Peliknya Memiliki Hunian di Kawasan Megapolitan Jakarta
Terbatasnya ketersediaan lahan membuat harga tanah dan rumah di Jakarta menjadi sangat mahal. Akibatnya, muncul ketimpangan kepemilikan hunian yang tak mudah untuk diatasi.
Oleh
Agustina Purwanti/Litbang Kompas
·6 menit baca
Pancaran kemewahan Jakarta tak selalu selaras dengan kehidupan warganya. Di balik gedung-gedung tinggi tersembunyi jutaan rumah tangga yang belum memiliki tempat tinggal pribadi. Merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2022, tercatat hanya 56,13 persen rumah tangga yang memiliki rumah. Angka ini naik cukup tinggi hingga lebih dari 7 persen dari posisi tahun sebelumnya (2021) yang masih 48,48 persen.
Kendati demikian, setinggi apa pun peningkatan kepemilikan rumah di Jakarta tetap belum mampu menghilangkan ”prestasi” DKI Jakarta sebagai provinsi dengan tingkat kepemilikan hunian terendah di Indonesia. Dibandingkan rata-rata nasional, angka kepemilikan rumah di Jakarta terpaut jauh. Pada tahun 2022, rata-rata kepemilikan rumah secara nasional mencapai 83,99.
Dengan demikian, kesenjangan pemilikan rumah di Jakarta (backlog) tergolong sangat tinggi. Tahun 2021, jumlah backlog di DKI Jakarta mencapai 1.388.743 hunian. Angka backlog itu menunjukkan masih adanya kekurangan hunian sejumlah itu untuk rumah tangga di Ibu Kota. Jumlahnya tersebar merata di seluruh kota administrasi DKI Jakarta, dari selatan hingga utara.
Untuk mengatasi tingginya kebutuhan rumah tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus merealisasikan beragam program penyediaan hunian, mulai dari rumah susun sederhana milik hingga program rumah DP 0 persen. Tak hanya Pemprov DKI Jakarta, program pemerintah pusat juga menyasar pengadaan sejuta rumah di wilayah Ibu Kota. Hanya saja, jumlahnya masih belum mampu memenuhi kebutuhan yang sangat tinggi.
Daya pikat Jakarta dengan perputaran ekonomi yang sangat tinggi membuat jutaan orang tergiur untuk turut menikmati ”manisnya gula” di Ibu Kota. Alhasil, jumlah penduduknya kian padat dan permintaan akan hunian kian tinggi. Dalam satu dekade terakhir, terjadi peningkatan lebih dari satu juta orang di DKI Jakarta, baik karena kelahiran maupun perpindahan penduduk.
Luas lahan di Jakarta bersifat konstan sehingga ruang untuk mendirikan hunian kian terbatas. Apalagi, lahan yang terbatas itu harus berebut untuk fungsi lainnya, seperti kegiatan bisnis, usaha, perkantoran, dan jasa pendukung lainnya. Akibatnya, persaingan mendapatkan rumah di Ibu Kota kian ketat dan menjadi sangat mahal sehingga kepemilikan rumah di Jakarta menjadi terkendala karena biaya tinggi.
Terbatas dan mahal
Berdasarkan data Cushman & Wakefield, perusahaan jasa perdagangan real estate, rata-rata harga tanah di Jakarta pada semester I-2023 mencapai Rp 15,67 juta per meter persegi. Rata-rata harga tanah meningkat Rp 300.000-Rp 400.000 setiap tahunnya. Tingginya harga tanah membuat harga rumah tapak (landed house) pun kian mahal. Fenomena ini membuat harga hunian di sekitar Jakarta turut terapresiasi karena masyarakat kian bergeser ke pinggiran Jakarta untuk membeli tanah dan rumah dengan harga lebih murah.
Pada triwulan IV-2022, harga properti residensial di Jabodebek-Banten meningkat 2,04 persen. Harga tersebut kian tinggi dari beberapa triwulan sebelumnya yang masih di bawah 2 persen. Ironinya, peningkatan harga properti lebih tinggi terjadi pada rumah tipe kecil dan menengah, yakni masing-masing 2,24 persen dan 3,72 persen. Pada rumah tipe besar kenaikannya 1,32 persen. Tren ini membuat harga sangat tinggi sehingga sulit membeli rumah di Jakarta dengan harga kurang dari Rp 500 juta saat ini.
Untuk bisa mendapatkan rumah atau hunian di DKI Jakarta membutuhkan penghasilan bulanan lebih dari Rp 10 juta. Padahal, rata-rata UMR Provinsi DKI Jakarta saat ini masih Rp 4,9 juta per bulan. Diasumsikan dengan rata-rata pengeluaran Rp 2,67 juta per orang per bulan, maka hanya tersisa Rp 2,3 juta per bulan.
Jika semua sisa pengeluaran tersebut dialokasikan untuk mengajukan kredit rumah, kecil kemungkinan mampu membeli rumah di Jakarta. Harga rumah di pinggiran Jakarta pun rata-rata mencapai Rp 400 juta dengan besaran angsuran sekitar Rp 3 juta per bulan.
Problem ketidakmampuan masyarakat dalam memiliki hunian di Jakarta semakin kentara dari hasil Susenas BPS. Dari 1,3 juta backlog di Ibu Kota, 825.131 rumah tangga di antaranya datang dari kelompok pekerja formal.
Jika para pekerja formal pun kesulitan memiliki hunian, sudah pasti bukan perkara mudah bagi mereka yang penghasilannya tidak tetap dan bekerja secara informal. Belum lagi jika dalam satu rumah tangga hanya satu orang yang bekerja. Pendapatannya harus dibagi untuk seluruh anggota keluarga sehingga pengeluaran per orang menjadi lebih kecil dari rata-rata.
Riset yang dilakukan oleh Perumnas pada 2017 menemukan bahwa kemampuan rata-rata daya angsur masyarakat untuk membeli rumah hanya Rp 500.00-Rp 800.000 per bulan. Dengan nominal sebesar ini, maka impian memiliki hunian di Jakarta sudah pasti hanya sekadar angan-angan.
Usia produktif pun tak menjamin seseorang memiliki hunian di Jakarta. Secara nasional, separuh backlog atau kekurangan rumah terjadi di kalangan rumah tangga pekerja formal generasi milenial (24-39 tahun) dan generasi Z (di bawah 24 tahun). Hal ini wajar terjadi karena kedua generasi tersebut berada dalam rentang usia yang masih membina rumah tangga baru dan membutuhkan hunian.
Hanya saja, kondisi itu cukup berbeda di Ibu Kota. Proporsi backlog terbesar justru terjadi pada pekerja formal generasi matang (X, baby boomers, dan pre-boomers), yakni 60 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa keterjangkauan harga hunian memang menjadi persoalan sejak lama, bahkan turun-temurun.
Situasi tersebut menjadi kian rumit lagi ketika rumah tangga berpenghasilan menengah bawah harus bersaing dengan para kaum berpenghasilan tinggi yang hobi investasi. Tidak jarang, rumah subsidi justru dibeli oleh kelompok berpunya untuk investasi dan dijual kembali kepada warga kelas menengah bawah dengan harga lebih tinggi. Kondisi ini kian menegaskan betapa sulitnya memiliki hunian di kawasan megapolitan.
Hunian tak layak
Di tengah sempitnya harapan memiliki rumah, warga Ibu Kota terus bersiasat tinggal di Jakarta sebagai tempat mencari nafkah. Sepertiga rumah tangga Jakarta memilih tinggal di rumah sewa atau kontrakan. Selain rusunami, Pemprov DKI Jakarta juga memiliki program unggulan rusunawa atau rumah susun sederhana sewa. Hingga saat ini, setidaknya 24.713 unit rumah susun dikelola oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta. Pembangunannya sudah dimulai sejak tahun 1990-an.
Meski demikian, mereka yang tinggal di rumah sewa tidak masuk dalam hitungan backlog. Merujuk pada perspektif ”menghuni” oleh Kementerian PUPR, sepanjang sudah tinggal di hunian yang layak, baik kontrak maupun sewa, berada di luar kategori backlog. Ini berbeda dengan perspektif backlog kepemilikan oleh BPS, artinya mereka yang tidak memiliki rumah sendiri masih masuk dalam hitungan backlog.
Terlepas dari dua perspektif yang berbeda, nyatanya kesenjangan pemilikan rumah tetap dihadapi kaum urban Jakarta. Kesenjangan ini semakin terasa melihat populasi warga yang sudah punya rumah tetapi belum layak huni. Sebagaimana kepemilikan rumah yang minim, persentase rumah tangga yang dapat mengakses hunian layak di DKI Jakarta juga masih sangat minim. Per tahun lalu, hanya 36,69 persen rumah tangga yang hidup di hunian layak. DKI Jakarta menempati posisi terendah ketiga setelah Papua dan Kepulauan Bangka Belitung.
Saat ini, sebagian masyarakat yang memiliki rumah di Jakarta umumnya merupakan rumah pemberian orangtua atau keluarga dengan status bebas sewa. Pada 2021, proporsinya mencapai 16,93 persen. Tidak sedikit dari mereka yang memilih tinggal bersama orangtua karena ketidakmampuan membeli rumah baru.
Peliknya dinamika hunian di Jakarta membutuhkan solusi kolaboratif dan kebijakan terpadu dari segenap pemangku kebijakan.
Meski tanpa biaya sewa, mereka yang tetap tinggal di Jakarta juga diimpit sejumlah problem, di antaranya kemacetan, biaya hidup mahal, kualitas kehidupan relatif rendah, dan pungutan pajak yang relatif tinggi.
Peliknya dinamika hunian di megapolitan Jakarta membutuhkan solusi kolaboratif dan kebijakan terpadu dari segenap pemangku kebijakan. Diperlukan kerja sama lintas pemerintahan, baik pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta, BUMN, BUMD, dan pemerintah kabupaten/kota di sekitar Jakarta untuk menyediakan rumah layak yang terjangkau sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang.