Pekerjaan Rumah Menyejahterakan Petani Tanaman Pangan
Bertani adalah cara hidup masyarakat agraris yang dilakukan sepanjang hayat. Sekalipun merugi petani akan terus bertani.
Selain menghadapi ancaman dampak perubahan iklim, produktivitas padi nasional juga masih menghadapi persoalan laten berupa kesejahteraan petani. Beragam persoalan yang melingkupi dunia pertanian mulai dari on farm hingga off farm masih memerlukan dukungan serius dari banyak pihak untuk membantu mewujudkan kesejahteraan bagi petani.
Minimnya kesejahteraan bagi petani tanaman pangan itu sejalan dengan temuan Litbang Kompas terkait produktivitas tanaman padi di Indonesia. Analisis ini dilakukan menggunakan pemodelan regresi data panel yang menggabungkan antara data cross section 34 provinsi di Indonesia dan data series dari enam variabel yang diteliti dari rentang 2002 hingga 2022.
Variabel tersebut dipilih karena memiliki tingkat pengaruh yang cukup kuat terhadap produksi padi, yaitu luas lahan, tenaga kerja, pupuk, nilai tukar petani (NTP), curah hujan, dan suhu udara. Hasil regresi data panel menunjukkan sejumlah variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap produksi padi. Variabel terbesar yang berpengaruh adalah faktor iklim, yang terdiri dari suhu udara dan curah hujan.
Variabel suhu udara memiliki koefisien sebesar negatif 4,572829. Artinya, setiap kenaikan suhu udara sebesar 1 derajat celsius setahun akan menurunkan produksi padi sekitar 4.500 ton di Indonesia. Variabel iklim lainnya yang berdampak signifikan adalah curah hujan dengan besaran koefisiennya 0,042969. Kondisi ini menggambarkan setiap curah hujan naik 1 milimeter per tahun berpotensi diikuti penambahan produksi padi di Indonesia sekitar 43 ton.
Baca Juga: Faktor Iklim Tekan Produksi Padi
Selain itu, ada juga variabel lainnya di luar iklim yang digunakan dalam permodelan ekonometrika yang berpengaruh pada produksi padi. Variabel independen tersebut adalah luas lahan, petani, dan pupuk. Variabel luas lahan dan pupuk memiliki tanda koefisien positif sehingga akan berdampak linier positif setiap terjadi perubahan pada variabel independen itu. Setiap lahan sawah bertambah 1.000 hektar, produksi padi akan meningkat sekitar 4.300 ton di Indonesia. Demikian juga dengan pupuk. Setiap kali asupan pupuk bertambah 1.000 ton, produksi padi akan bertambah sekitar 230 ton secara nasional.
Selanjutnya, variabel jumlah petani memiliki koefisien bertanda negatif yang artinya setiap penambahan tenaga yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 1.000 orang justru akan menurunkan produksi padi hingga kisaran 200 ton di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa tenaga kerja sektor pertanian, termasuk petani penggarap dan buruh tani, relatif inefisien dalam memproduksi tanaman pangan. Dengan luas lahan yang relatif tetap, tetapi terlalu banyak tenaga kerja yang dilibatkan, justru kontraproduktif terhadap hasil taninya.
Tingkatkan kesejahteraan petani
Variabel lain yang juga digunakan dalam permodelan adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Berdasarkan Statistik Nilai Tukar Petani 2022 dari BPS menunjukkan besaran NTP subsektor tanaman pangan mencapai 98,82. Nilai tukar tidak berbeda jauh dengan NTP tahun sebelumnya yang hanya 99,21. Kisaran NTP tanaman pangan yang hanya berkutat di kisaran mendekati 100 ini mengindikasikan bahwa subsektor pertanian ini relatif kurang menyejahterakan.
Besaran NTP yang setara dengan 100 mengindikasikan bahwa nilai uang yang terima petani dari produksi pertaniannya sama dengan nilai biaya yang dikeluarkan petani dalam memproduksi tanaman pangan. Semakin besar keuntungan yang diterima, kesejahteraan petani kian besar. Sebaliknya, semakin kecil uang yang diterima dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan (rugi), kesejahteraan petani kian minim.
Namun, variabel NTP ini tidak terlalu signifikan secara statistik dalam memengaruhi produksi tanaman padi. Hal ini menjadi temuan yang menarik karena nyatanya bukan kesejahteraan yang menjadi tujuan utama petani meskipun kehidupan petani rentan berada dalam garis kemiskinan.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa bertani dianggap sebagai cara hidup masyarakat agraris yang akan terus dilakukan dalam menjalani kehidupan. Baik itu akan memberikan keuntungan besar, profit sedikit, ataupun merugi sekalipun, para petani akan terus menjalaninya. Di sisi lain, memang tidak mudah mendapatkan pekerjaan di luar sektor pertanian sehingga petani akan terus mengolah lahan sawahnya meskipun menghadapi berbagai persoalan yang pelik dalam setiap prosesnya.
Selain dihadapkan pada persoalan permodalan untuk menyediakan sarana produksi, seperti bibit, pupuk, dan tenaga kerja, para petani juga dihadapkan pada persoalan iklim yang tidak dapat dikontrol dengan mudah. Hasil tani yang relatif tidak konsisten ini membuat regenerasi petani menjadi kian minim. Akibatnya, tidak banyak keturunan petani yang mau meneruskan usaha tani yang sudah digeluti orangtuanya.
Baca Juga: Konservasi Air Jaga Produksi Padi Nasional di Tengah Krisis Iklim
Ada sejumlah alasan yang membuat petani itu relatif sulit meningkatkan taraf hidupnya. Profesor Suwarto, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, menyebutkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan sektor pertanian sulit menyejahterakan petani. Di antaranya ialah luasan lahan tani yang rata-rata hanya 0,2 hektar-0,3 hektar. Luasan yang relatif kecil ini membuat produksi padi menjadi tidak efisien dan cenderung rugi.
”Apalagi, saat ini banyak sekali petani yang tidak memiliki lahan sendiri sehingga mereka harus menyewa. Biaya sewa ini akan semakin membebani penghasilan petani seandainya produksi taninya tidak besar,” tutur Suwato saat ditemui di kampus Unsoed, Kamis (5/10/2023).
Selain itu, lanjut Suwarto, adalah unsur lahan yang semakin rendah tingkat produktivitasnya. Pemupukan yang mayoritas menggunakan pupuk kimia membuat produksi padi cenderung menurun. ”Pupuk kimia membuat lahan menjadi padat dan keras serta membuat biodiversitas di area lahan semakin menurun sehingga lahan menjadi tidak gembur. Hal ini membuat petani membutuhkan biaya lebih banyak lagi dalam mengolah lahan sawahnya. Memupuk lebih banyak atau semakin banyak membutuhkan tenaga kerja untuk pengolahan lahan,” katanya. Dengan demikian, akan semakin banyak biaya yang dikeluarkan sehingga akan mengurangi tingkat penghasilan petani.
Namun, dalam kondisi yang serba sulit itu, para petani dihadapkan pada persoalan yang kian berat. Pupuk kimia bersubsidi yang menjadi andalan para petani itu kini alokasinya semakin dibatasi sehingga penyalurannya semakin berkurang. Penurunan ini sejalan dengan kian dipangkasnya anggaran APBN untuk subsidi pupuk. Pada 2019 pemerintah menganggarkan Rp 34,3 triliun untuk subsidi pupuk, tetapi nilainya menurun menjadi Rp 29,7 triliun pada 2022. Sejak Juli 2022, jenis pupuk bersubsidi pun dibatasi hanya pada urea dan NPK serta dikurangi kuotanya. Alhasil, pupuk bersubsidi yang diterima petani semakin sedikit (Kompas.id, 13/10/2023).
Sudarjo (73), Ketua Kelompok Tani Manggala Tirta Desa Maoskidul, Cilacap, Jateng, mengungkapkan bahwa subsidi pupuk di lahan sawahnya kini hanya sebesar 40 persen. ”Untuk lahan 1 hektar, pupuk urea subsidi yang diperoleh sebanyak 150 kilogram dan NPK 250-300 kilogram,” tutur Sudarjo yang ditemui di Cilacap, Kamis (5/10/2023). Petani, lanjut Sudarjo, harus mengusahakan tambahan biaya lagi untuk mendapatkan pupuk yang lebih banyak.
Dengan biaya yang dikeluarkan lebih besar, peluang keuntungan yang diperoleh petani kian minim. ”Keuntungan yang diperoleh petani yang mengerjakan lahan 1 hektar setelah dipotong biaya produksinya hanya menyisakan Rp 3 juta hingga Rp 4 juta sekali musim tanam,” kata Sudarjo. Nominal ini relatif sangat kecil karena hanya mengalokasikan biaya hidup sekeluarga dalam sebulan hanya berkisar Rp 1 juta.
Solusi
Dengan penghasilan yang relatif kecil itu, perlu sejumlah cara untuk mengantisipasinya. Setidaknya petani didorong untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dari hasil pertaniannya. Dalam lingkup kecil, Suwarto mengusulkan untuk membenahi kesuburan biologi tanaman. Petani harus mengolah tanahnya dengan menggunakan pupuk organik. Untuk tahap awal, bisa dicampur dengan pupuk kimia dan persentase pupuk organik terus ditingkatkan untuk pengolahan berikutnya. ”Semakin baik unsur biologinya, tanah akan kaya biodiversitas dan gembur sehingga akan memberi tingkat kesuburan dan produktivitas lebih tinggi,” ucapnya.
Dalam implementasinya, pemberian pupuk organik itu tidak akan berdampak signifikan meningkatkan hasil produksi dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang akan memberikan produktivitas yang tinggi serta memudahkan dalam pengolahan tanah. Tentu saja, hal ini juga perlu dukungan dari pembenahan unsur fisik tanaman, seperti tata pengairan dan kedisiplinan dalam mengolah lahan sawah.
Baca Juga: Bangun Jaring Pengaman Pangan
Lebih lanjut Suwarto juga menambahkan, pemerintah juga harus menyediakan varietas unggul padi hibrida yang sesuai dengan karakteristik lahan. Bibit yang disediakan juga harus andal menghadapi anomali iklim yang berpotensi membuat lahan sawah menjadi kering ataupun banjir. Dengan menyediakan varietas yang unggul dan lahan yang memiliki kesuburan biologi yang baik niscaya produktivitas pertanian akan meningkat sehingga pendapatan petani akan bertambah.
Sejumlah usulan itu sesuai dengan rencana pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani tanaman pangan. RPJMN tahun 2020-2024 menargetkan pembangunan pertanian diarahkan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani dengan meningkatkan ketahanan pangan dan daya saing pertanian. Kebijakan ini didukung penganggaran ketahanan pangan yang mencapai Rp 104,2 triliun pada 2023. Anggaran tersebut naik dari Rp 94,1 triliun pada 2022.
Anggaran ketahanan pangan tersebut antara lain digunakan untuk meningkatkan daya saing petani melalui penyediaan bantuan sarpras produksi pertanian, bantuan benih, bibit unggul, bantuan pupuk, korporasi petani, pengairan/irigasi, pendampingan dan penyuluhan, serta upaya penanggulangan penyakit dan hama. Selain itu, alokasi dana ketahanan pangan juga bertujuan untuk memperluas akses permodalan petani melalui subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR).
Dalam lingkup pertanian di Jawa Tengah, Pemprov Jateng menginisiasi program pemberian benih unggul dan kemudahan mekanisme modal. Selain itu, upaya Pemprov Jateng yang disambut baik oleh petani adalah asuransi gagal panen.
Dengan adanya asuransi ini, harapannya petani dapat fokus mengerjakan usaha taninya secara maksimal tanpa takut terhadap bayang-bayang kegagalan. Apabila sistem ini telah berjalan dengan optimal, berbagai kebijakan terkait tanaman pangan dapat diatur dan dikendalikan relatif lebih mudah. Tata laksana pertanian mulai dari hulu hingga hilir dapat dikontrol secara baik demi meningkatkan ketahanan pangan nasional dan sekaligus kesejahteraan para petaninya. (LITBANG KOMPAS)