Elektabilitas Cawapres Vs Calon ”Kuda Hitam”
Selain elektabilitas, penentuan bakal cawapres juga bisa didasarkan pada berbagai pertimbangan partai. Di luar itu, pengaruh Jokowi dan munculnya calon ”kuda hitam” juga dapat mengubah konfigurasi dukungan.
Mayoritas bakal calon wakil presiden (cawapres) yang kini mencuat berada dalam lingkaran Presiden Joko Widodo, baik dari kabinet pemerintahan maupun rekanan politik. Hal ini sulit dihindari mengingat preferensi dukungan Jokowi akan menjadi pertimbangan dalam penentuan bakal cawapres.
Survei Kompas dalam tiga periode terakhir (Januari 2023, Mei 2023, dan Agustus 2023) memperlihatkan dominasi bakal cawapres di sekeliling Presiden Jokowi. Dari 10 nama yang konsisten muncul, empat nama bakal cawapres ialah menteri dalam Kabinet Indonesia Maju.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Keempat bakal cawapres dari kabinet pemerintahan ialah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Selain itu, dua nama bakal cawapres juga memiliki kedekatan politik dengan Jokowi, yakni Ketua DPR Puan Maharani yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) serta Basuki Tjahaja Purnama, pasangan Jokowi ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Di luar lingkaran Presiden Jokowi terdapat nama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Sejauh ini Ridwan Kamil dan Sandiaga Uno masih konsisten menempati posisi elektabilitas bakal cawapres teratas. Dalam survei Litbang Kompas Agustus 2023, Ridwan Kamil memimpin dengan 8,4 persen keterpilihan. Di tempat kedua dan ketiga, dengan selisih yang
tipis, ialah Sandiaga Uno sebesar 8,2 persen dan Erick Thohir sebanyak 8 persen. Posisi Sandiaga yang makin merosot sejak Mei hingga Agustus 2023 menjadikan perolehannya kini di bawah Ridwan, meski Ridwan juga menurun secara gradual.
Pergerakan politik Ridwan dan Sandiaga nyaris serupa. Keduanya masuk ke dalam partai politik. Ridwan Kamil bergabung dengan Partai Golkar pada 19 Januari 2023, sedangkan Sandiaga keluar dari Partai Gerindra dan kemudian bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 14 Juni 2023.
Namun, bergabungnya kedua tokoh itu ke dalam partai politik tidak serta-merta mengangkat elektabilitas mereka. Justru sebaliknya, suara pemilih yang diberikan kepada keduanya untuk menjadi bakal cawapres kian merosot.
Kendati kurang pasti sebagai bakal cawapres dari Golkar, potensi Ridwan Kamil untuk diusung sebagai cawapres tetap terbuka. Terlebih, ia mendapat perhatian khusus dari Presiden Jokowi.
Baca juga : Survei Litbang Kompas: Emil, Sandi, dan Erick Bersaing di Bakal Cawapres
Elektabilitas cawapres
Walaupun Ridwan Kamil bukan dalam lingkaran kabinet pemerintahan, kebersamaan mantan Gubernur Jabar ini dengan Presiden Jokowi cukup sering terlihat.
Pada awal Agustus 2023, Presiden Jokowi bersama Ridwan Kamil dan Erick Thohir menguji coba kereta api ringan atau light rail transit (LRT). Terakhir, Ridwan Kamil juga memuji keputusan Presiden Jokowi menunjuk Bey Machmudin sebagai Penjabat Gubernur Jabar.
Sementara itu, sebelum Sandiaga bergabung dengan PPP, partai itu telah menyepakati kerja sama politik dengan PDI-P yang resmi mendukung Ganjar Pranowo sebagai capres. Masuknya Sandiaga ke PPP direspons cepat dengan menggadangnya sebagai figur pendamping Ganjar.
Tokoh dengan elektabilitas naik cukup signifikan ialah Erick Thohir. Dibandingkan dengan suara pada Januari pada angka 3,1 persen, perolehannya di bulan Agustus dengan angka 8 persen menjadikan Erick satu-satunya bakal cawapres yang naik lebih dari dua kali lipat.
Erick dimajukan oleh Partai Amanat Nasional sebagai bakal cawapres Prabowo Subianto, setelah bergabungnya PAN ke kubu Prabowo pada pertengahan Agustus 2023.
Tokoh lain dengan elektabilitas naik secara gradual dari survei Januari 2023, meskipun sangat kecil, ialah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Ke depan, dengan hengkangnya Partai Demokrat dari Koalisi Perubahan dan Persatuan, diperkirakan akan mengembalikan elektabilitas Demokrat dan AHY. Demokrat keluar dari Koalisi Perubahan dan Persatuan setelah masuknya PKB dan Muhaimin Iskandar dijadikan bakal cawapres Anies Baswedan.
Sebagaimana terekam dari survei periodik Litbang Kompas, sejak bergabung dengan Koalisi Perubahan dan Persatuan, Demokrat cenderung mengalami penurunan elektabilitas dan posisi keterpilihan AHY juga sulit melesat.
Sementara itu, elektabilitas Mahfud MD sempat naik cukup fenomenal, naik empat kali lipat dari Januari 2023 ke Mei 2023. Elektabilitas Mahfud naik dari 0,9 persen menjadi 3,8 persen. Keberaniannya membongkar kasus yang melibatkan Direktorat Jenderal Pajak mendapat banyak apresiasi publik.
Mahfud juga menunjukkan diri sebagai figur yang tegas dan berpengetahuan luas di bidang hukum dan agama. Modal ini dapat membawanya kepada keberuntungan, kendati elektabilitasnya saat ini masih cukup rendah.
Sementara Muhaimin Iskandar, yang baru saja dideklarasikan sebagai pasangan Anies Baswedan pada 2 September 2023, dalam survei Agustus 2023 hanya dipilih oleh 0,4 persen responden. Namun, dengan kejelasan status Muhaimin, pergerakan keterpilihan ke depan masih mungkin terjadi. Terlebih jika PKB makin solid.
Baca juga : Survei Litbang ”Kompas”: Perburuan Cawapres, Mengapa Khofifah?
Kuda hitam
Bursa bakal cawapres ini masih penuh dinamika dan ada potensi kemunculan kuda hitam. Munculnya calon-calon lain dapat juga menggeser peta koalisi politik. Hal ini telah terjadi dalam Koalisi Perubahan dan Persatuan ketika Muhaimin Iskandar tiba-tiba membuyarkan koalisi yang telah terbentuk sebelumnya.
Dinamika pemilihan cawapres ini menjadi kompleks karena beberapa kondisi, di antaranya keberadaan veto players yang berpengaruh dan ikut terlibat dalam menentukan siapa yang akan diusung setiap partai di koalisi. Hal itu diungkapkan oleh Arya Fernandez, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS (Kompas, 4/8/2023).
Dalam kasus pemilu presiden di Indonesia, pimpinan partai masih menjadi veto player untuk menentukan cawapres dibandingkan dengan capres. Hal itu, misalnya, tampak dari kesepakatan partai-partai di menit akhir menjelang pendaftaran saat memutuskan Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi dalam Pilpres 2019.
Selain itu, hal-hal seperti pembagian kekuasaan, dukungan logistik, dinamika di poros koalisi, tingkat elektabilitas dan kecocokan, serta preferensi dukungan Presiden Jokowi akan menjadi pertimbangan dalam penentuan bakal calon wakil presiden.
Kendati Presiden Jokowi menyebut keputusan cawapres adalah kewenangan parpol, preferensi Jokowi akan sedikit banyak memengaruhi keterpilihan cawapres.
Di luar sejumlah pertimbangan partai dan elektabilitas tokoh yang saat ini cukup memengaruhi wacana publik, keputusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon wakil presiden juga berpotensi mengubah preferensi partai politik. Tokoh muda seperti Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka juga berpeluang dicalonkan.
Sosok Gibran cukup menarik perhatian, terutama pada aspek legacy. Tak diragukan lagi, pencalonan Gibran berpotensi dapat menarik simpati pendukung Jokowi. Selain itu, majunya Gibran dapat menjadi jaminan bagi Jokowi bahwa warisan program pembangunan akan dijalankan, bahkan dikembangkan menjadi lebih menarik sebagaimana Surakarta yang terwariskan kepada Gibran.
Sosok lain yang menarik diamati sebagai kuda hitam ialah Mahfud MD. Elektabilitas Mahfud sebagai bakal cawapres melonjak dari 0,9 persen pada Januari 2023 menjadi 3,8 persen pada Mei 2023.
Di survei Agustus 2023 keterpilihan Mahfud bertahan di angka 3,7 persen, saat tokoh-tokoh bakal cawapres papan atas cenderung mengalami penurunan.
Meski dalam elektabilitas hasil survei nama Mahfud masih di papan tengah, sosoknya yang berani, independen, dan berpengetahuan luas dapat mengisi kekosongan figur-figur yang hingga saat ini masih cukup lemah dalam semua ciri tersebut.
Pria asal Madura ini juga berpotensi memecah suara Muhaimin di Jawa Timur, terutama di Madura dan Pandalungan (Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang) di mana penetrasi budaya Madura cukup kuat.
Sebagaimana terbaca dari survei Litbang Kompas, masyarakat membutuhkan sosok presiden dengan dua sikap utama, yaitu sederhana/merakyat dan berani/tegas. Jika keduanya tidak dapat tergambar pada latar belakang kepala daerah dan militer, maka dapat terwujud dari kepribadian yang melekat pada sosok capres ataupun pasangan capres-cawapres.
Kemenangan Jokowi di panggung Pilpres 2014 dan 2019 salah satunya karena gambaran terpenting melekat pada sosoknya, sebagai pemimpin yang merakyat, tetapi juga memiliki keberanian di atas rata-rata pemimpin pada masanya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Survei Litbang “Kompas”: Cawapres Menjadi Penentu