Upaya Menanggulangi Pekerja Anak di Perdesaan
Pekerja anak di perdesaan membutuhkan perhatian khusus. Kemiskinan menjadi jeratan bagi anak yang membuat mereka kehilangan masa anak-anaknya.
Secara agregat, persentase pekerja anak tahun 2022 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, namun terjadi peningkatan pada pekerja anak sektor pertanian di perdesaan. Upaya menghapus pekerja anak dalam bentuk apa pun dan di mana pun harus menjadi komitmen bersama dari semua pemangku kepentingan.
Pekerja anak merupakan salah satu problem krusial yang mengancam hilangnya masa kanak-kanak, selain kematian bayi, gizi yang buruk, anak putus sekolah, pernikahan anak, kehamilan dini, serta anak menjadi korban kekerasan.
Ketujuh problem anak tersebut menjadi indikator dari penghitungan indeks dalam Global Childhood Report yang mengkaji banyak faktor yang merenggut anak-anak dari masa kecil mereka.
Laporan tahun 2021 tersebut menyebut, skor Indonesia (816) masih berada dalam rentang 760 hingga 939 dalam skala 1 sampai 1.000, yang bermakna ”beberapa anak kehilangan masa kanak-kanaknya”.
Namun, peringkat Indonesia turun dibanding tahun sebelumnya, dari peringkat ke-101 tahun 2020 menjadi ke-107 dari 186 negara pada tahun 2021. Sementara pekerja anak masih menjadi masalah yang memprihatinkan.
Seriusnya masalah pekerja anak ini mendorong pemerintah membuat Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak tahun 2022, yang disusun secara bersama-sama oleh para pemangku kepentingan pekerja anak, baik instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah, serta organisasi kemasyarakatan.
Sayangnya, kemajuan yang mulai tampak untuk menghapus pekerja anak diputar balikkan lagi oleh datangnya Pandemi Covid-19 tahun 2020.
Sebelum pandemi dari tahun 2017 hingga 2019 tren persentase pekerja anak sudah menurun. Dari 7,23 persen pada 2017, menjadi 7,05 persen pada 2018, dan kemudian mencapai 6,35 persen di tahun 2019. Artinya, sebelum pandemi ada 6 dari 100 anak usia 10-17 tahun yang bekerja.
Namun tahun 2020 angkanya naik signifikan sebesar 3 persen menjadi 9,34 persen. Bahkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2021 mencatat puncak tertinggi persentase pekerja anak hingga 10,22 persen. Pandemi menyebabkan pekerja anak bertambah 4 persen.
Baca juga : Kemelut Pekerja Anak
Sektor pertanian di perdesaan
Tak dapat dimungkiri, kemiskinan yang semakin dirasakan masyarakat dampak dari Pandemi Covid-19 berimbas pula pada anak-anak yang terpaksa membantu orangtua untuk mencari tambahan penghasilan, terutama di perdesaan.
Meski data persentase pekerja anak sempat mengalami penurunan pada Agustus 2021 menjadi 7,99 persen, namun laporan pada Februari 2022 menunjukkan peningkatan kembali menjadi 8,49 persen.
Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021, tetapi kondisinya sama dengan 10 tahun lalu yaitu tahun 2013 di mana jumlah pekerja anak sebesar 8,56 persen.
Dan yang perlu mendapat perhatian lebih adalah maraknya pekerja anak yang ditemukan di wilayah perdesaan. Apalagi pekerja anak di perdesaan hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja anak di daerah perkotaan.
Data terakhir tahun 2022, pekerja anak di perdesaan menyumbang 11,9 persen, sementara di perkotaan 5,72 persen. Bahkan pada puncak tertinggi saat Pandemi Covid-19 pada Februari 2021, tercatat pekerja anak di perdesaan mencapai angka 13,85 persen. Kenaikan terjadi baik pada pekerja anak laki-laki maupun perempuan.
Mayoritas pekerja anak di perdesaan didominasi oleh pekerjaan di sektor pertanian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, berdasarkan kelompok atau lapangan usaha, proporsi pekerja anak di sektor pertanian tahun 2022 sebesar 36,45 persen, sementara sektor jasa menguasai 51,75 persen dan sektor industri di kisaran 11 persen.
Namun demikian, jika ditelisik dari kategori wilayah, pekerja anak sektor pertanian di perdesaan mendominasi lebih dari 50 persen dan jumlahnya meningkat dibanding tahun sebelumnya. Sektor pertanian yang mencakup usaha pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan memang mayoritas berada di perdesaan.
Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki sektor pertanian yang kuat namun memikul tantangan yang berat juga karena menjadi penyumbang pekerja anak terbesar.
Oleh karena itu fokus pengentasan pekerja anak perlu memprioritaskan wilayah perdesaan dan sektor pertanian. Apalagi tidak hanya jumlahnya yang besar, pekerja anak di sektor ini rentan terhadap terjadinya eksploitasi dan pelanggaran pemenuhan hak anak. Misal kasus pekerja anak yang menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit.
Kemiskinan dan kurangnya kesempatan dalam pendidikan membuat anak-anak dipaksa bekerja membantu keluarga untuk mendapatkan penghasilan. Selain itu penetapan beban kerja yang tidak manusiawi, memaksa anak-anak membantu orangtua agar mencapai target.
Mirisnya, anak tidak hanya terancam kehilangan masa kanak-kanaknya dan tak terpenuhi hak-haknya tetapi juga menghadapi ancaman terjadinya eksploitasi.
Anak-anak yang bekerja di perkebunan juga menghadapi risiko terpapar bahan kimia yang digunakan untuk pestisida dan pupuk. Di samping itu juga rentan mengalami cedera karena mengangkut beban yang berat dan juga minim perlindungan keamanan kerja.
Bahkan beberapa pekerja anak-anak tidak pernah bersekolah atau tidak belajar membaca dan menulis. Mereka juga rentan terhadap terjadinya kasus kekerasan seksual hingga perdagangan manusia.
Terkait pendidikan, hasil Jajak Pendapat Kompas medio Juli 2023 juga menangkap, sebanyak 9 persen responden yang tinggal di sekitar perkebunan menyebut masalah pendidikan anak-anak di perkebunan merupakan masalah krusial yang dihadapi buruh.
Baca juga : Pekerja Anak dalam Impitan Ekonomi dan Pandemi
Benteng perlindungan
Oleh karena itu, kementerian tenaga kerja berkomitmen menghapus pekerja anak di perkebunan dengan mencanangkan gerakan sektor perkebunan kelapa sawit terbebas pekerja anak pada tahun ini. Gerakan ini dilakukan pada 16 provinsi yang memiliki luas perkebunan lebih dari 100.000 hektar, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021.
Pemerintah Indonesia juga menyatakan komitmennya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (RAN-PBPTA). Anak-anak yang bekerja di perkebunan termasuk ke dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Lebih spesifik, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) telah menetapkan Principles & Criteria 2018, di mana dalam Criterion No 6.4 menyebutkan dalam produksi minyak kelapa sawit tidak ada pekerja anak yang dilibatkan.
Anak tidak hanya terancam kehilangan masa kanak-kanaknya dan tak terpenuhi hak-haknya tetapi juga menghadapi ancaman terjadinya eksploitasi
Benteng perlindungan dalam bentuk regulasi agar anak-anak terbebas dari problem pekerja anak dan mendapatkan hak-haknya sebenarnya sudah ada. Indonesia bahkan termasuk negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Pasal 32 KHA menetapkan tiap anak berhak dilindungi dari kerja-kerja yang merugikan kesehatan atau pertumbuhan mereka.
Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Menurut Konvensi ini, salah satu bentuk terburuk kerja anak yaitu pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.
Namun demikian, upaya penghapusan pekerja anak bukanlah suatu hal yang mudah. Butuh proses yang panjang dan berkelanjutan serta komitmen dari berbagai pihak sebagai pemangku kepentingan untuk bersama-sama menanggulangi pekerja anak. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Optimalkan Perlindungan Khusus Anak