Mutu Kesehatan Tentukan Kualitas Bonus Demografi Indonesia
Segenap persoalan kesehatan, mulai dari anak-anak hingga lansia, perlu segera ditangani agar tidak menjadi beban bagi momen bonus demografi yang berlangsung hanya sesaat.
Kualitas kesehatan menentukan mutu sumber daya manusia yang akan mengisi bonus demografi Indonesia. Segenap persoalan kesehatan mulai dari usia anak-anak, kelompok usia produktif, hingga lansia perlu segera ditangani agar tidak menjadi beban momen bonus demografi yang berlangsung hanya sesaat.
Bonus demografi adalah kondisi di mana proporsi penduduk berusia produktif di suatu negara lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia nonproduktif. Dengan melimpahnya penduduk usia produktif, maka potensi terjadinya pertumbuhan ekonomi tinggi semakin besar. Jadi, dapat dikatakan bahwa masa ”keemasan” usia penduduk ini menjadi periode penting dalam mengakselerasi kemajuan suatu negara.
Bersamaan dengan negara-negara Asia lainnya, Indonesia tengah berada dalam masa bonus demografi itu. Berdasarkan data Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2015, Indonesia mulai memasuki bonus demografi pada tahun 2012 dan berakhir pada tahun 2036. Puncaknya, diperkirakan terjadi pada kurun 2030-2035. Artinya, periode emas ini berlangsung selama lebih kurang hampir 25 tahun dan saat ini di Indonesia sudah sekitar sepuluh tahun.
Merujuk pada hasil Sensus Penduduk 2020, saat ini sebesar 69,28 persen penduduk Indonesia merupakan kelompok usia produktif yang berada pada rentang umur 15-64 tahun. Selanjutnya, kelompok usia nonproduktif berusia 0-14 tahun menempati proporsi sebesar 6,16 persen dan kelompok lansia berusia di atas 64 tahun tercatat 24,56 persen dari total penduduk Indonesia.
Dilihat dari trennya, proporsi kelompok usia produktif memang terus meningkat. Pada tahun 1970, tercatat usia produktif di Indonesia sebesar 53,39 persen dari total jumlah penduduk. Dalam tiga dekade berikutnya, proporsinya meningkat menjadi 65,03 persen. Pada tahun 2030 diperkirakan persentasenya meningkat menjadi 69,28 persen dan menjadi yang tertinggi dari tren komposisi penduduk usia produktif per sepuluh tahun.
Baca juga: Persiapkan Generasi Z Mengisi Puncak Bonus Demografi
Besarnya proporsi kelompok usia produktif itu dinilai menjadi keuntungan bagi Indonesia. Hanya saja, keuntungan tersebut dapat dioptimalkan apabila kelompok usia produktif itu memiliki kualitas sumber daya yang baik. Tidak hanya dari sisi keterampilan dan pendidikan, tetapi juga dari segi kualitas kesehatan yang sangat berpengaruh bagi produktivitas manusia.
Faktor kesehatan itu sering kali dikesampingkan karena dampaknya tidak langsung terlihat dalam tempo singkat. Padahal, kenyataannya faktor kesehatan itu sangatlah penting karena memengaruhi produktivitas dan kualitas hasil pekerjaan. Sayangnya, upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, khususnya kelompok usia produktif, masih relatif sulit untuk dilakukan saat ini.
Indikasinya terlihat dari adanya beban ganda kesehatan yang melanda Indonesia. Beban ganda itu adalah permasalahan kesehatan yang disebabkan oleh penyakit menular dan penyakit tidak menular. Keduanya masih dalam situasi mengkhawatirkan dan secara tidak langsung berdampak pada produktivitas masyarakat. Apalagi, sejumlah penyakit itu menunjukkan kecenderungan menyerang kelompok usia muda.
Beban ganda
Kecenderungan beban ganda kesehatan tersebut salah satunya terlihat dari adanya transisi epidemiologi di Indonesia. Menurut Kajian Sektor Kesehatan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, selama kurun 1990-2016 terjadi penurunan kematian akibat penyakit menular, kondisi maternal, perinatal, dan neonatal (CMNN) sebanyak 52,6 persen. Di sisi lain, jumlah kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) meningkat 82 persen dari 617.900 kasus menjadi 1,13 juta kasus.
Tren berubahnya jenis penyakit tersebut juga berpengaruh pada pola penyebab kematian pada rentang 1990-2016. Pada tahun 1990, dari 10 jenis penyakit penyebab kematian, enam di antaranya merupakan penyakit menular dan hanya tiga yang termasuk PTM. Saat itu diare dan TBC menjadi dua penyakit penyebab utama kematian.
Pada tahun 2016 terjadi perubahan pola penyakit. Jenis penyakit menular yang termasuk 10 penyebab kematian utama hanya tersisa tiga jenis, yaitu TBC, diare, dan infeksi saluran pernapasan bawah. Sementara itu, enam PTM termasuk dalam 10 penyebab kematian utama di mana penyakit jantung iskemik dan stroke menjadi dua jenis penyakit penyebab utama.
Baca juga: Ketangguhan Keluarga Penting untuk Mendapat Manfaat Bonus Demografi
Pergeseran jenis penyakit tersebut patut diwaspadai secara saksama. Pasalnya, risiko PTM pada masyarakat Indonesia sudah mulai terlihat pada kelompok usia produktif. Pada indikator angka beban akibat penyakit atau disability adjusted life years (DALYs) terlihat pola bahwa kasus terjadinya PTM meningkat mulai dari kelompok usia produktif. Merujuk pada sumber yang sama, disebutkan bahwa pola DALYs penyakit jantung iskemik, stroke, dan diabetes melitus meningkat mulai pada kelompok umur 25-29 tahun dan mencapai angka tertinggi pada usia 55-59 tahun. Tidak hanya itu, penyakit depresi dan nyeri pinggang serta leher juga mulai meningkat pada rentang usia tersebut.
Kajian Bappenas tersebut menjadi alarm penting yang menunjukkan relatif rendahnya kualitas kesehatan penduduk usia kerja. Apalagi, pada rentang usia produktif itu juga sangat rentan terserang penyakit menular seperti halnya TBC. Terbukti angka beban akibat penyakit ini memuncak dan stagnan pada kelompok usia produktif.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kelompok usia produktif itu juga mengalami beban ganda kesehatan. Rawan terkena PTM dan juga potensial tertular penyakit berbahaya lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kelompok usia produktif itu belum memiliki kualitas kesehatan yang optimal.
Rentannya kualitas kesehatan generasi produktif itu tampak dari jenis penyakit yang mulai diderita oleh kelompok usia ini. Dari data transisi epidemiologis terlihat bahwa sejumlah jenis PTM seperti penyakit jantung iskemik, stroke, dan diabetes melitus yang biasa dialami kelompok usia lanjut nyatanya mulai menyerang kelompok usia produktif. Bahkan, data dari paparan Asosiasi Puskesmas Indonesia (Apkesmi) menyebutkan bahwa penyebab kematian utama pada kelompok usia produktif juga mayoritas disebabkan oleh PTM. Dari tujuh penyakit penyebab kematian utama pada kelompok usia ini, empat di antaranya termasuk PTM. Keempat jenis penyakit itu adalah kanker, penyakit jantung, stroke, dan diabetes melitus.
Kelompok nonproduktif
Kondisi tersebut menunjukkan ancaman menurunnya produktivitas pada kelompok usia produktif akibat beban penyakit. Selain itu, dengan meningkatnya risiko penyakit itu, beban biaya kesehatan yang ditanggung kelompok usia produktif juga kian besar. Dengan demikian, secara tidak langsung hal ini juga menjadi penghambat tercapainya manfaat bonus demografi yang digerakkan oleh kelompok usia produktif.
Di sisi lain, ancaman tidak maksimalnya potensi bonus demografi karena buruknya kualitas kesehatan ternyata tidak hanya bertumpu pada kelompok usia produktif. Mereka yang termasuk dalam kelompok nonproduktif seperti anak-anak dan kelompok lansia juga turut menentukan keberhasilan bonus demografi. Oleh sebab itu, situasi dan kondisi kesehatan kelompok tersebut juga patut menjadi perhatian demi mencapai manfaat bonus demografi yang maksimal. Pasalnya, masih banyak persoalan kesehatan yang juga mendera kelompok usia usia nonproduktif itu.
Baca juga: Menuju Generasi Berkualitas 2045
Pada kelompok anak-anak, misalnya, permasalahan tengkes (stunting) dan gizi buruk masih menjadi problem kesehatan mendasar yang terus diatasi. Tahun ini, tercatat masih tersisa 17,8 persen anak yang mengalami tengkes. Angka ini menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni 21,6 persen pada 2022; 24,4 persen pada 2021; dan 27,7 persen pada 2019. Hanya saja, capaian tersebut belum memuaskan karena pada tahun 2024 ditargetkan hanya tersisa 14 persen anak yang menderita tengkes.
Situasi tengkes ataupun gizi buruk pada anak-anak itu menjadi perhatian yang sangat penting mengingat kondisi mereka berdampak pada masa dewasa nanti. Anak-anak yang mengalami tengkes memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit tidak menular dan kemampuan yang lebih rendah dari potensi yang mereka miliki. Apabila tidak tertangani, dalam jangka panjang kondisi tersebut akan menghambat produktivitas mereka dan memengaruhi kualitas kehidupan di masa depan.
Pada lansia, persoalan kesehatan juga turut menjadi beban bagi pencapaian bonus demografi. Pasalnya, apabila sebagian besar kelompok lansia ini dalam kondisi sakit dan rentan terkena penyakit, maka akan menambah beban pada kelompok usia produktif. Hal ini akan berdampak juga pada angka kebergantungan golongan lansia yang semakin tinggi pada kelompok usia produktif. Dengan demikian, manfaat bonus demografi tidak maksimal karena tingkat kesejahteraan kelompok usia produktif stagnan relatif rendah karena harus menanggung beban yang besar.
Dengan gambaran kondisi tersebut, tidak dapat dimungkiri bahwa kualitas kesehatan turut menentukan manfaat bonus demografi yang akan diperoleh Indonesia. Sayangnya masih banyak problem kesehatan yang belum teratasi sehingga berpotensi mengurangi manfaat dari bonus demografi. Padahal, sejumlah problem kesehatan itu seharusnya dapat dicegah lebih dini. Misalnya, terkait penyakit tidak menular, hal itu dapat dicegah dengan membiasakan gaya hidup sehat dan aktif. Kemudian, soal gizi buruk dapat dikurangi dengan meningkatkan kontrol dan pemenuhan gizi pada ibu dan bayinya. Pada lansia, kesehatan dan kemandirian mereka dapat disiapkan dengan kebiasaan hidup sehat dan persiapan lebih matang untuk hari tua sejak masa usia produktif.
Mengingat bonus demografi hanya berlangsung secara sementara dengan tempo yang relatif singkat, maka kualitas kesehatan masyarakat perlu ditingkatkan secepatnya. Tidak hanya pada kelompok usia produktif, tetapi juga secara menyeluruh mulai dari anak-anak hingga lansia. Pasalnya, kualitas kesehatan seluruh kelompok usia saling berkaitan dan turut berdampak pada pembangunan Indonesia saat ini dan masa depan. (LITBANG KOMPAS)