Tidak semua kalangan menjadikan Presiden Joko Widodo sebagai rujukan politik, termasuk referensi bakal calon presiden Pemilu 2024. Siapakah mereka?
Oleh
Bestian Nainggolan, Litbang Kompas
·4 menit baca
Salah satu hasil survei Kompas periode Agustus 2023 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kepercayaan publik terhadap kiprah politik Presiden Joko Widodo. Peningkatan kepercayaan publik terhadap kiprah politik Jokowi itu ditandai oleh semakin meningkatnya derajat loyalitas mereka pada keputusan-keputusan ataupun rekomendasi politik yang dinyatakan Jokowi.
Terkait dengan rekomendasi sosok bakal calon presiden, misalnya, saat ini sudah terbilang 18,1 persen responden yang memastikan bakal memilih sosok ataupun calon presiden yang direkomendasikan oleh Presiden Jokowi. Sementara, teridentifikasi pula sekitar separuh bagian responden (49,7 persen) yang masih mempertimbangkan, menyatakan pikir-pikir, dan menggantungkan putusan pada kualitas sosok calon yang direkomendasikan.
Merujuk pada berbagai hasil survei sebelumnya, derajat loyalitas pemilih yang menggantungkan segenap pilihan politiknya pada Jokowi tampak meningkat. Pada survei di bulan Juni 2022, misalnya, baru 14,6 persen responden yangmenggantungkan pilihan politiknya sesuai dengan rekomendasi Jokowi. Namun, pada setiap survei selanjutnya, konsisten menunjukkan peningkatan.
Peningkatan loyalitas dukungan tersebut didapatkan dari semakin banyaknya kalangan yang sebelumnya merasa ragu-ragu pada pilihan. Kali ini, mereka menjadi semakin teryakinkan. Kondisi demikian sekaligus menunjukkan semakin kuatnya pamor politik Jokowi.
Namun, pada sisi lain terdapat pula kalangan masyarakat yang merasa tidak sejalan dengan Jokowi. Berdasarkan hasil survei ini, hampir sepertiga bagian (32,6 persen). Mereka secara tegas menyatakan kepastiannya tidak akan memilih siapa pun calon yang terekomendasikan Jokowi.
Dalam dinamika politik yang semakin intens belakangan ini, kelompok yang enggan menjadikan Jokowi sebagai rujukan politiknya terbilang tetap proporsinya. Semenjak survei di bulan Juni 2022 hingga kini tidak banyak berubah, tetap dalam kisaran sepertiga bagian responden.
Keberadaan dan proporsinya yang relatif tetap, mengundang pertanyaan, siapakah kalangan ini? Apa yang menjadi landasan penolakan mereka?
Dengan mengkaji hasil survei, tampaknya keberadaan kalangan yang tidak menjadikan Jokowi sebagai rujukan politiknya tidak lepas dari kalkulasi rasional dan kalkulasi berdasarkan pertimbangan lainnya, seperti politik ataupun identitas mereka.
Secara rasional, tidak menjadikan Jokowi sebagai rujukan politik tidak lepas dari kalkulasi kalangan ini terhadap kinerja pemerintahan yang selama ini mereka rasakan. Bagi mereka yang tidak puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, cenderung menyatakan keengganan menjadikan Jokowi sebagai rujukan politik. Sebanyak 45,9 persen responden yang enggan menjadikan Jokowi sebagai rujukan lantaran tidak puas terhadap kinerja pemerintahan saat ini. Terbilang hanya 28,1 persen yang mengakui merasa puas namun tetap tidak menjadikan Jokowi sebagai rujukan politiknya.
Pada sisi lain, dari sejumlah kalangan yang memang tidak menjadikan Jokowi sebagai rujukan politik, disertai alasan yang lebih bersifat emosional, seperti konsistensi mereka pada pilihan politik dalam Pemilu 2019. Gambaran hasil survei menunjukkan 47,8 persen responden yang tidak merujuk Jokowi merupakan kalangan yang pada Pemilu 2019 tidak menjadikan Jokowi sebagai pilihan. Hanya 26,8 persen dari pemilih Jokowi pada Pemilu 2019 yang kini enggan menjadikan Jokowi sebagai rujukan politik.
Tingkat pendidikan memengaruhi
Di balik pertimbangan rasional dan emosional yang dinyatakan oleh mereka yang enggan menjadikan Jokowi sebagai rujukan, terdapat pula beragam variasi identitas yang turut membedakan penyikapan. Faktor-faktor seperti jenjang pendidikan, kondisi sosial ekonomi, hingga latar belakang orientasi pilihan politik menjadi pembeda bagi kalangan ini.
Berdasarkan latar belakang pendidikan, misalnya, dari hasil survei dapat tersimpulkan jika semakin tinggi pendidikan kalangan ini tampak pula semakin tinggi derajat penolakan mereka menjadikan Jokowi sebagai rujukan politik. Dari seluruh kalangan yang tidak mengindahkan Jokowi sebagai patron politik mereka, sebanyak 26,1 persen berpendidikan rendah. Namun, dalam proporsi yang terbilang relatif tinggi, 42 persen merupakan kalangan berpendidikan tinggi, minimal sarjana.
Derajat pendidikan sejalan pula dengan latar belakang kelompok sosial ekonomi mereka. Dalam hasil survei ini, terdapat kecenderungan jika semakin tinggi derajat sosial ekonomi kaum penolak Jokowi ini, maka semakin tinggi pula ekspresi penolakan yang disampaikan.
Dengan gambaran di atas, tampak jelas jika basis identitas sosial dan ekonomi menjadi ciri pembeda pada kalangan yang menolak menjadikan Jokowi sebagai rujukan politik mereka. Dengan perkataan lain, semakin kritis seseorang, yang ditandai oleh semakin tingginya jenjang pendidikannya, dan semakin berdaya secara ekonomi dirinya maka semakin enggan menjadikan Jokowi sebagai rujukan politik. Berdasarkan fakta demikian, tampak jelas jika sejauh ini Jokowi lebih banyak dijadikan sandaran politik bagi kalangan yang berstatus sosial ekonomi menengah ke bawah.
Afiliasi politik
Hanya saja, pada pemandangan lain, afiliasi politik seseorang juga memengaruhi pandangan maupun rujukan politiknya. Dalam persoalan rujukan politik Jokowi kali ini, tampak benar jika afiliasi partai politik menjadi faktor pembeda. Bagi mereka yang memilih partai-partai politik yang dinilai sejalan dengan garis kebijakan politik Jokowi cenderung lebih banyak menjadikan Jokowi sebagai rujukan politik mereka. Begitu pula sebaliknya, pada para pemilih partai-partai berada di luar pemerintahan ataupun tengah merintis pilihan politik 2024 yang berbeda dengan referensi Jokowi maka cenderung kurang menjadikan Jokowi sebagai rujukan politik.
Berdasarkan hasil survei, kalangan yang tidak menjadikan Jokowi sebagai rujukan politik mereka, bagian terbesar berada pada partai-partai yang dalam Pemilu 2024 sudah berkoalisi dan menjadikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden. Pada Partai Demokrat, PKS, dan Nasdem, hampir separuh bagian pemilihnya sama sekali tidak menjadikan Jokowi sebagai pertimbangan politik.
Selain ketiga partai tersebut, Partai Gerindra dan PPP pun punya kecenderungan separuh bagian dari pemilihnya menyatakan tidak menjadikan Jokowi sebagai rujukan politik mereka. Sekalipun demikian, separuh bagian lainnya masih menyatakan mempertimbangkan Jokowi.
Pada responden yang memilih partai-partai seperti PDI-P, Golkar, PKB, hingga PAN, terbilang rendah proporsi yang tidak menjadikan Jokowi sebagai rujukan. PDI-P, misalnya, tercatat 21,9 persen responden saja yang tidak mengindahkan rujukan Jokowi. Sebaliknya, hampir dua pertiga bagian dari pemilih PDI-P menjadikan Jokowi sebagai sandaran politiknya. Kondisi yang relatif sama terjadi pada Golkar, PKB, dan PAN, yang sekaligus menunjukkan pengaruh Jokowi yang terbilang signifikan dalam politik pencalonan presiden pada pemilu kali ini. (LITBANG KOMPAS).