Peran strategis partai politik kian minim gaungnya dalam kontestasi pemilu langsung saat ini. Publik lebih cenderung memprioritaskan kandidat ketimbang partai. Masihkah partai punya peluang memperkuat identitas partai?
Oleh
TOTO SURYANINGTYAS/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Identitas kepartaian atau party ID pernah menjadi salah satu lokomotif penarik demokrasi saat peralihan dari era Orde Baru ke era Reformasi tahun 1999. Pada saat itu terjadi perubahan lanskap politik di sejumlah besar daerah yang ditandai dengan pergeseran pilihan partai di pemilu dari Golkar ke PDI Perjuangan (PDI-P). PDI-P sukses menjadi kanal simbol perlawanan politik atas tiga dekade dominasi kekuatan Orde Baru dan pemerintahan Soeharto. Perolehan suara PDI-P pada Pemilu 1999 tercatat 33,74 persen setelah meraup dukungan 35,68 juta suara pemilih. Capaian itu jadi perolehan suara tertinggi dalam sejarah pemilu setelah reformasi.
Angka hasil pemilu legislatif itu belum pernah lagi mampu dicapai oleh partai mana pun di pemilu setelahnya. Raihan partai di pemilu setelahnya tidak mencapai 22 persen, yaitu Partai Golkar pada Pemilu 2004 dengan meraih 21,58 persen (24,48 juta suara) dan Partai Demokrat di Pemilu 2009 meraih 20,85 persen (21,70 juta).
Pada Pemilu 2014 dan 2019, perolehan suara partai pemenang semakin turun. PDI-P mampu memenangi dua kali kontestasi itu, tetapi hanya mampu meraih persentase di bawah 20 persen suara. Data tren hasil pemilu DPR dari tahun 1999 hingga 2019 di berbagai daerah yang dikategorikan ”kandang banteng” juga memperlihatkan pola konsisten terkikisnya suara pemilih PDI-P. Kemampuan PDI-P meraup lebih banyak dukungan rakyat juga tak tampak di tengah raihan kemampuan menempatkan Joko Widodo sebagai presiden dua periode.
Di sisi lain, Gerindra dengan ketokohan Prabowo Subianto memperkuat daya tariknya di tiga pemilu terakhir. Gerindra berada di peringkat ketiga dari sisi raihan suara sah pada Pemilu 2014, lalu peringkat kedua pada Pemilu 2019. Gerindra diperkirakan masih akan menempati peringkat kedua di bawah suara PDI-P jika pemilu legislatif dilakukan hari ini. Ini berarti Gerindra cukup sukses menerjemahkan selera politik publik saat ini dan mengonversinya jadi dukungan pilihan.
Strategi positioning Gerindra yang tecermin dari masuknya Prabowo Subianto ke pemerintahan Presiden Jokowi telah mampu membentuk karakter baru yang memberi keuntungan elektoral. Hasil survei periodik Kompas memperkirakan selisih jarak elektabilitas PDI-P dan Gerindra kini makin dekat (di bawah 5 persen), seiring posisi politik Gerindra yang semakin lekat di pemerintahan Presiden Jokowi.
Kecintaan parpol
Meski demikian, peran partai sebagai pilar demokrasi tak akan pernah lekang. Hasil rangkaian survei Kompas menunjukkan, dinamika pengenalan dan rasa kedekatan konstituen dengan parpol bersifat dinamis. Acap kali, kedekatan konstituen kepada partai lebih dicerminkan kemampuan elite parpol mengakomodasi suara politik dan menghindari citra elitisme dan eksklusivisme partai.
Namun, kemampuan partai politik untuk tampil sebagai wadah suara rakyat untuk menebalkan identitas kepartaian mensyaratkan partai mampu menarik rasa cinta yang orisinal sebagaimana tecermin di masa lalu. Minimnya tingkat kesukaan pada partai secara umum ditengarai menyebabkan rendahnya kemauan pemilih berperan lebih aktif dalam proses pemilu termasuk memilih kandidat yang diusung.
Lembaga Saiful Mujani Research Center, pada survei tahun 2017 menengarai tingkat party ID pada pemilih pemilu di Indonesia hanya 11,7 persen. Sementara Indikator Politik Indonesia pada 2021 menengarai hanya tinggal 6,8 persen responden yang menyatakan dekat dengan parpol.
Party ID atau party identification ialah konsep tentang kedekatan dan kesukaan pemilih terhadap partai politik yang dipilihnya dalam pemilu. Semakin dekat dan suka dengan parpol pilihannya, pemilih akan semakin loyal dan terus memilih parpol itu dalam pemilu.
Tak hanya itu, pemilih juga bersedia berkorban bagi parpolnya, termasuk menyumbang materi dan tenaga. Sebaliknya, makin minim tingkat kesukaan pemilih terhadap parpol pilihannya, mereka makin enggan berkorban atas dasar kesukarelaan (voluntarisme).
Survei Kompas pada Mei 2023 mencatat hasil pengenalan mendalam dan kesukaan parpol yang relatif sangat rendah oleh responden. Konteks pengenalan mendalam di sini ialah pengetahuan terhadap visi misi, tokoh, dan sejarah parpol. Di antara parpol besar dan menengah, pengenalan yang baik hanya dinyatakan pada kisaran 5,5 persen (PKB) sampai 13,9 persen responden (PDI-P).
Sementara itu, tingkat kesukaan terhadap parpol menunjukkan hasil bervariasi. Rentang kesukaan responden terhadap parpol berkisar 10-50 persen. Tingkat kesukaan di sini adalah dengan menanyakan kesukaan tiap responden terhadap seluruh parpol, dengan ditanyakan tiap nama partai. PDI-P, misalnya, disukai 42,8 persen responden, sedangkan Gerindra 50,1 persen.
Meskipun tampak besar, tetapi jika angka itu dipecah ke jumlah responden dalam kategori ”sangat suka” terlihat persentasenya jadi amat kecil, berkisar 1 hingga 2 persen. Partai yang memiliki pemilih yang sangat menyukai dalam proporsi terbesar ialah PDI-P, yaitu 2,73 persen.
Sulit dimungkiri, baik dalam pilkada ataupun pemilu saat ini, daya tarik partai masih di bawah daya tarik kandidat. Baik di pemilu kepala daerah maupun pemilu presiden, pemilih tampak lebih memperhitungkan kandidat yang diusung ketimbang partai politik.
Dalam rangkaian survei Kompas juga tecermin situasi ”kepatuhan” pemilih pada kandidat ketimbang partai. Menjawab pertanyaan, ’jika partai politik yang dipilih mengajukan calon yang tidak disukai’ dibandingkan dengan ’jika calon yang disukai diajukan oleh partai yang tidak disukai’, responden konsisten menjawab lebih condong pada sang calon.
Selisih persentase dari dua pertanyaan itu konsisten di sekitar sepertiga proporsi jawaban. Jumlah tersebut cukup besar dan menggambarkan bagaimana daya tarik partai politik di mata konstituen. Jika parpol ”berbelok” dalam menentukan capres, hanya sepertiga bagian pemilih yang tetap mengikuti perintah partai. Jika sebaliknya, yaitu kandidat capres yang ”berbelok” partai, masih ada dua pertiga pemilih yang mengikutinya.
Dalam konteks berkembangnya pemilih rasional, hal ini tentu saja merupakan ancaman terhadap eksistensi parpol mengembangkan party ID. Survei Poltracking Indonesia pada tahun 2022 menyatakan, bagian terbesar pemilih merupakan pemilih rasional (30,7 persen), diikuti pemilih sosiologis (25,2 persen), dan pemilih psikologis (20,7 persen). Pemilih rasional ialah pemilih yang mengandalkan rasionalitas dalam menilai kapabilitas tokoh, rekam jejak, dan program yang diusung.
Meski tak mutlak, menguatnya pemilih rasional merupakan salah satu ciri yang mengindikasikan melemahnya party ID. Hal ini berbeda dari kondisi tahun 1999 saat PDI-P dianggap pemilih sebagai wadah politik paling representatif bagi suara anti-Orde Baru.
Karena itu, membangun loyalitas dan kesetiaan pemilih di partai politik merupakan hal yang krusial di tengah riuh rendah komunikasi politik dan perang iming-iming (gimik) politik antarcalon presiden saat ini. Partai politik bisa mendapat durian runtuh atau sebaliknya mendapat abu panas, jika tak mampu mengelola suara rakyat yang saat ini sedang ditimang-timang para pelaku gimik politik.