Semakin mendekati masa pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden, perburuan pasangan calon wakil presiden kian gencar. Belakangan, Khofifah Indar Parawansa, sosok yang diincar.
Oleh
BESTIAN NAINGGOLAN
·5 menit baca
Semenjak bakal calon presiden Anies Baswedan resmi dipasangkan dengan Muhaimin Iskandar, denyut persaingan antar kandidat capres dalam arena politik Pemilu Presiden 2024 kian sengit. Tampilnya sosok Muhaimin Iskandar mengejutkan memang. Namun, di balik kejutan politik pencapresan tersebut, sangat beralasan jika Muhaimin yang dipilih.
Selain sebagai sosok politisi kawakan yang menakhodai PKB, Muhaimin bagaimanapun lebih banyak dilekatkan sebagai salah satu sosok yang potensial merepresentasikan kekuatan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi massa Islam terbesar yang sebagian besar pengikutnya terkonsentrasi di Jawa Timur. Dalam setiap momen pemilu, NU sendiri sudah menegaskan tidak terlibat dalam politik dukung mendukung pencapresan.
Penegasan demikian sudah menjadi komitmen semenjak NU memilih kembali ke khitah 1926, sebagai organisasi sosial keagamaan semenjak dilahirkan. Hanya saja, dalam kalkulasi perpolitikan yang berbasis penguasaan pemilih sebanyak mungkin menjadikan warga NU sebagai sasaran dukungan tidak terhindarkan.
Apalagi, posisi domisili warga NU yang sebagian besar terkonsentrasi pada kawasan geopolitik Jawa Timur semakin menjadi daya tarik politik. Provinsi dengan jumlah pemilih sekitar 31,4 juta atau kedua terbesar setelah Jawa Barat menjadi magnet perpolitikan. Itulah mengapa, bagi para capres, warga NU dan Jawa Timur merupakan dua entitas yang harus dimenangkan.
Dengan pertimbangan keberadaan dua entitas berpengaruh tersebut, tampilnya Muhaimin sebagai bakal cawapres Anies tentu saja menjadi ancaman bagi para bakal calon presiden yang hingga kini masih berburu cawapres. Apabila Muhaimin mampu mengonsolidasikan kekuatan politik NU dan Jawa Timur pada dirinya, sisi keterbatasan Anies dalam penguasaan dukungan politik di wilayah ini teratasi.
Bukan pula sesuatu yang tidak mungkin terjadi jika kemenangan Pemilu Presiden 2024 potensial mereka raih. Bukankah catatan sejarah pemilu menunjukkan, jika para pemenang di Jawa Timur juga menjadi pemenang pemilu secara nasional?
Bagaimana kekuatan warga NU dan Jawa Timur tidak mengerucut pada satu pilihan sosok capres inilah yang menjadi salah satu fokus strategi politik pesaing. Dua sosok capres yang selama ini menempati papan atas persaingan elektabilitas, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, misalnya, belakangan semakin intensif berkalkulasi terhadap manuver politik Muhaimin.
Kalkulasi logis, strategi memilih bakal cawapres berlatar NU dan Jawa Timur disasar guna mengejar tujuan penguasaan sebanyaknya warga NU dan Jawa Timur. Namun, siapa sosok yang merepresentasikan dua entitas kekuatan politik tersebut?
Dengan mengacu pada popularitas tokoh-tokoh politik di negeri ini, beberapa nama dimunculkan hasil survei. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, sosok seperti Tri Rismaharini, Menteri Sosial yang sebelumnya menjadi Wali Kota Surabaya, Menko Polhukam Mahfud MD, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Menteri Sosial, paling banyak dirujuk. Namun, dari ketiga sosok yang dikenal berasal dari Jawa Timur tersebut, selain Mahfud MD, sosok Khofifah kini jadi perburuan cawapres.
Dalam waktu yang semakin dekat dengan pendaftaran bakal capres-cawapres, sosok Khofifah belakangan mulai banyak dimunculkan kembali sebagai cawapres, baik terhadap Prabowo maupun Ganjar. Pertanyaannya, mengapa Khofifah?
Dikaitkan dengan relasinya sebagai warga NU, Khofifah jelas merupakan sosok yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Sosoknya selalu dilekatkan dengan Muslimat NU, organisasi kemasyarakatan yang bersifat sosial keagamaan yang merupakan salah satu Badan Otonom dari Nahdlatul Ulama. Didirikan 29 Maret 1946 di Purwokerto, Muslimat NU bergerak dalam memperjuangkan hak-hak wanita. Khofifah, sejak tahun 2000 hingga kini menjadi ketua umumnya.
Sebagai sosok politik, jam terbang politiknya terbilang panjang. Sejak 1992 (di usia 27 tahun), ia sudah menduduki bangku pimpinan Fraksi PPP dan Komisi VIII di DPR. Saat reformasi politik bergulir, ia sempat menjadi petinggi partai di DPR melalui PKB.
Tahun 1999, kursi DPR ditinggalkannya dan diangkat menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999–2001). Tidak berhenti sampai di sini, karirnya berlanjut lagi di DPR sebagai Ketua Komisi VII DPR (2004–2006) dan Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR (2004–2006).
Pada tahun 2014, ia diangkat jadi Menteri Sosial Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo. Hingga di tahun 2018, ia memilih bertarung pada ajang Pemilu Gubernur Jawa Timur. Semenjak 2019 ia menjabat sebagai gubernur.
Sepanjang kiprahnya sebagai gubernur, kinerja kepemimpinan Khofifah tidak kurang banyak mendapat apresiasi. Setidaknya, dari hasil survei opini publik yang dilakukan Litbang Kompas di Jawa Timur, Januari 2022, menunjukkan jika tiga perempat bagian warga Jatim menilai positif kinerja pemerintahannya.
Sosok Khofifah sebagai gubernur, dalam persepsi warga Jawa Timur, dinilai cukup mampu mengatasi problem-problem sosial ekonomi daerah seperti kemiskinan, pendidikan, dan dinilai memiliki perhatian terhadap kalangan ekonomi bawah. Dengan segenap perhatian dan kinerja pemerintahannya itu, tidak heran jika bagian terbesar dari publik Jawa Timur (37 persen) menghendakinya kembali sebagai gubernur jika pilkada dilakukan saat ini.
Jika dielaborasi lebih jauh, alasan-alasan publik Jawa Timur menginginkan Khofifah menjadi guburnur kembali, tidak lepas dari sisi perhatian yang diberikannya selama memimpin. Tertinggi, publik menganggap Khofifah banyak memberikan bantuan sosial kepada masyarakat (17,9 persen).
Ia juga dinilai publik cukup banyak melakukan inovasi atau pembaruan yang dampaknya dirasakan banyak kalangan (15,5 persen). Sebagian lainnya menganggap sikap tegas dan prinsip yang dimiliki Khofifah menjadi daya tarik.
Tidak hanya sebagai gubernur, dalam pilihan sebagian masyarakat Jawa Timur, Khofifah juga layak menjadi pemimpin dalam skala yang lebih nasional. Berdasarkan hasil survei yang sama, 44 persen responden di Jawa Timur menilai Khofifah layak maju menjadi presiden ataupun wakil presiden. Sebaliknya, terdapat 32,3 persen responden lainnya yang menyatakan tidak layak.
Pencermatan lebih jauh, sikap persetujuan responden Jawa Timur terhadap kiprah Khofifah pada panggung kepemimpinan yang lebih menasional ini didasarkan pada pertimbangan kinerjanya. Hasil survei menunjukkan, jika semakin tinggi penilaian kepuasan publik terhadap kinerja Khofifah, semakin tinggi pula tingkat persetujuan mereka pada kelayakan dicalonkan menjadi presiden ataupun wakil presiden.
Sebaliknya, mereka yang cenderung menilai tidak puas pada kinerja pemerintahan Khofifah cenderung menyatakan Khofifah tidak layak dicalonkan dalam panggung kepemimpinan nasional.
Mencermati lebih jauh, besaran dukungan yang diraih Khofifah di Jawa Timur terbilang merata. Hampir setiap kabupaten dan kota di Jawa Timur mengungkapkan penilaian yang relatif sama. Dengan demikian, dapat dikatakan jika modal politik yang dimiliki Khofifah di setiap penjuru Jawa Timur terbilang besar dan merata, yang sekaligus menunjukkan daya tarik bagi siapapun sosok yang berupaya menjadikannya pasangan cawapres dalam panggung politik nasional.
Tinggal persoalannya kini, seberapa besar insentif elektoral yang potensial disumbangkannya terhadap capres yang kini masih berburu cawapres. Apakah sosok Khofifah lebih tepat dipasangkan dengan Ganjar atau Prabowo? (LITBANG KOMPAS)