Rumusan penguasaan dukungan pada pemilu kali ini tidak lagi cukup hanya bersandarkan kekuatan sosok capres.
Oleh
Bestian Nainggolan, Litbang Kompas
·5 menit baca
Seminggu terakhir, dinamika persaingan dalam arena politik pencalonan presiden semakin sengit. Sejalan dengan perubahan manuver partai-partai politik dalam mengusung pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden, berbagai koalisi partai yang sebelumnya terbentuk menjadi bubar.
Terakhir, langkah Partai Nasdem menyandingkan Anies Baswedan bersama Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, sontak memorak-porandakan soliditas Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang dibangun Nasdem, Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera. Tidak hanya itu, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), yang tahun lalu (13/8/2022) dideklarasikan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar, pupus. Termasuk kelanjutan KKIR yang jadi koalisi ”super jumbo” menguasai 45 persen kursi DPR setelah Golkar dan Partai Amanat Nasional menyusul bergabung.
Dapat dipastikan, dalam bilangan minggu-minggu terakhir menuju pendaftaran bakal calon presiden bersama wakilnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), arena persaingan politik akan semakin dinamis lagi. Berbagai koalisi partai yang terbentuk menjadi semakin cair. Tidak terjaminkan terbentuk suatu kerja sama partai yang solid hingga resmi bakal calon presiden dan wakilnya didaftarkan.
Perubahan peta koalisi partai menjadi suatu keniscayaan bagi setiap kekuatan politik dalam mencari dan mendapat oportunitas politik terbaik. Apa pun latar belakang perbedaan ideologi, visi, misi, program kerja partai, hingga perbedaan karakteristik pendukungnya akan tersisihkan oleh besaran potensi benefit politik yang dapat diraih. Inilah pragmatisme partai yang amat menonjol tersirat pada pencapresan kali ini.
Pada sisi lain, dorongan penciptaan benefit politik terbaik bagi partai politik semakin mendapat ruang sejalan dengan semakin kompetitifnya persaingan antartokoh politik yang dinominasikan sebagai bakal calon presiden. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, pada ajang kali ini kemunculan sosok bakal calon presiden tidak terkubu pada dua sosok saja. Begitu pula dari sosok-sosok yang sejauh ini banyak dirujuk publik, belum ada satu pun bakal calon presiden yang menonjol dalam jumlah dukungan pemilihnya.
Merujuk pada hasil survei Litbang Kompas Agustus 2023, tampilnya tiga sosok papan atas persaingan bakal calon presiden: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, belum menjamin hadirnya kekuatan sosok dominan. Pilihan pemilih belum terkonsentrasi pada salah satu dari tiga sosok itu. Posisi terdepan peraih dukungan terbanyak masih silih berganti ditempati Ganjar dan Prabowo.
Hasil survei Litbang Kompas mengungkapkan, hanya separuh bagian (44,9 persen) yang sudah memastikan pilihan mereka tidak akan berubah (strong voter). Sisanya, terbilang masih belum memastikan dan dapat berubah di kemudian hari (swing voter).
Apabila dielaborasi pada masing-masing bakal calon presiden, tampak pula kerapuhan pola dukungan yang terbentuk saat ini. Dengan menggunakan simulasi pilihan tertutup pada tiga bakal calon presiden, tampak jika celah perubahan dukungan dari ketiga sosok masih terbuka lebar. Baik Anies, Ganjar, maupun Prabowo tidak lebih dari separuh bagian pendukung yang terbilang strong voter, kokoh dengan pilihannya. Selebihnya, cenderung masih membukakan peluang perubahan.
Masih rapuhnya pola dukungan pemilih pada masing-masing capres sekaligus menunjukkan kekuatan sosok capres belum menjadi jaminan keterpilihan, apalagi penentu kemenangan. Dalam penguatan pilihan pemilih, semakin signifikan diperlukan faktor-faktor lain yang turut berperan. Dalam hal inilah dapat dimengerti jika manuver partai-partai politik yang belakangan ini gencar menjadi semakin relevan kiprahnya dalam upaya memperkuat dukungan dan sekaligus meningkatkan peluang manfaat politik yang bakal diraih.
Persoalannya sekarang, jika kekuatan sosok capres belum sepenuhnya menjaminkan satu-satunya faktor yang memengaruhi pilihan politik, faktor-faktor apa lagi yang kini berperan dan ikut menentukan pilihan para pemilih?
Mencermati segenap manuver politik yang terjadi belakangan ini, keberadaan bakal calon wakil presiden jadi faktor yang dinilai turut berperan. Setidaknya bagi partai politik yang berada pada papan menengah penguasaan suara, mencalonkan sosok wakil presiden dan memasangkannya dengan bakal calon presiden papan atas persaingan menjadi strategi yang mampu memperkuat ataupun justru menggoyang koalisi partai yang dibangun sebelumnya.
PKB yang bersikukuh mencalonkan Muhaimin Iskandar sebagai wakil presiden, Demokrat dengan calonnya Agus Harimurti Yudhoyono, ataupun PPP dengan sosok Sandiaga Uno, yang berupaya diposisikan sebagai calon wakil presiden, menjadi bukti jika faktor wakil presiden memiliki peran signifikan.
Keberadaan sosok calon wakil presiden juga terekam dari hasil survei. Bagian terbesar dari pemilih (60,6 persen) menganggap jika kombinasi pasangan bakal calon presiden dan wakil presidennya menjadi faktor yang jadi pertimbangan mereka. Hanya mengandalkan kekuatan sosok bakal calon presiden saja tidak cukup menjadi kekuatan meningkatkan keterpilihan.
Terlebih, mengandalkan keberadaan sosok wakil presiden tidak terlalu signifikan dalam pertimbangan pemilih. Besarnya kehadiran pasangan ketimbang hanya mengandalkan kekuatan sosok capres saja terjadi pada ketiga bakal calon presiden yang menjadi rujukan utama pemilih.
Rekomendasi politik
Selain faktor keberadaan pasangan cawapres, hasil survei Litbang Kompas juga mengungkapkan, faktor keberadaan Presiden Joko Widodo berperan signifikan. Bahkan, sejalan dengan semakin tingginya derajat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, maka semakin besar pula kepercayaan ataupun loyalitas publik pada sosok calon presiden yang direkomendasikan Presiden Jokowi.
Di antara para pemilih ketiga bakal calon presiden, hasil survei menunjukkan, para pemilih Ganjar terbilang paling besar menggantungkan pilihannya pada rekomendasi politik Jokowi. Sebaliknya, para pemilih Anies tampak paling sedikit menggantungkan pilihannya berdasarkan rekomendasi Jokowi.
Begitu pula saat menampilkan simulasi persaingan tiga sosok bakal calon presiden, tampak signifikan keberadaan faktor Jokowi dalam memoderasi pilihan publik. Simulasi persaingan antara Ganjar, Prabowo, dan Anies menunjukkan insentif elektoral potensial diraih setiap sosok jika mendapatkan dukungan politik Jokowi.
Selain faktor Jokowi dan pasangan wakil presiden, masih potensial pula terdapat faktor- faktor berpengaruh lain di luar kekuatan sosok capres. Program-program yang diusung masing-masing tokoh, misalnya, secara hipotetikal memengaruhi pilihan.
Dengan mengkaji segenap faktor yang dinilai berpengaruh terhadap pilihan pemilih, semakin tampak jika pola persaingan pemilu presiden kali ini tidak lagi semata-mata bersandarkan pada kekuatan sosok capres yang bertarung. Keberadaan faktor di luar sosok semakin memperkuat bukti bahwa celah perubahan peta politik dan penguasaan pemilih kali ini masih terbuka saat persaingan semakin sengit.