Pekerjaan Rumah Di Balik Penurunan Angka Kemiskinan Nasional
Indonesia masih menggunakan standar “purchasing power parity” (PPP) tahun 2011 sebesar 1,9 dollar AS/hari, sedangkan standar PPP tahun 2017 sudah sebesar 2,15 dollar AS/hari. Hal ini mempengaruhi tingkat garis kemiskinan
Pemerintah dapat menurunkan angka kemiskinan nasional saat ekonomi global masih diliputi ketidakpastian. Meski demikian, fokus pengentasan kemiskinan perlu ditingkatkan mengingat adanya anjuran perubahan standar garis kemiskinan dan problem laten kemiskinan struktural.
Turunnya angka kemiskinan di Indonesia ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik. Setelah sempat meningkat akibat pandemi, jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2023 berkurang 262,6 ribu orang dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jika dibandingkan dengan September 2022 tahun lalu, penurunannya lebih besar, yakni sekitar 464,7 ribu orang. Secara persentase, kini angka kemiskinan di Indonesia menjadi 9,39 persen.
Penurunan ini terjadi lantaran sejumlah indikator ekonomi lainnya juga mencatatkan kinerja yang positif. Pertama, perbaikan penyediaan lapangan pekerjaan yang diikuti penurunan jumlah pengangguran terbuka. Merujuk data BPS Februari 2023, pengangguran di Indonesia berkurang sekitar 436,6 ribu orang. Kondisi ini membuktikan analisis korelasi yang menunjukkan adanya hubungan erat antara pengangguran dan kemiskinan. Ketika pengangguran berkurang maka penurunan kemiskinan akan turut mengikuti (Kompas, 8/11/2022).
Relatif terjaganya harga barang dan jasa juga turut berdampak pada berkurangnya jumlah penduduk miskin. Sejak Maret hingga Juni 2023, angka inflasi konsisten berada di bawah angka lima persen. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tahun 2022 lalu ketika inflasi meroket akibat melonjaknya harga-harga komoditas di tingkat global.
Baca juga: Kemiskinan Menurun, tetapi Ketimpangan Meningkat
Perbaikan indeks nilai tukar petani pun turut berpengaruh pada penurunan angka kemiskinan. Peningkatan kesejahteraan petani cukup berdampak lantaran proporsi tenaga kerja pertanian di Tanah Air masih cukup mendominasi.
Pada saat yang sama, pemerintah juga menggelontorkan dana perlindungan sosial yang salah satu tujuannya untuk mengatasi kemiskinan. Kondisi tersebut pada gilirannya mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Dengan kata lain, besaran pengeluaran masyarakat meningkat sehingga lebih banyak masyarakat yang mampu melampaui batas garis kemiskinan yang menjadi dasar penghitungan kemiskinan. Pada gilirannya, angka kemiskinan berkurang.
Apresiasi
Melihat fakta tersebut, tak heran jika masyarakat kemudian mengapresiasi kinerja pemerintah. Survei periodik Kompas Mei 2023 lalu menemukan, terjadi peningkatan kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam mengatasi kemiskinan. Derajat kepuasannya mencapai 59,1 persen, naik dibandingkan survei Januari 2023 yang hanya mencapai 49,6 persen.
Kepuasan tersebut tampaknya bukan tanpa alasan. Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo mampu mencatatkan rekor penurunan angka kemiskinan menjadi satu digit saja. Sebelumnya, hingga tahun 2017, tingkat kemiskinan Indonesia selalu berada di atas angka 10 persen. Bahkan melampaui angka 20 persen ketika masa krisis ekonomi 1998.
Apresiasi pun datang dari lembaga luar negeri. Hasil riset Program Pembangunan PBB (UNDP) bekerja sama dengan Pusat Riset Ekonomi Oxford yang dirilis tahun ini menyatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang berhasil menurunkan separuh dari jumlah penduduk yang masuk kategori miskin multidimensi. Penduduk miskin multidimensi Indonesia berkurang dari 17,19 juta di tahun 2012 menjadi 9,5 juta di tahun 2017, atau berkurang sekitar separuhnya.
Baca juga: Angka Kemiskinan Turun, Jakarta Didorong Sentuh Akar Masalah
Global Multidimensional Poverty Index itu mengukur empat bidang utama yakni kesehatan, pendidikan, dan standar sarana tempat tinggal. Beberapa indikator di antaranya adalah kematian anak, standar gizi, lama sekolah, sanitasi, penggunaan listrik, hingga jenis air minum yang dikonsumsi.
Selain Indonesia, negara yang juga mencatatkan kinerja cukup mengesankan adalah China. Negeri Panda itu mampu mengurangi angka kemiskinan multimensi sebanyak 69 juta jiwa sepanjang 2010-2014. Kemudian disusul oleh Bangladesh, yaitu 19 juta jiwa selama 2015-2019, dan Pakistan sebesar 7 juta jiwa sepanjang tahun 2012-2018.
Pekerjaan rumah
Meski demikian, perjuangan melawan kemiskinan di Indonesia bukan berarti dapat dilalui dengan mudah. Cita-cita mewujudkan angka kemiskinan nol persen pada 2045 mendatang masih menuntut keseriusan berbagai pihak.
Mengikuti tren angka kemiskinan nasional setidaknya sejak tahun 2007, rata-rata penurunan angka kemiskinan Indonesia sebesar 0,45 persen per tahun. Angka tersebut berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) setiap bulan Maret. Dengan penghitungan sederhana didasarkan pada asumsi rerata penurunan kemiskinan konstan, kemiskinan nol persen Indonesia sudah akan tercapai pada tahun 2044.
Namun, jika dihitung menggunakan persentase penduduk miskin bulan Maret dan September, rata-rata penurunannya di angka 0,27 persen. Berdasarkan angka rerata tersebut dengan asumsi penurunannya tetap, kemiskinan di Indonesia pada 2045 masih sebesar 3,5 persen. Dengan kata lain, tidak mudah untuk mencapai target Indonesia tanpa kemiskinan.
Dari tahun ke tahun pun, penurunan persentase penduduk miskin kian menipis. Apalagi, Bank Dunia dalam laporan bertajuk “Indonesia Poverty Assessment” yang dirilis Mei 2023 mengusulkan perubahan standar garis kemiskinan Indonesia menjadi 3,2 dollar AS per orang per hari atau sekitar Rp 47.502.
Baca juga:
Hingga saat ini, Indonesia masih menggunakan standar paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) tahun 2011 yaitu sebesar 1,9 dollar AS per hari atau Rp 28.969. BPS menetapkan garis kemiskinan Indonesia pada Maret 2023 sebesar Rp 550.458 per orang per bulan. Padahal, pada tahun 2017, standar paritas daya beli global sudah sebesar 2,15 dollar AS.
Peningkatan standar tersebut kian tak terhindarkan lantaran per 1 Juni 2023 Bank Dunia telah kembali menetapkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas (UMIC). Menurut Bank Dunia, pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita Indonesia naik sebesar 9,8 persen di tahun 2022 menjadi 4.580 dollar AS per orang per tahun.
Artinya, dengan peningkatan pendapatan diasumsikan bahwa tingkat pengeluaran pun akan meningkat, sehingga standar garis kemiskinan harus ditingkatkan. Hanya saja, ketika garis kemiskinan ditingkatkan, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dipastikan meningkat. Pasalnya, penghitungan GNI per kapita hanya perhitungan kasar yang membagi total pendapatan nasional bruto dengan total penduduk Indonesia. Secara riil, masih banyak penduduk yang pendapatannya lebih rendah dari GNI per kapita.
Jika menggunakan standar Bank Dunia 3,20 dollar AS per orang per hari, maka jumlah penduduk miskin Indonesia akan meningkat menjadi sekitar 44 juta jiwa. Hampir dua kali lipat dari jumlah saat ini. Kondisi tersebut, akan membuat upaya pengentasan kemiskinan nol persen di tahun 2045 menjadi kian terjal.
Kemiskinan struktural
Di luar pertimbangan perubahan standar garis kemiskinan, Indonesia juga masih memiliki tantangan berupa kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural mengacu fenomena kemiskinan yang kondisinya terisolasi oleh struktur sosial dan lingkungan. Kondisi menghambat akses kelompok masyarakat terhadap sumber daya yang ada. Ketergantungan pada pemberian bantuan membuat kemiskinan struktural di Indonesia sulit dilepaskan.
Hal yang juga memprihatinkan ialah masih banyaknya anak miskin di Tanah Air. Data BPS sewindu terakhir menunjukkan bahwa jumlah anak miskin lebih banyak dari persentase penduduk miskin usia 18 tahun ke atas. Tahun 2022, misalnya, persentase penduduk 18 tahun ke atas sebanyak 8,6 persen. Sementara, penduduk miskin usia kurang dari 18 tahun sebanyak 11,8 persen.
Baca juga: Pusat dan Daerah Terus Berupaya Turunkan Kemiskinan Ekstrem
Boleh jadi, mereka adalah korban dari kemiskinan yang menjerat orangtua mereka. Penelitian SMERU Institute tahun 1993-2014 menemukan bahwa 40 persen anak yang lahir dari keluarga miskin akan tetap miskin ketika dewasa. Pendapatan anak-anak miskin tersebut diperkirakan 87 persen lebih kecil daripada mereka yang lahir tidak dari keluarga miskin.
Kendati persentase anak miskin terus menurun dari tahun ke tahun, kondisi ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Kesulitan akses terhadap sumber daya sejak dini membuat mereka kian sulit lepas dari jerat kemiskinan. Ikatan yang tak terputus itu akan kembali melahirkan generasi-generasi yang kurang berdaya di kemudian hari. Pada gilirannya, akumulasi dari kondisi ini akan menambah panjang daftar penduduk miskin secara nasional. Target kemiskinan nol persen 22 tahun mendatang pun kian sulit dijangkau.
Hal ini menuntut keseriusan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan dari hal yang paling mendasar. Penurunan kemiskinan yang sudah tercapai dari tahun ke tahun menjadi modal yang baik bagi pemerintah untuk bergerak lebih cepat mengingat banyaknya tantangan yang harus dihadapi. Namun, yang juga perlu menjadi catatan, keberhasilan mengatasi kemiskinan tidak hanya soal menurunkan angka, tetapi menghadirkan kehidupan yang benar-benar layak bagi masyarakatnya. (Litbang Kompas)