Nasib Petani di Wilayah Kepulauan
Terjadi perubahan besar pada sistem pertanian lokal di Mentawai, kepulauan Wakatobi, dan kepulauan Nusa Tenggara Timur.
Memenuhi kebutuhan pangan bukan perkara mudah. Tahapan yang harus dilalui hingga mencapai kondisi berkedaulatan pangan terbilang panjang, mulai dari memastikan ketersediaan hingga implementasi pertanian berkelanjutan.
Situasi yang menantang itu terutama dialami warga kepulauan. Di wilayah ini, ada keterbatasan luas lahan, jumlah petani yang sedikit, serta lahan yang hanya cocok untuk komoditas pertanian tertentu.
Observasi lapangan oleh Kompas di kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), kepulauan Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan kepulauan Nusa Tenggara Timur menunjukkan ada perubahan besar sistem pertanian lokal yang dilakukan petani setempat. Pertanian berbasis kearifan lokal makin hilang digantikan pertanian yang berkiblat ke Jawa, yaitu padi sawah yang intensif.
Padahal, umumnya identitas pertanian masyarakat kepulauan di Indonesia adalah padi ladang. Jenis ini relatif sesuai dibudidayakan di lahan yang terbatas dan minim suplai air. Alhasil, pola berladang berkembang pesat dan menjadi karakteristik masyarakat kepulauan. Petani yang menekuni budidaya ini di kawasan kepulauan disebut petani ladang.
Komoditas petani ladang sangat beragam, mulai dari padi, jagung, sayuran, hingga tanaman keras seperti sagu. Sayangnya, tak sedikit sistem pertanian ini terpaksa berubah melalui sejumlah program pemerintah, antara lain program food estate. Sebagian program pemerintah pusat itu tak membuahkan hasil optimal, bahkan mungkin tak berlanjut.
Tidak sedikit kisah pilu petani di lahan food estate. Salah satunya Daniel Halek (53) dan istrinya, petani jagung di Desa Fatuketi, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Panen jagung terakhir dilakukan pada September-Oktober 2022. Setelah itu, mereka belum bisa menanam karena lahan tergenang. Celakanya, pada musim tanam tahun ini, air justru tak tersedia sehingga penanaman tak bisa dilakukan.
Tahun lalu Daniel menanam di lahan seluas 1,5 hektar dengan hasil panen 4,5 ton sehingga mendapat penghasilan bersih Rp 16,2 juta. Modal bertani jagung untuk satu kali siklus tanam mencapai Rp 6,3 juta. Keuntungannya dipakai untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.
Selama sebulan kebutuhan hidup Daniel dan keluarga mencapai Rp 1,7 juta. Sayangnya, setelah Oktober 2022 hingga Agustus 2023, tidak ada pemasukan lagi dari lahan food estate yang ditanami jagung. Defisit keuangan keluarga mulai terjadi Mei 2023 dan terakumulasi hingga beberapa bulan ke depan karena belum bisa menanam jagung.
Baca juga: Darurat Kemandirian Pangan di Kepulauan
Saat dikunjungi oleh Kompas, Daniel mengatakan, saat ini ketersediaan air sangat minim. Bendungan Rotiklot yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2019 di ambang kritis dan sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan air lahan food estate. Ada beberapa periode, petani harus membeli air untuk menyirami tanaman.
Petani lainnya, Maria Fetunisian (54), mengalami nasib serupa dengan Daniel. Sebagai salah satu petani di lahan food estate, ia harus menelan pil pahit karena tidak bisa menanam jagung pada musim tanam berikutnya. Terakhir kali Maria panen pada April 2023 dengan hasil bersih Rp 2,4 juta, sedangkan kebutuhan hidupnya berkisar Rp 1 juta-Rp 1,4 juta per bulan. Uang yang didapatkan dari panen jagung hanya bisa bertahan sekitar dua bulan.
Angan-angan hidup sejahtera dengan mengikuti program food estate sangat jauh dari kenyataan. Padahal, mereka berharap dapat lebih berdikari dalam berladang jagung setelah ada program tersebut. Namun, justru mereka dihadapkan pada persoalan dan kesulitan.
Hal ini kontras apabila dibandingkan dengan petani sayuran di Desa Lakapera, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. Lahan seluas 1 hektar milik Larudi Absalon (56) ditanami berbagai jenis sayuran, seperti kangkung, terung, sawi, pare, dan ubi kayu. Untuk periode enam bulan masa tanam dan panen, Larudi mendapat hasil Rp 2 juta. Penghasilan ini merupakan keuntungan bersih setelah dipotong modal tanam Rp 860.000.
Total pengeluaran Larudi dan keluarga sekitar Rp 1,55 juta dalam sebulan. Apabila dibandingkan dengan penghasilan bulanannya, ada surplus sekitar Rp 450.000. Larudi masih dapat menyimpan sebagian hasil jerih payahnya untuk memenuhi kebutuhan lain. Meskipun demikian, ia sering mengeluhkan harga sayuran yang fluktuatif dan kadang justru merugikan dirinya.
”Sekarang sayuran murah, apalagi kangkung. Sudah dua minggu terakhir (Oktober 2023) harganya anjlok menjadi Rp 1.000 satu ikat. Padahal, kalau normal, harganya Rp 2.500. Besar sekali kerugian saya. Belum lagi saat ini susah dapat air. Kering,” tuturnya saat dihubungi, Selasa (17/10/2023).
Sejahtera
Ketahanan pangan suatu daerah dapat mencerminkan kesejahteraan para petani yang menggelutinya. Mereka adalah penyuplai bahan pangan terbesar, khususnya di wilayah kepulauan-kepulauan kecil. Sayangnya, banyak petani masih harus hidup dalam kondisi kurang sejahtera.
Indikatornya terlihat dari indeks nilai tukar petani (NTP). Apabila indeks NTP lebih dari 100, nilai ekonomi yang diterima petani jauh lebih besar daripada nilai ekonomi yang harus dibayarkannya. Sebaliknya, jika indeks NTP kurang dari 100, petani berada pada kondisi merugi karena tak mendapat harga yang sepadan.
Baca juga: Pangan Instan Menggerus Pangan Lokal
Berdasarkan data NTP dari BPS, indeks NTP sepanjang tahun 2023 wilayah NTT berada di level 96,46. Artinya, petani di wilayah kepulauan NTT belum di level sejahtera atau masih merugi. Nilai ekonomi yang didapatkan jauh lebih kecil daripada yang dikeluarkan selama proses produksi pertanian.
Kondisi berbeda terjadi di wilayah kepulauan Wakatobi, Muna, dan Buton. Sepanjang tahun 2023 hingga September, NTP wilayah itu rata-rata mencapai 100,66. Angka tersebut menunjukkan tren positif pemenuhan kesejahteraan bagi petani. Perkembangan kualitas hidup petani membaik setelah empat bulan pertama pada tahun 2023 indeksnya di bawah 100.
Ketahanan pangan lokal di wilayah kepulauan tak akan lepas dari kesejahteraan petani sebagai produsen utama bahan pangan setempat. Oleh karena itu, pemberdayaan petani perlu terus dilakukan dengan memberikan insentif sesuai untuk budidaya pertaniannya sehingga pangan selalu tersedia dan ketahanan pangan lokal meningkat. (LITBANG KOMPAS)