Optimalkan Perlindungan Khusus Anak
Menurunnya Indeks Perlindungan Khusus Anak menjadi catatan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan dan langkah strategis. Tujuannya agar perlindungan ke semua anak lebih optimal, tanpa terkecuali. Mampukah pemerintah?

Mural kampanye perlindungan anak tergambar di tembok rumah warga di kawasan Cinere, Depok, Jawa Barat, Senin (20/7/2020).
Pandemi Covid-19 berdampak pada menurunnya capaian kluster perlindungan khusus anak. Diperlukan upaya yang lebih optimal dan kebijakan strategis untuk anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, yang terenggut hak-haknya akibat pandemi.
Semua anak harus terpenuhi hak-haknya dan mendapatkan perlindungan, termasuk anak dengan disabilitas, anak dengan kemiskinan, anak telantar, dan pekerja anak. Pemerintah harus berupaya memberikan perlindungan kepada anak-anak dengan kekhususan tersebut.
Oleh karena itu, Indeks Perlindungan Khusus Anak (IPKA) bisa membantu pemerintah memantau bagaimana capaian perlindungan khusus anak dari tahun ke tahun.
Indeks Perlindungan Khusus Anak (IPKA) dan Indeks Pemenuhan Hak Anak (IPHA) merupakan komponen pembentuk Indeks Perlindungan Anak (IPA) yang secara agregat menunjukkan capaian pembangunan perlindungan terhadap anak.
Pandemi Covid-19 berdampak pada menurunnya capaian kluster perlindungan khusus anak.
IPA yang sudah dikembangkan pemerintah mulai tahun 2018 menunjukkan tren yang meningkat hingga tahun 2020. Pada tahun 2018 capaian IPA di angka 62,72 kemudian menjadi 66,26 pada tahun 2019, dan tahun 2020 meningkat tipis di angka 66,89.
Jika dilihat dari sisi pertumbuhannya, capaian IPA tersebut bergerak melambat. Pada 2018-2019 capaian IPA meningkat 5,64 persen, tetapi tahun berikutnya, yaitu 2019-2020, hanya tumbuh 0,95 persen. Salah satu faktor yang membuat capaian IPA tidak tumbuh signifikan pada 2019-2020 adalah capaian IPKA yang menurun drastis, bahkan tidak mencapai target.
Baca juga: Sudahkah Anak Indonesia Terlindungi?
Penurunan IPKA
Indeks Perlindungan Khusus Anak (IPKA) sebagai salah satu pembentuk Indeks Perlindungan Anak (IPA) terpantau turun signifikan dari 77,03 tahun 2019 menjadi 73,11 tahun 2020 atau turun 5,08 persen. Padahal, setahun sebelumnya (2018-2019) IPKA tumbuh 4,11 persen. Akibatnya, capaian tersebut tidak memenuhi target yang ditetapkan, yaitu 74,46.
Perlindungan khusus merupakan bagian penyusun IPA di mana dua dari lima indikatornya memperhitungkan keberadaan anak dengan disabilitas karena mereka juga mempunyai hak yang sama dalam pembangunan.
Penyumbang utama penurunan IPKA tahun 2020 secara nasional adalah turunnya capaian indikator rasio anak usia 5-17 tahun (disabilitas/nondisabilitas), yang pernah mengakses internet, dari 54,98 (2019) menjadi 49,20 (2020).

Kondisi pandemi salah satunya memunculkan ketimpangan antara anak dengan disabilitas dan anak nondisabilitas dalam mengakses internet. Ketika anak-anak harus belajar dari rumah dengan memanfaatkan teknologi, anak-anak dengan disabilitas mengalami lebih banyak kendala atau keterbatasan.
Jika dirunut per provinsi tahun 2020, terlihat tiga provinsi dengan rasio anak usia 5-17 tahun (disabilitas/nondisabilitas) mengakses internet yang terendah, yaitu Kepulauan Bangka Belitung (18,18), Nusa Tenggara Timur (12,06), dan Kalimantan Utara (2,55).
Di daerah-daerah ini terdapat indikasi ketimpangan yang tinggi antara anak disabilitas dan nondisabilitas dalam mengakses internet. Sementara rasio anak usia 5-17 tahun (disabilitas/nondisabilitas) mengakses internet yang tinggi adalah Provinsi Sulawesi Barat (98,15) dan Maluku (84,99).
Selain soal akses internet pada anak disabilitas, penyumbang menurunnya IPKA adalah rasio anak usia 7-17 tahun (disabilitas/nondisabilitas) yang sedang bersekolah atau disebut juga Angka Partisipasi Sekolah 7-17 yang juga menurun, yaitu dari 81,18 (2019) menjadi 80,24 (2020).

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Rabu (13/7/2022), berdialog dengan anak di Muara Angke, Jakarta, serta anak-anak di wilayah Jabodetabek, saat membagikan makanan olahan ikan kepada sejumlah anak-anak di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Indikator tersebut memberikan gambaran kesempatan mendapatkan pendidikan untuk semua anak, termasuk bagi anak dengan disabilitas, terdampak pandemi. Sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) keempat, yaitu menjamin pendidikan yang inklusif, merata, dan meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.
Data capaian di level provinsi menunjukkan masih ada 65 persen (22 provinsi) yang belum mencapai rasio nasional atau masih di bawah angka 80,24. Terendah adalah Provinsi Sulawesi Tengah yang rasio Angka Partisipasi Sekolahnya belum mencapai 50 persen (40,90). Hal ini menjadi alarm untuk mempercepat upaya peningkatan partisipasi anak disabilitas usia sekolah untuk mendapatkan pendidikan.
Baca juga: Perundungan Masih Dianggap Bukan Masalah Serius
Pekerja anak dan anak dengan kemiskinan
Faktor lain yang memengaruhi penurunan IPKA terlihat dari meningkatnya indikator persentase anak yang bekerja dan anak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Indikator persentase anak yang bekerja meningkat cukup signifikan dari 6,35 (2019) menjadi 9,34 (2020), padahal sebelumnya sudah menunjukkan tren yang positif di mana terjadi penurunan anak yang bekerja dari tahun 2018 (7,05) ke 2019.
Perhatian lebih khusus bisa diberikan kepada tiga provinsi dengan persentase pekerja anak tertinggi dari 34 provinsi dengan angka dua kali lipat dari persentase nasional, yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara (18,91), Sulawesi Barat (18,57), dan NTT (18,11).
Adapun indikator persentase anak yang hidup di bawah garis kemiskinan juga meningkat dari 12,05 (2018) menjadi 12,23 (2020) meski menurun pada 2019 (11,76).

Tiga provinsi masih bertahan menjadi tiga besar dengan persentase tertinggi anak yang hidup di rumah tangga dengan ketidakmampuan memenuhi standar hidup tertentu. Ketiga provinsi tersebut berada di kawasan timur Indonesia, yaitu Papua (33,90), Papua Barat (26,49), dan NTT (25,44).
Peningkatan pada kedua indikator tersebut tak lepas dari dampak pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) pada awal-awal pandemi menjadi kendala bagi daerah-daerah tertentu, terutama provinsi yang memiliki banyak daerah terluar, terpencil, dan tertinggal), seperti Papua dan NTT.
Jangankan pembelajaran dalam jaringan (daring) yang mengandalkan teknologi, pembelajaran luar jaringan (luring) pun masih sulit dilakukan. Tak dapat dimungkiri jika banyak anak yang terpaksa bekerja membantu orangtua karena kesulitan ekonomi. Menjadi pekerjaan rumah tersendiri agar anak-anak tersebut terhindar dari kegiatan eksploitasi ekonomi.
Jangankan pembelajaran dalam jaringan (daring) yang mengandalkan teknologi, pembelajaran luar jaringan (luring) pun masih sulit dilakukan.
Sementara itu, ada satu indikator IPKA, yaitu persentase anak telantar yang menunjukkan kecenderungan positif. Persentase anak telantar menurun, dari 1,60 (2018) menjadi 1,40 (2019), dan 1,16 (2020). Meskipun demikian, capaian tersebut belum mencapai kondisi maksimum yang diinginkan, yaitu 0 persen.
Lagi-lagi Provinsi Papua dan NTT berada di urutan teratas dalam hal persentase anak yang telantar. Papua di angka 15,66 dan 4,32 untuk NTT. Dari 34 provinsi, masih ada 14 provinsi yang indikator persentase anak yang telantar di atas angka nasional.
Baca juga: Melindungi Anak Indonesia
Kebijakan Strategis
Gambaran capaian kelima indikator itu menunjukkan bahwa penurunan Indeks Perlindungan Khusus Anak secara agregat dipengaruhi penurunan indeks di tataran provinsi.
Dilihat dari perubahannya, mayoritas provinsi pada tahun 2020 mengalami penurunan capaian dibandingkan tahun 2019 dengan persentase pertumbuhan yang negatif. Dari 34 provinsi hanya lima provinsi yang mengalami pertumbuhan positif, yaitu DKI Jakarta (1,80), Kalimantan Timur (0,97), Sulawesi Tenggara (0,05), Gorontalo (2,76), dan Papua (7,40), meski rata-ratanya juga turun dibandingkan tahun sebelumnya.

Sejumlah anak membubuhkan tanda tangan di spanduk kampanye stop kekerasan terhadap anak dalam Peringatan Hari Anak Nasional tingkat Jawa Barat di Kabupaten Kuningan, Kamis (28/7/2022).
Penurunan persentase pertumbuhan yang sangat tajam terjadi di Provinsi Papua Barat yang mencapai 24,95 persen, NTT (22,38 persen), dan Sulawesi Tengah (17,28 persen).
Penurunan yang merata di level provinsi tersebut memengaruhi capaian IPKA secara agregat sehingga tidak mencapai target. Hanya ada 10 provinsi dengan capaian IPKA sudah melebihi target RPJMN, sementara masih ada 19 provinsi dengan capaian IPKA di bawah capaian nasional. Provinsi Papua dan NTT capaiannya bahkan masih di bawah angka 50, yaitu 44,90 dan 41,14.
Pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menjalankan amanat memberikan perlindungan terhadap anak tanpa terkecuali anak-anak dengan kebutuhan khusus. Menurunnya capaian Indeks Perlindungan Khusus Anak yang antara lain disebabkan dampak dari pandemi menjadi catatan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah strategis agar perlindungan anak lebih optimal.

Demikian pula pemerintahan di tingkat provinsi, bisa menentukan kebijakan dengan berpedoman pada capaian indikator-indikator penyusun indeks sehingga kebijakan yang diambil lebih tepat sasaran dan yang terpenting adalah memberikan perlindungan kepada semua anak, tanpa terkecuali. (LITBANG KOMPAS)