Survei Litbang ”Kompas”: Ganjar-Khofifah atau Prabowo-Khofifah?
Bagi Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, memilih Khofifah Indar Parawansa sebagai pasangan cawapres sama-sama memperkuat posisi keterpilihan. Namun, berbeda dalam prioritas penguasaan wilayah kemenangan.
Oleh
BESTIAN NAINGGOLAN
·5 menit baca
Bersandar pada berbagai hasil survei opini publik, sebagian besar pilihan para pemilih dalam Pemilu 2024 bersandar pada kombinasi pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden. Tidak kurang dari 60,6 persen pemilih yang menganggap pasangan capres dan cawapres menjadi rujukan. Berikutnya kekuatan sosok capres lebih menjadi pertimbangan. Sementara, hanya sebagian kecil (3,3 persen) yang menyandarkan pilihan pada siapa sosok cawapres yang diajukan.
Apa yang menjadi preferensi pemilih di atas setidaknya menunjukkan posisi keberadaan cawapres tidak dominan. Terbukti pula dari berbagai hasil simulasi kekuatan elektabilitas setiap bakal capres, jika siapa pun cawapres yang dipasangkan kepada setiap capres hanya akan meningkatkan elektabilitas di bawah 5 persen saja.
Simulasi memasangkan Prabowo Subianto dengan berbagai sosok cawapres yang populer, misalnya, berpotensi membuat capaian elektabilitasnya dalam kisaran 32,2-35,9 persen. Sementara, simulasi terhadap tiga sosok capres yang bertarung menunjukkan potensi elektabilitas Prabowo sebesar 31,3 persen.
Begitu pula pada Ganjar dan Anies Baswedan. Bagi Ganjar, potensi elektabiltas yang diraih dari kehadiran cawapres 32,5-34,8 persen. Padahal, potensi elektabilitas dari sosoknya saja mampu meraih 34,1 persen. Pada Anies, potensi elektabilitas yang diraih dengan kehadiran cawapres menjadi 19,4-21,6 persen. Sementara, posisi elektabilitas Anies dalam persaingan tiga bakal capres sebesar 19,1 persen. Artinya, baik bagi Ganjar maupun Anies, semakin kurang signifikan kehadiran sosok cawapres ketimbang kekuatan sosok dirinya.
Sekalipun tidak terlalu signifikan dalam meningkatkan elektabilitas capres, pilihan sosok cawapres tetap sangat strategis. Menjadi semakin strategis lantaran pada Pemilu 2024 kali ini peta persaingan di antara calon presiden terbilang sangat kompetitif. Tidak ada satu pun sosok capres yang sedemikian dominan dalam penguasaan dukungan. Amat berbeda kondisinya tatkala Pemilu Presiden 2009 saat dengan leluasa sosok petahana, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memilih pasangan cawapresnya. Saat ini, keliru menentukan pasangan cawapres berpotensi terkalahkan.
Di tengah persaingan antarcapres, kehadiran Khofifah Indar Parawansa sebagai bakal calon wakil presiden menjadi penting. Dengan beberapa modal politik yang dimilikinya, Khofifah dinilai mampu mengisi ruang kosong setiap capres. Sebagai gambaran, hasil survei Litbang Kompas yang secara khusus memetakan kondisi politik di Jawa Timur pada Januari 2022 mengungkapkan Khofifah dalam kapasitasnya sebagai gubernur Jawa Timur terbilang banyak diapresiasi kinerja kepemimpinannya (75,3 persen).
Bahkan, berdasarkan pencermatan terhadap opini warga Jawa Timur, jika pemilu gubernur dilakukan saat itu, dapat diprediksikan dengan mudah Khofifah akan memperpanjang masa jabatan kepemimpinannya. Hanya saja, pada kesempatan survei yang sama, saat sosoknya diajukan ke dalam panggung politik kepemimpinan nasional, baik sebagai calon presiden ataupun cawapres, sebanyak 44 persen menyatakan layak. Sekalipun masih dalam proporsi terbesar yang mendukung langkah politik Khofifah pada panggung kepemimpinan nasional, hasil survei mengindikasikan kekuatan terbesar Khofifah terkonsentrasi pada penguasaan wilayah Jawa Timur.
Penguasaan wilayah Jawa Timur inilah yang menjadi kekuatan modal politik Khofifah. Di samping tentu saja, beberapa latar belakang kekuatan identitas sosial dirinya, seperti sebagai bagian dari keluarga besar Nahdlatul Ulama, yang kini menjadi faktor penting yang diperebutkan oleh setiap bakal capres. Itulah mengapa, sosok Khofifah menjadi salah satu nominator dari ketiga capres yang berkontestasi.
Ketika pada akhirnya Anies dipasangkan dengan Muhaimin Iskandar, sosok yang juga dilekatkan dengan modal penguasaan Jawa Timur dan NU, posisi tawar keterpilihan Khofifah justru semakin kuat diperebutkan Ganjar dan Prabowo. Saat ini, jelang beberapa minggu menuju pendaftaran pasangan bakal capres dan cawapres, tidak mengherankan jika Khofifah menjadi sosok yang diperebutkan.
Hanya saja, pertanyaannya, pada siapa sosoknya paling tepat dipasangkan? Seberapa besar kontribusi politiknya jika bersanding bersama Ganjar atau dengan Prabowo?
Dengan menggunakan dua kekuatan modal politik yang dimilikinya, posisi sebagai sosok memiliki dukungan terbesar di Jawa Timur dan posisi sebagai bagian dari NU dinilai berpotensi memperkuat posisi keterpilihan Ganjar ataupun Prabowo di Jawa Timur. Namun, persoalannya dari kedua sosok capres yang bertarung, seberapa signifikan pula penguasaan Jawa Timur menjadi faktor yang paling menentukan hingga Khofifah menjadi prioritas pilihan.
Bagi Prabowo, menguasai Jawa Timur tampaknya menjadi suatu syarat penting kemenangan. Becermin pada pengalaman politiknya di dua pemilu lalu, Jawa Timur merupakan wilayah kekalahan. Pada Pemilu 2014, bersama Hatta Rajasa, Prabowo mampu meraih dukungan 46,83 persen dan hanya berselisih 6,34 persen dengan Joko Widodo- Jusuf Kalla.
Pada Pemilu 2019, saat berpasangan dengan Sandiaga Uno, jarak kekalahannya di Jawa Timur menjadi semakin lebar, berselisih 31,58 persen dengan Jokowi-Ma’ruf Amin. Keunggulan telak Jokowi di Jawa Timur, wilayah dengan jumlah pemilih terbesar kedua setelah Jawa Barat, ini pula yang menjadi salah satu faktor yang mengantarkan kemenangan Jokowi secara nasional.
Kali ini, berdasarkan hasil survei, besaran keterpilihan Prabowo juga belum tampak dominan di Jawa Timur. Secara geopolitik, dukungan pada Prabowo agak terkonsentrasi di luar Jawa (51 persen). Padahal, proporsi pemilih lebih besar di Pulau Jawa.
Penguasaan Prabowo di Jawa pun masih lebih banyak terkonsentrasi di Jawa Barat dan di wilayah ini Prabowo terbilang unggul. Sementara di Jawa Timur, potensi keterpilihan Prabowo masih terkalahkan Ganjar. Itulah mengapa, menguasai Jawa Timur menjadi prioritas.
Bagi Ganjar, penguasaan wilayah Jawa Timur juga menjadi perhatian. Hanya saja, selama ini sosoknya sudah banyak menjadi rujukan sebagian warga Jawa Timur. Hasil survei menunjukkan, potensi elektabilitasnya tertinggi di Jawa Timur. Hal ini ditopang pula oleh posisi politik partai pengusungnya, PDI-P, yang memiliki pendukung loyal di sebagian kawasan Jawa Timur.
Itulah mengapa, berbeda dengan Prabowo, Ganjar memiliki alternatif yang lebih banyak selain dipasangkan dengan Khofifah. Apalagi pada kondisi sebaliknya di Jawa Barat, Ganjar terkalahkan Prabowo. Bersandar pada kalkulasi wilayah yang terkuasai, sebenarnya kepentingan Ganjar mengamankan dan bahkan memperluas elektabilitasnya di Jawa Barat tergolong lebih penting ketimbang Jawa Timur.
Pada variabel lainnya, seperti penguasaan pemilih NU, bagi kedua capres, baik Prabowo maupun Ganjar terbilang sama-sama bersaing ketat. Dari total pemilih yang mengaku berafiliasi organisasi keagamaan NU, Prabowo mampu menguasai hingga seperempat bagian pemilih (25 persen). Dalam proporsi yang relatif seimbang (25,6 persen), para pemilu NU mengaku memilih Ganjar. Berdasarkan gambaran ini, beralasan jika Khofifah, yang juga menjadi bagian dari warga NU, diperebutkan kedua bakal cawapres.
Sisi lain yang juga tak kalah menarik, dari sisi latar belakang jenis kelamin pemilih Prabowo dan Ganjar, sejauh ini sama-sama terkonsentrasi pada pemilih laki-laki. Sementara para pemilih perempuan, sebagian masih terbilang enggan menjatuhkan pilihan kepada kedua sosok capres tersebut. Tampaknya, bagi kedua bakal capres, kehadiran sosok Khofifah yang dikenal aktif dalam pemberdayaan sosial perempuan semakin menjadi daya tarik. (LITBANG KOMPAS)