mengalami pemadaman listrik total selama lima hari berturut-turut akibat blokade. Ketiadaan listrik membuat stok makanan terancam rusak karena mesin pendingin, sistem irigasi, dan peralatan peternakan tidak berfungsi.
Selain itu, OCHA menyatakan suplai air bersih Gaza berada dalam bahaya. Setidaknya tiga instalasi desalinasi air di Gaza yang mampu memproduksi 21 juta liter air per hari berhenti gara-gara pemadaman listrik dan kekurangan bahan bakar. Padahal, menurut OCHA, pada tahun 2017, sembilan dari 10 warga Gaza bergantung pada air desalinasi itu untuk konsumsi sehari-hari.
Baca juga: Israel Gempur Rumah Sakit di Gaza, Tewaskan 500 Warga Palestina
Suplai air bersih yang minim akan meningkatkan risiko dehidrasi dan penyakit kolera dan diare. OCHA melaporkan bahwa sistem pembuangan limbah di Gaza telah berhenti beroperasi akibat pengeboman atau kurang bahan bakar. Dampaknya, limbah cair menyeruak ke jalanan di Jalur Gaza.
Meningkatnya pasien akibat kekurangan air bersih dan buruknya sanitasi pada akhirnya memperparah beban rumah sakit di Gaza. OCHA menyebut sekitar 23 rumah sakit di Gaza melayani rata-rata 1.000 pasien luka-luka per hari.
Kondisi ini memburuk karena cadangan bahan bakar untuk generator rumah sakit diperkirakan telah habis. Komite Palang Merah Internasional menyebutkan, apabila kondisi tanpa listrik terus berlangsung, rumah sakit di Gaza dapat berubah menjadi rumah penampungan jenazah.
Meskipun berdampak sangat mengerikan, aksi blokade total Israel dipandang belum cukup untuk membalas serangan Hamas. Militer Israel pada 13 Oktober 2023 memerintahkan setidaknya 1,1 juta warga Gaza bagian utara mengungsi ke wilayah selatan Gaza hanya dalam waktu 24 jam. Perintah diserukan dengan dalih hendak menyerang infrastruktur militer Hamas yang terletak di bawah tanah (Kompas.id, 14/10/2023).
Ultimatum itu memperkeruh krisis kemanusiaan yang telah terjadi akibat blokade dan pengeboman tanpa henti. Apabila seluruh warga Gaza utara mengungsi ke selatan, 2,3 juta jiwa terpaksa harus menempati areal yang hanya memiliki luas 236 kilometer persegi. Kepadatannya melonjak sangat tinggi menjadi 9.787 jiwa per kilometer persegi.
Akibatnya, masyarakat di Gaza selatan harus berbagi stok makanan dan air bersih yang sudah menipis kepada jutaan saudara mereka yang mengungsi dari utara. Pengungsi juga harus menghadapi krisis tempat berlindung sementara dan semakin terbatasnya layanan kesehatan yang tersedia.
Apabila pertempuran tak kunjung henti, sementara blokade tetap berlanjut, pintu perbatasan masih tertutup, dan bantuan kemanusiaan tak dapat masuk, dunia akan menyaksikan salah satu bencana kemanusiaan terparah di abad ini. Nasib 2,3 juta manusia berada di titik nadir, dalam sebuah penjara terbuka, di Jalur Gaza. Perlu dukungan diplomasi dari berbagai negara di dunia untuk segera menghentikan peperangan yang mengancam jutaan nyawa warga sipil Palestina. (LITBANG KOMPAS)