Survei Litbang ”Kompas”: Loyalitas Pemilih NU pada Ganjar, Tinggikah?
Hasil survei Litbang ”Kompas” menunjukkan, responden yang mengaku berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama cenderung lebih banyak menjatuhkan pilihannya kepada Ganjar Pranowo. Namun, dari sisi loyalitas, belum jadi jaminan.
Oleh
BESTIAN NAINGGOLAN
·5 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Bakal calon presiden dari PDI-P, Ganjar Pranowo, bersalaman dengan KH Adib Rofiuddin, pengasuh Pondok Buntet Pesantren, di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, 3 Juni 2023.
Semenjak bakal calon presiden Anies Baswedan dipasangkan dengan wakilnya, Muhaimin Iskandar, arus pembicaraan politik pencapresan lebih banyak tertuju pada pilihan politik kaum Nahdlatul Ulama (NU). Wajar saja karena Muhaimin Iskandar merupakan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang kelahirannya tidak terlepas dari para tokoh NU saat itu. Selain itu, jumlah pemilih kalangan NU yang terbilang besar, bahkan terbesar dari setiap ormas yang ada di negeri ini, menjadi daya tarik utama politik.
Langkah Anies bersama partai pengusungnya, Nasdem, dalam berkoalisi dengan PKB sekaligus menjadikan Muhaimin sebagai cawapres, terbilang jitu. Setidaknya, jika memang loyalitas para pemilih PKB tinggi terhadap ketua umumnya, potensi mendulang suara pemilih PKB yang lebih banyak terkonsentrasi di Jawa Timur menjadi besar. Penguasaan Jawa Timur menjadi target prioritas lantaran di wilayah ini elektabilitas Anies belum signifikan.
Lebih dari itu, tidak hanya dari para pemilih PKB, potensi tambahan suara akan menjadi lebih besar lagi jika para pemilih NU pun menyandarkan pilihannya pada pasangan Anies-Muhaimin.
Gambaran paling nyata, merekam apa yang terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019. Dua pemilu tersebut menjadi saksi persaingan sengit Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Pada kedua periode pemilu tersebut, memang Jokowi mampu mengungguli Prabowo. Pada Pemilu 2014, tatkala berpasangan dengan Jusuf Kalla, Jokowi mampu meraih 53,2 persen pemilih di Jawa Timur. Capaian hasil yang mirip dengan capaian pasangan ini di tingkat nasional.
Pada Pemilu 2019, Jokowi secara mengejutkan memilih KH Maruf Amin, ulama NU yang aktif di MUI, sebagai pasangannya. Hasilnya, suara pemilih di Jawa Timur melonjak, pasangan ini mampu menguasai hingga dua pertiga pemilih.
Dukungan suara pemilih Jawa Timur, yang menjadi basis PDI-P dan PKB, ini pula yang turut mengantarkannya sebagai pemenang pemilu. Hasil survei saat itu pun mengungkapkan jika para pemilih NU cenderung menjatuhkan pilihannya pada Joko Widodo-Maruf Amin.
Pada pemilu kali ini, dan juga pemilu sebelumnya, posisi NU netral. KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memang telah tegas bersikap terkait Pemilu Presiden 2024. Dalam berbagai kutipan pemberitaan dan laman nu.or.id, ia mengungkapkan jika PBNU telah menentukan sikap yang telah disepakati dalam Muktamar NU, untuk tidak memihak dalam kontestasi politik.
“Kami tidak mau warga NU ini harus dicucuk-cucuk hidungnya, diseret ke sana kemari. Tidak mau. Jadi, kami serukan untuk menggunakan hak pilih secara bertanggung jawab,” ungkap dia.
Hanya saja, dalam politik, bagaimanapun suara para pemilih berlatar belakang NU amat prospektif dan menjadi daya tarik bagi siapapun pasangan bakal calon presiden maupun wakil presiden. Terlebih dalam ajang pemilu kali ini. Itulah mengapa, dalam berbagai strategi, sedapat mungkin setiap pasangan berupaya mencoba menampilkan atribusi NU yang terlegitimasikan pada sosok bakal calon presiden ataupun wakil presidennya.
Persoalannya kini, di antara sosok yang tengah berkontestasi dalam pencapresan, siapakah yang paling banyak mendapatkan dukungan dari mereka yang mengaku sebagai kalangan NU? Tidak cukup di situ, seberapa loyal dukungan yang diberikan? Apakah pilihan yang sudah mereka jatuhkan pada salah satu sosok capres tidak akan berubah lagi, atau justru dapat berubah-ubah.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua Umum Ganjarian Guntur Romli (tengah) bersama para relawan saat Deklarasi Ganjarian : Spartan Ganjar Pranowo di Plaza Senayan, Jakarta, (18/1/2023). Deklarasi pembentukan kelompok relawan pendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden 2024 ini didukung sejumlah tokoh seperti tokoh NU KH Nurul Huda.
Capres pemilih NU
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, periode Agustus 2023 lalu, sosok Ganjar Pranowo bersaing ketat dengan Prabowo Subianto di mata pemilih NU. Dengan menggunakan pertanyaan terbuka, yang memungkinkan setiap responden menyebutkan siapa saja sosok paling dirujuk sebagai pilihan presidennya saat survei dilakukan, maka Ganjar meraih dukungan 25,6 persen, terpaut tipis dengan Prabowo yang meraih 25,0 persen dukungan pemilih NU. Anies, pada posisi selanjutnya, yang didukung 12,8 persen.
Saat simulasi survei dilakukan, yaitu dengan menampilkan tiga sosok papan atas persaingan, Ganjar relatif lebih banyak dipilih oleh pemilih NU. Sebanyak 34,5 persen pemilih Ganjar, sementara Prabowo sebesar 31,3 persen. Pada posisi simulasi tiga sosok ini, keterpilihan Anies menjadi 19,3 persen.
Namun, saat dihadap-hadapkan persaingan antara Ganjar dengan Prabowo, Prabowo yang justru unggul. Kondisi pada pilihan pemilih NU ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan perolehan masing-masing pasangan dari keseluruhan responden survei.
Keunggulan Ganjar pada beberapa model pertanyaan survei menunjukkan jika sosoknya banyak direferensikan para pemilih NU. Hanya saja, hasil survei yang sama juga menunjukkan kerapuhan dukungan yang ia kuasai. Dalam hal ini, kadar loyalitas dukungan padanya tidak sekuat yang ditunjukkan oleh pemilih NU pada sosok capres lainnya.
Dengan memilah barisan pendukungnya pada dua kategori, yaitu para pemilih NU yang terbilang loyal (strong voter), mengaku tidak akan beralih pilihan dari Ganjar, dan sebaliknya yang tergolong pemilih NU yang masih mungkin berpindah dukungan, atau pengalihkan dukungan (swing voter), maka konfigurasi dukungan pada ketiga capres papan atas relatif berbeda.
Di antara ketiga bakal calon presiden, Ganjar masuk paling rendah kadar loyalitas dukungan NU yang ia dapatkan. Dari keseluruhan pemilih NU yang memilih Ganjar, tidak kurang sebanyak 62,9 persen yang tergolong loyal.
Sementara sisanya, 37,1 persen dapat berpindah dukungan pada calon lainnya. Kondisi demikian menunjukkan, jika Ganjar tidak mampu mempertahankan loyalitas pemilihnya, maka diperkirakan dari barisan pemilih NU ia potensial kehilangan hampir sepertiga bagian pemilih NU.
Pesaing terdekatnya, Prabowo justru mendapatkan dukungan pemilih NU yang paling loyal, lantaran tidak kurang dari 69 persen yang mengaku loyal. Sisanya, sebesar 31 persen yang mengaku masih dapat berpindah pilihan.
Pada Anies, dari total pemilih NU yang memilihnya, tidak kurang dari 65,7 persen yang mengaku tidak akan berpoindah dukungan. Sisanya, 34,3 persen memungkinkan untuk berpindah dukungan. Menjadi pertanyaan selanjutnya, apa signifikansi dari semua gambaran loyalitas pemilih NU ini?
Gambaran hasil survei, dari sisi persaingan antar capres, menunjukkan dinamika persaingan yang masih terbuka lebar dalam pemilu kali ini. Dari seluruh pemilih NU yang sudah menjatuhkan pilihan pada sosok idamannya, memang tampak jika derajat loyalitas yang mereka tunjukkan pada setiap calon terbilang cukup tinggi, mencapai dua pertiga bagian pemilih.
Sebaliknya, hasil survei ini pun membuka peluang sekitar sepertiga bagian pemilih NU yang dapat beralih dukungan. Bahkan Ganjar, yang dikenal paling banyak mendapatkan dukungan pemilih NU justru memiliki kadar loyalitas pendukung yang relatif lebih lemah.
Begitu pula, jika dikalkulasi secara keseluruhan dengan para pemilih NU yang hingga kini belum menjatuhkan pilihan pada sosok tertentu, semakin membuka lebar penguasaan suara NU. Hasil survei ini, misalnya, menunjukkan jika sebanyak 29,3 persen dari total pemilih NU sama sekali belum memiliki calon presiden yang dirujuk.
Dengan demikian, pada total keseluruhan caruk pemilih NU, penguasaan dominan seorang sosok calon presiden masih belum terujud, yang sekaligus membuka peluang bagi siapa pun pasangan bakal calon presiden maupun wakil presiden. (LITBANG KOMPAS)