Tingkatkan Kesejahteraan Lewat Revisi UU Desa
Sederet problem masih menghambat upaya mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Revisi UU Desa yang diinisiasi DPR diharapkan menitikberatkan pada solusi untuk mengatasi problem-problem tersebut.
Pengunjung menyusuri obyek wisata Pantai Kesirat di Desa Girikarto, Panggang, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, Selasa (20/12/2022). Jalan akses menuju pantai itu diperbaiki menggunakan Dana Desa pada tahun 2020.
Tata kelola pemerintahan dan pendanaan pembangunan desa harus diperkuat untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Hal itu karena indikator kemajuan Indonesia tidak bisa hanya dilihat dari pembangunan di perkotaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah dirumuskan sembilan tujuan dilakukannya pengaturan desa. Dua di antaranya meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum dan memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional.
Untuk mendukung tujuan itu, pemerintah menyalurkan dana desa sejak 2015. Pada tahun pertama, alokasi dana desa Rp 20,8 triliun. Alokasi dana desa terus ditingkatkan hingga pada 2023 angkanya mencapai Rp 70 triliun. Rata-rata pertambahan dana desa ialah 21,3 persen per tahun.
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, jumlah desa yang menerima alokasi dana desa hingga 2022 mencapai 74.960 desa. Rata-rata per desa menerima Rp 907 juta. Porsi dana desa ini di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar 8,5 persen dari total dana transfer ke daerah.
Warga mengambil air dari saluran yang terhubung dengan mata air di Dusun Stabelan, Desa Tlogolele, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (10/7/2020). Warga membayar iuran sekitar Rp 15.000 - Rp 25.000 per keluarga per bulan untuk biaya listrik mesin pompa yang menyedot air dari mata air ke tempat itu.
Upaya-upaya untuk mendorong peningkatan pembangunan dan kesejahteraan warga desa terus dilakukan karena perubahan yang diinginkan tidak terjadi secara instan. Masih banyak persoalan yang membelit dalam perwujudannya.
Hasil jajak pendapat Kompas pada 11-13 Juli 2023 di 34 provinsi memperlihatkan potret persoalan yang masih menghambat kemajuan desa. Sebagian besar responden (75,6 persen) menyebutkan terdapat tiga persoalan utama dalam meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa.
Ketiga hal tersebut adalah kepala dan aparatur desa yang tidak kompeten, infrastruktur dan sarana-prasarana desa yang minim, serta sulitnya lapangan kerja. Selain itu, ada pula persoalan tata kelola pemerintahan desa yang buruk. Dalam porsi yang lebih kecil, yaitu kurang dari 10 persen, juga ada persoalan minimnya sumber daya alam, kondisi wilayah yang sulit atau rawan bencana, dan lemahnya dukungan masyarakat.
Semua persoalan ini bisa bertali-temali. Semakin banyak persoalan yang dihadapi suatu desa, semakin sulit desa tersebut maju dan mandiri. Berdasarkan data Indeks Desa Membangun yang dikeluarkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT), per 20 Juli 2023, jumlah desa yang berstatus desa mandiri meningkat selama periode 2019-2023, yaitu dari 1,22 persen menjadi 15,64 persen.
Jumlah desa yang berstatus desa maju pada 2023 pun meningkat menjadi 31,45 persen. Namun, masih terdapat desa berstatus tertinggal sebanyak 8,47 persen. Adapun yang berstatus sangat tertinggal jumlahnya 5,41 persen. Selebihnya berstatus desa berkembang.
Terkait pendanaan pembangunan desa, responden setuju mengenai peningkatan anggaran dana desa menjadi di atas Rp 1 miliar per desa per tahun (74 persen). Dalam pembahasan revisi UU Desa, Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR Penyusunan RUU Desa menyetujui peningkatan alokasi dana desa menjadi 20 persen dari total dana transfer ke daerah atau sekitar dua kali lipat dari alokasi dana desa saat ini.
Komitmen pemerintah terhadap peningkatan alokasi dana desa selama ini terlihat cukup kuat. Namun, kenaikan alokasi dana desa tentunya dengan mempertimbangkan kemampuan fiskal pemerintah.
Baca juga: Dana Desa dan Peningkatan Desa Mandiri
Pandangan berbeda
Masih terkait dengan pembahasan revisi UU Desa, secara umum publik meyakini bahwa hal itu akan memperbaiki kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Hal itu diutarakan oleh 7 dari 10 responden. Akan tetapi, publik tidak sepenuhnya setuju dengan semua tuntutan yang diajukan oleh kepala dan aparatur pemerintahan desa.
Soal masa jabatan kepala desa, misalnya, responden lebih setuju dengan masa jabatan enam tahun ketimbang sembilan tahun yang dituntut kepala desa. Hal ini diutarakan oleh responden di perkotaan (59,8 persen) dan di perdesaan (57,1 persen).
Responden perkotaan yang tidak menyetujui jabatan kepala desa sembilan tahun 84,8 persen. Adapun responden di perdesaan yang tak setuju masa jabatan kepala desa sembilan tahun, 82,6 persen.
Sementara untuk periode jabatan, responden lebih setuju kepala desa menjabat dua periode ketimbang tiga periode. Hal ini pun diutarakan oleh mayoritas responden di perkotaan (73,3 persen) dan di perdesaan (72,9 persen).
Dalam Pasal 39 UU Desa disebutkan bahwa kepala desa memegang jabatan selama enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Artinya, seorang kepala desa dapat menjabat maksimal 18 tahun.
Baca juga: Sinyal Transaksi Politik dalam Revisi UU Desa
Namun, dalam pembahasan revisinya, Panja Baleg DPR Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa menyepakati masa jabatan kepala desa diperpanjang menjadi sembilan tahun untuk dua periode, baik secara berturut-turut maupun tidak. Artinya, maksimal kepala desa menjabat juga 18 tahun.
Panja pun sepakat memasukkan aturan peralihan bahwa UU Desa akan berlaku begitu disahkan. Artinya, masa jabatan kepala desa yang kini tengah menjabat akan bertambah menjadi sembilan tahun.
Alasan perpanjangan menjadi sembilan tahun ini didasari kebutuhan untuk memberi waktu konsolidasi kepada para kepala desa. Hal itu karena pemilihan kepala desa umumnya berdampak konflik sosial berkepanjangan di kalangan warga. Masa jabatan enam tahun hanya cukup untuk menyelesaikan ketegangan, tetapi belum dapat melaksanakan program pembangunan.
Alasan ini bagi responden yang mendukung masa jabatan enam tahun agaknya kurang relevan. Pasalnya, selain terlalu menggeneralisasi, program pembangunan juga bisa dilanjutkan di periode kedua dan ketiga jika warga menghendaki kepemimpinan kepala desa tersebut.
Baca juga: Belum Ada Target Waktu Pembahasan, Revisi UU Desa Masih Bisa Dievaluasi
Di samping itu, penyegaran kepemimpinan di tingkat desa dibutuhkan untuk tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Apalagi, untuk pelaksanaan program pembangunan desa, pemerintah desa masih mengacu pada program nasional di bawah pengawasan Kemendesa PDTT.
Pertengahan Juli lalu, DPR telah menyetujui revisi UU Desa menjadi RUU usul inisiatif DPR. Setelah pemerintah mencermati materi di dalam revisi, pembahasan antara pemerintah dan DPR pun akan bergulir. Berkaca pada suara publik yang terlihat dalam jajak pendapat Litbang Kompas ini, seyogyanya revisi UU Desa ke depan dapat menitikberatkan pada upaya mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa dengan di dalamnya mencakup solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan yang masih ada.