Partai mana yang paling konsisten menjadi pemenang di Jawa Tengah dalam Pemilu 1999 hingga 2019? Daerah mana saja di Jawa Tengah yang menjadi arena dinamis perebutan suara? Berikut ulasannya.
Oleh
BAMBANG SETIAWAN/Litbang Kompas
·5 menit baca
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P menjadi partai yang secara konsisten meraup kemenangan terbanyak di kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Dengan kekuatan basis massa di sejumlah daerah yang loyal memenangkannya, sejak Pemilu 1999 hingga 2019, Jawa Tengah menjadi lumbung suara bagi PDI-P. Namun, sejumlah wilayah, terutama di jazirah pantura, menjadi arena dinamis, ritme politik yang mudah berubah.
Di Pemilu 1999, PDI-P memenangi 33 dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Penguasaannya turun jadi 26 wilayah pada Pemilu 2004 seiring kembali menguatnya Partai Golkar. Di Pemilu 2009 kemenangannya makin turun, jadi 22 wilayah, seiring dengan masifnya kenaikan suara Partai Demokrat.
Ketika kemudian Joko Widodo diusung sebagai calon presiden di Pemilu 2014 oleh PDI-P, penguasaan suara PDI-P kembali naik dengan menguasai 23 kabupaten/kota. Pada Pemilu 2019, penguasaan suara PDI-P menjadi 28 wilayah. Meskipun penguasaan suara di Pemilu 2019 belum menyamai perolehan pada Pemilu 1999, fenomena ini menunjukkan figur calon presiden yang diajukan PDI-P sangat memengaruhi perolehan partai.
Jateng menjadi cermin kekuatan ketokohan di lingkaran atas PDI-P. Lemah dan kuatnya tokoh yang jadi penopang suara di tingkat nasional akan berpengaruh pada tebal tipisnya penguasaan suara yang diraih partai berlambang banteng itu di Jawa Tengah.
Pada Pemilu 2019, Jateng menyumbangkan 5.702.538 suara atau 21 persen dari total perolehan suara PDI-P di tingkat nasional yang mencapai 27.053.961 suara. Di wilayah ini terdapat 16 kabupaten/kota yang konsisten mendukung PDI-P sepanjang lima kali pemilu terakhir. Wilayah-wilayah yang jadi basis massa PDI-P sepanjang Pemilu 1999-2019 dapat dikelompokkan ke dua kluster besar.
Pertama, wilayah Jateng bagian barat, meliputi Brebes, Kota Tegal, Pemalang, Purbalingga, dan Banyumas. Kedua, wilayah Jateng bagian timur yang meliputi Pati, Blora, Grobogan, Semarang, Boyolali, Sragen, Kota Surakarta, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, dan Wonogiri. Kedua kelompok wilayah itu juga jadi wilayah yang cenderung sulit dimenangi partai-partai berbasis massa Islam.
Di luar 16 wilayah basis PDI-P, terdapat wilayah-wilayah yang cenderung terbuka. Mayoritas di jazirah pantura Jateng dan pesisir selatan, selebihnya berada di jazirah tengah Jateng. Terdapat 12 wilayah yang telah mengalami perubahan penguasaan suara, sempat dimenangi dua partai di rentang 1999-2019. Wilayah-wilayah itu adalah Tegal, Pekalongan, Kendal, Kota Semarang, Demak, Temanggung, Wonosobo, Magelang, Kota Magelang, Purworejo, Kebumen, dan Cilacap. Selebihnya, ada lima kabupaten jadi wilayah dinamis, yang sempat dimenangi tiga partai dalam kurun 1999-2019, yaitu Batang, Jepara, Kudus, Rembang, dan Kota Salatiga.
Di luar itu, dua kabupaten tercatat sebagai wilayah yang sangat dinamis, sempat dimenangi empat partai dalam lima kali pemilu. Wilayah itu adalah Kota Pekalongan dan Banjarnegara. Kota Pekalongan pada Pemilu 1999 dimenangi PDI-P, lalu pada 2004 dikuasai Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pemilu 2009 kembali berubah, dikuasai Partai Golkar. Tahun 2014 dan 2019, wilayah ini dikuasai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Hal yang sama terjadi di Banjarnegara. Wilayah di jazirah tengah ini cukup unik karena menampilkan wajah yang berbeda di tengah pengaruh PDI-P yang mengepung di sekeliling wilayahnya. Setelah dimenangi PDI-P pada Pemilu 1999 dan 2004, Banjarnegara kemudian dimenangi Partai Amanat Nasional pada Pemilu 2009, lalu dikuasai Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pada 2014, dan pada 2019, Partai Demokrat menang di sini.
Dinamis dan loyalis
Jazirah pantura cenderung mudah menerima perubahan dan lebih dinamis. Dari 13 wilayah yang berjajar dari pantura bagian barat hingga timur, 10 wilayah menampilkan wajah yang lebih dinamis. Hanya tiga wilayah yang konstan tidak berubah.
Pantai selatan cenderung dapat berubah meskipun belum terlalu dinamis. Jazirah pantai selatan yang meliputi Cilacap, Kebumen, dan Purworejo meskipun dapat berubah, sejauh ini tetap setia dengan partai-partai berhaluan nasionalis.
Di sisi lain, meskipun homogenitas pilihan politik di Jateng cukup tinggi, sesungguhnya wilayah ini memiliki corak masyarakat yang beragam. Perbedaan-perbedaan yang mengemuka pada struktur demografis, budaya, dan ekonomi masyarakat Jateng dapat menjadi petunjuk bagi calon-calon anggota legislatif untuk memainkan strategi lebih tepat dalam kampanye.
Dari komposisi etnis dan agama, 24 wilayah Jateng masuk kategori homogen. Selain itu, sebagian besar wilayah Jateng masuk kategori wilayah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah (16 kabupaten) dan agak rendah (9 kabupaten).
Adapun wilayah dengan IPM agak tinggi meliputi 9 kabupaten/kota. Dari sisi tingkat pengangguran, paling tinggi ada di wilayah-wilayah Jateng bagian barat (Brebes, Tegal, dan Cilacap), tetapi juga terjadi di Kota Semarang. Sejumlah kota juga memiliki tingkat pengangguran cukup tinggi, seperti di Kota Tegal, Kota Magelang, dan Kota Surakarta. Kendal yang memiliki kawasan industri juga termasuk agak tinggi tingkat penganggurannya.
Sementara itu, dilihat dari tingkat kemiskinan, tujuh wilayah masuk kategori tinggi (Brebes, Pemalang, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Wonosobo, dan Rembang). Sebaliknya, enam wilayah masuk kategori rendah (Kota Pekalongan, Kota Magelang, Kota Semarang, Semarang, Kota Salatiga, dan Jepara).
Dari sisi pekerjaan, terdapat 13 wilayah Jateng yang penduduknya terbilang rendah dalam mengandalkan hidupnya dari bekerja pada orang/perusahaan. Kebanyakan penduduknya merupakan pekerja mandiri, seperti petani atau pedagang kecil. Sementara wilayah dengan konsentrasi buruh berkategori agak banyak ada di tujuh wilayah (Kota Tegal, Tegal, Pekalongan, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, dan Jepara). Selanjutnya, wilayah dengan konsentrasi buruh/pekerja yang tinggi terdapat di enam wilayah (Kota Pekalongan, Kota Magelang, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota Surakarta, dan Kudus).
Dengan pendekatan yang tepat, wilayah dengan jumlah buruh besar tentu lebih menguntungkan bagi calon-calon anggota DPR yang akan bertarung. Di wilayah ini lebih efisien menggarap pemilih dengan memanfaatkan hubungan langsung dengan tokoh-tokoh kunci. Sebaliknya, wilayah dengan jumlah pekerja mandiri besar memerlukan strategi khusus. Penetrasi lewat berbagai platform media dengan jangkauan lebih luas dan intens dibutuhkan untuk masuk secara langsung ke ruang pribadi calon pemilih.