Privatisasi Pulau-pulau Kecil Rentan Picu Konflik dan Ancam Ekologi
Praktik privatisasi pulau-pulau kecil rentan mengancam keberlangsungan nilai sosial budaya masyarakat dan mengancam keberagaman biodiversitas wilayah kepulauan.
Oleh
YOESEP BUDIANTO
·5 menit baca
Pulau-pulau kecil sering kali dipandang hanya sebagai komoditas ekonomi yang dapat diperdagangkan. Padahal, praktik privatisasi pulau-pulau kecil ini rentan mengancam keberlangsungan nilai sosial budaya dan mengancam keberagaman biodiversitas wilayah. Pengawasan pemerintah terhadap pengelolaan pulau yang diprivatisasi ini diperlukan untuk menjaga kelestarian ekologi.
Berdasarkan catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), hingga pertengahan tahun 2023, ditemukan setidaknya 226 pulau kecil yang diprivatisasi di seluruh Indonesia. Praktik privatisasi ini antara lain berupa transaksi jual-beli yang berujung pada pengelolaan dan pemanfaatan pulau oleh perseorangan atau perusahaan tertentu. Tujuan transaksi ini beragam, mulai dari investasi pariwisata, konservasi, hingga pertambangan.
Proses privatisasi pulau-pulau kecil mulai tercatat pada 2006, yaitu saat pembelian Pulau Bidadari di Nusa Tenggara Timur. Secara administratif, Pulau Bidadari terletak di Kabupaten Manggarai Barat dengan luas sekitar 50 hektar. Setelah itu, ratusan pulau tak berhenti dikomersialisasikan.
Dua provinsi dengan privatisasi pulau-pulau kecil terbanyak adalah Maluku Utara dan DKI Jakarta. Ada 83 pulai di Maluku Utara yang dijual. Semuanya bagian dari Kepulauan Widi di Kabupaten Halmahera Selatan. Sementara itu, di DKI Jakarta ada 78 pulau yang diprivatisasi, mulai dari Pulau Pari, Pulau Lipan, Pulau Paniki, Pulau Sebaru Kecil, hingga Pulau Sebaru Besar.
Praktik jual-beli pulau-pulau di Indonesia juga terpantau muncul di privateislandsonline.com yang menawarkan setidaknya dua pulau dan tiga kawasan pesisir di beberapa pulau. Dua pulau yang dijual pengelolaannya ialah Pulau Panjang seluas 13,4 hektar di Nusa Tenggara Barat dan Pulau Pair seluas 64,3 hektar di Kepulauan Riau. Sementara tiga kawasan pesisir yang dijual pemanfaatannya terletak di Pulau Sumba, NTB, dan Pulau Seliu, Kepulauan Bangka Belitung.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya. Luasan tersebut setara dengan 200.000 hektar atau tiga kali luas daratan DKI Jakarta. Dalam undang-undang tersebut, juga diatur izin pengelolaan dan izin lokasi.
Izin pengelolaan merupakan izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pulau-pulau kecil. Adapun izin lokasi merujuk pada izin yang diberikan untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil.
Hingga saat ini, privatisasi pulau-pulau kecil di Indonesia terus terjadi sehingga menjadi persoalan serius bagi masyarakat pesisir. Banyak nelayan yang kehilangan akses ke perairan di sekitar pulau-pulau kecil itu sehingga pendapatan mereka turun karena sulit memperoleh ikan. Dengan adanya privatisasi pulau-pulau kecil, akses terhadap kepentingan publik menjadi terbatas atau terlarang.
Privatisasi ini pada akhirnya akan menjurus pada penguasaan pulau. Sebab, mereka seolah-olah secara otomatis juga memiliki hak untuk menguasai perairan sekitarnya yang mengancam akses nelayan. Tak hanya persoalan akses dan ekonomi nelayan, privatisasi pulau-pulau kecil juga kerap berimbas pada keberlanjutan ekosistem.
Masyarakat asli yang bermukim di kawasan ”privat” itu menjadi terputus dalam memanfaatkan sumber daya alam di sekitar lingkungannya. Padahal, mereka telah hidup berdampingan sejak lama dan mengenal ekosistemnya daripada sang pemilik modal yang menguasai wilayah tersebut. Hal ini tentu saja berisiko tinggi terhadap upaya-upaya konkret pelestarian ekosistem berdasarkan kearifan lokal.
Apabila hal ini terjadi, tujuan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia terancam kurang maksimal. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil disebutkan tentang sejumlah tujuan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Salah satu tujuan yang tertuang dalam Pasal 4 tertulis untuk melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya alam serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.
Problem privatisasi
Pulau-pulau kecil yang diprivatisasi akan mendatangkan banyak persoalan secara sosial dan lingkungan. Berdasarkan catatan Kiara, ada sejumlah kasus pelik dari privatisasi pulau-pulau kecil yang menggunakan skema investasi pariwisata, konservasi, dan pertambangan. Masyarakat kemudian diminta meninggalkan pulau melalui skema relokasi demi memuluskan rencana pembangunan. Sebagai contoh, pertengahan tahun 2017, masyarakat di Pulau Pari (DKI Jakarta) dan Pulau Sangiang (Banten) harus meninggalkan pulau karena akan dijadikan tujuan pariwisata oleh perusahaan korporasi.
Skema privatisasi berikutnya adalah melalui sektor pertambangan yang merampas ruang hidup masyarakat dan keberlanjutan ekosistem di pulau-pulau kecil itu. Pulau Rupat di Riau dan Pulau Enggano di Bengkulu dihadapkan pada aktivitas pertambangan pasir laut. Kedua pulau itu nyaris lenyap karena kerusakan parah hutan mangrove dan padang lamun.
Ada pula pertambangan bijih besi di Pulau Bangka, Sulawesi Utara. Perusahaan tambang bijih besi PT Mikgro Metal Perdana mengantongi konsesi seluas 2.000 hektar atau nyaris separuh pulau yang luasnya tercatat 4.778 hektar (Kompas, 30/4/2018). Privatisasi pulau kecil untuk tambang emas turut muncul di Pulau Sangihe oleh PT Tambang Mas Sangihe. Wilayah konsesinya mencapai 56,9 persen dari luas total dengan kontrak karya selama 33 tahun. Wilayah tersebut membentang di 80 kampung di daerah itu.
Kerusakan pulau kecil akibat privatisasi sektor pertambangan juga terjadi di Pulau Gebe dan Pulau Pakal di Maluku Utara serta Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara. Ketiga pulau ini diakuisisi oleh perusahaan tambang nikel. Dampak terbesarnya adalah kerusakan ekosistem secara masif, kemunculan penyakit di tengah masyarakat, dan perampasan ruang hidup bagi masyarakat.
Polemik terbaru akibat privatisasi pulau adalah pembangunan Eco City di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. PT Makmur Elok Graha diberi alokasi lahan seluas 17.000 hektar yang mencakup seluruh Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas. Oleh karena itu, penduduk yang berjumlah sekitar 7.500 jiwa harus direlokasi. Megaproyek ini meliputi kawasan industri, agrowisata, perumahan, pariwisata, pembangkit listrik tenaga surya, konservasi, dan cagar budaya.
Pembangunan pulau kecil
Pulau-pulau kecil merupakan salah satu wilayah paling terancam di muka bumi. Eksploitasi alam di pulau kecil melalui privatisasi dapat mengancam kelestarian lingkungan, mengingat kerentanan ekologis yang tinggi dengan daya pulih yang rendah.
Berbagai bentuk privatisasi melalui pariwisata, konservasi, dan pertambangan memperlihatkan ancaman terhadap masyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil dalam mempertahankan ruang hidupnya. Munculnya berbagai polemik karena privatisasi menambah kerentanan alami yang dihadapi masyarakat pesisir, yaitu krisis iklim dan bencana alam.
Laporan IPCC tahun 2022 menunjukkan bahwa krisis iklim akan merusak terumbu karang dan menurunkan jumlah ikan. Tak hanya itu, ancaman banjir rob dan gelombang tinggi yang berimbas pada abrasi pantai akan melonjak karena anomali iklim yang semakin parah. Dampak dari krisis iklim akan menyebabkan peningkatan jumlah korban jiwa karena terjangan bencana dan merebaknya penyakit. Krisis iklim juga berpotensi besar menyebabkan kerusakan infrastruktur serta hilangnya perekonomian dan mata pencarian masyarakat.
Oleh karena itu, pembangunan pulau-pulau kecil selayaknya mempertimbangkan banyak aspek secara menyeluruh. Selain itu, juga memperhatikan karakteristik ekologi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat yang telah terbentuk berabad-abad. Hubungan simbiosis mutualisme antara masyarakat setempat dan alam di sekitar pulau-pulau kecil terlalu berharga untuk dikorbankan demi keuntungan ekonomi semata. Pulau kecil tak sekadar komoditas ekonomi, tetapi bagian penting dalam pembangunan berkelanjutan untuk masa depan seluruh generasi bangsa yang harus dirawat sebaik mungkin. (LITBANG KOMPAS)