"Boom" Nikel Indonesia, Akankah Terus Berlanjut?
Potensi nikel di Indonesia dihadapkan pada perkembangan teknologi baterai baru yang jadi tantangan dan harus dimitigasi untuk memaksimalkan potensi tersebut. Siapkah Indonesia?
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Besarnya pasar nikel di tingkat global membuat cadangan ini menjadi salah satu potensi terbesar Indonesia. Namun, proyeksi oversupply dan perkembangan teknologi baterai baru jadi tantangan yang harus dimitigasi untuk memaksimalkan potensi tersebut.
Besarnya cadangan Indonesia tecermin dari proporsi reserve nikel di dunia. Hingga 2022, Indonesia tercatat memiliki cadangan nikel sebesar 21 juta metrik ton. Artinya, sekitar seperlima dari cadangan mineral ini tersimpan di wilayah tanah air.
Jika dibandingkan, besaran cadangan nikel Indonesia hanya disamai oleh Australia. Negara ini diketahui juga memiliki cadangan sebesar 21 juta metrik ton. Setelah Australia dan Indonesia, negara yang juga memiliki cadangan nikel cukup besar adalah Brazil dengan cadangan di kisaran 16 juta metrik ton.
Jarak antara ketiga negara dengan cadangan nikel terbesar dengan negara lain cukup senjang. Rusia di posisi keempat, hanya memiliki cadangan sebesar 7,5 juta metrik ton. Sedikit lebih kecil, Kaledonia Baru tercatat mempunyai cadangan sebesar 7,1 juta metrik ton.
Baca juga : Pengelolaan Nikel dan Ketergantungan terhadap Asing Tentukan Ekosistem Baterai
Geliat pasar
Potensi nikel Indonesia semakin seksi dengan pasar yang makin menggeliat. Selama lima tahun terakhir, terdapat peningkatan permintaan global terhadap mineral ini.
Pada 2019, permintaan nikel di tingkat global berada di angka 2,44 juta ton. Peningkatan yang cukup signifikan mulai terasa di 2021, yakni sebesar 17 persen, dengan permintaan di kisaran 2,86 juta ton. Tahun lalu, permintaan kembali meningkat sekitar 300 ribu ton dan diperkirakan akan bertambah sekitar 500 ribu ton lagi hingga akhir 2023.
Tren peningkatan permintaan ini juga tecermin dari jumlah ekspor nikel Indonesia dari tahun ke tahun. Dalam waktu lima tahun ke belakang, ekspor nikel Indonesia mengalami kenaikan yang sangat signifikan.
Pada 2018 lalu, jumlah ekspor nikel Indonesia masih berada di sekitar 94,3 ribu ton dalam satu tahun. Angka ini tak banyak berubah, bahkan cenderung menurun hingga 2020, di mana ekspor nikel sempat menyentuh 93,1 ribu ton.
Namun, selaras dengan tren permintaan global, lonjakan ekspor mulai terjadi di 2021. Saat itu, Indonesia mampu membukukan ekspor sebesar lebih dari 166 ribu ton dalam setahun. Kenaikan ini merupakan lompatan sebesar 78 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Jumlah ekspor nikel Indonesia meroket di tahun berikutnya. Pada 2022, Indonesia mampu mengekspor mineral ini hingga lebih dari 777 ribu ton dalam setahun. Dengan kenaikan sebesar hampir 370 persen, Indonesia mampu mendongkrak pendapatan ekspor lebih dari 5,9 miliar Dollar AS.
Dominasi suplai nikel Indonesia di pasar dunia pun diperkirakan akan makin menguat. Berdasarkan perkiraan Standard & Poor (S&P), lembaga pengindeks global, Indonesia diperkirakan mampu menguasai 44 persen pasar nikel dunia di 2027 mendatang.
Baca juga : Produksi Nikel dan Aluminium Dipacu untuk Kendaraan Listrik
Pasar terbuka
Tanpa adanya industri yang mampu menyerap, potensi nikel yang dimiliki oleh Indonesia tentu tak akan bisa banyak berbicara. Untungnya, pasar nikel nampak masih akan terus terbuka hingga beberapa tahun ke depan. Diperkirakan, permintaan nikel dunia akan meningkat lebih dari 567 persen di 2025, dibandingkan dengan tingkat permintaan di 2019.
Peningkatan permintaan mineral ini erat hubungannya dengan perkembangan teknologi kendaraan listrik atau biasa disebut dengan EV (electric vehicle). Integrasi nikel ke rantai pasok EV ini sangat penting karena dua alasan.
Pertama, penggunaan nikel dalam baterai EV yang berbasis lithium-ion akan membuat baterai lebih padat energi hingga mampu menyimpan daya lebih besar. Singkatnya, penambahan mineral ini akan membuat kendaraan listrik mampu menempuh jarak lebih jauh dalam satu kali pengisian daya.
Kedua, penambahan nikel juga menguntungkan bagi produsen baterai dan EV karena dapat menekan biaya produksi. Pasalnya, penambahan mineral ini bisa mengurangi kebutuhan kobalt yang sebagai salah satu komponen mineral yang dibutuhkan. Jika dibandingkan, kobalt cenderung lebih mahal dari nikel. Selisih harga kedua mineral ini pun bisa mencapai 2-4 kali lipat.
Selain mahal, kobalt sendiri juga dinilai sebagai komoditas dengan harga yang volatil. Dibandingkan nikel, produksi mineral ini sangat terkonsentrasi di satu negara saja yakni Republik Demokratik Kongo yang berkontribusi hingga 73,3 persen produksi global. Selain itu, komunitas internasional juga cukup khawatir dengan aspek pelanggaran HAM yang erat dengan pertambangan kobalt di negara tersebut.
Baca juga : Paradoks Hilirisasi di Lumbung Nikel
Tantangan pasar dan teknologi baru
Meskipun masa depan industri nikel di Indonesia nampak cerah, diperlukan langkah strategis agar tren positif ini tak cepat meredup. Setidaknya ada dua langkah yang bisa dilakukan.
Pertama, Indonesia perlu untuk mampu mengolah tingkat ekspor agar tak terlalu berlebihan. Tanpa adanya kontrol dari pemerintah, nafsu para pemain di industri ini untuk menggenjot ekspor justru bisa memukul harga jual nikel di tingkat global.
Perkiraan dari International Nickel Study Group (INSG) pada April lalu menunjukkan adanya surplus 239 ribu ton di pasar nikel dunia pada 2023. Disandingkan pada jumlah surplus setahun lalu, angka ini merupakan lonjakan sebesar lebih dari dua kali lipat. Bahkan, tingkat surplus ini merupakan yang tertinggi selama satu dekade terakhir.
Perkiraan surplus nikel ini merupakan revisi dari proyeksi sebelumnya. Pada Oktober 2022, lembaga ini sempat memperkirakan surplus suplai di pasar nikel dunia akan berada di kisaran 171 ribu ton di 2023.
Salah satu yang membuat perkiraan INSG meleset adalah arus ekspor dari Indonesia. Meskipun proyeksi pertumbuhan serapan nikel INSG sudah cukup tepat di angka 6,1 persen, derasnya aliran suplai dari Indonesia ternyata melebihi pertumbuhan kapasitas pasar untuk menyerap produk.
Kedua, tantangan lain juga datang dari perkembangan teknologi baterai yang justru menjauh dari arah nikel. Salah satu perkembangan teknologi yang mendapat perhatian adalah baterai lithium fosfat (LFP).
Meski harganya masih lebih mahal, potensi LFP membuat jenis baterai ini banyak dilirik oleh produsen kendaraan listrik. Bahkan, Tesla sebagai salah satu pemain terbesar EV telah mulai beralih ke jenis baterai ini dan meninggalkan baterai lithium-ion yang lebih konvensional.
Dibandingkan dengan baterai lithium-ion, LFP memiliki beberapa keunggulan. Pertama, LFP cenderung lebih membutuhkan sedikit pemeliharaan dibanding baterai lithium-ion. Dengan tingkat ketahanan yang lebih tinggi, baterai ini dapat disimpan dengan waktu yang lebih lama tanpa mengalami degradasi yang signifikan.
Kedua, baterai LFP cenderung memiliki berat yang lebih ringan. Dengan densitas energi yang sama, LFP bisa dibuat dengan berat separuh dari baterai lithium-ion.
Ringannya bobot LFP ini pun dapat membantu produsen EV untuk membuat kendaraan yang lebih kecil dan nyaman, cocok dengan profil pengguna kendaraan listrik yang masih banyak terkonsentrasi di perkotaan.
Persoalan surplus dan perkembangan teknologi baterai baru ini bertambah pelik akibat adanya penurunan permintaan dari industri baja sebesar 5,2 persen di 2022.
Selain baterai dan EV, industri tersebut menjadi salah satu yang ikut menyerap suplai dengan proporsi cukup besar. Tak ayal, jika tak ada Langkah strategis, tekanan dari sisi suplai dan permintaan ini pun berpotensi besar menekan harga jual nikel di pasar global. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kemiskinan Naik di Sentra Pengolahan Nikel, Efek Ganda Hilirisasi Belum Optimal