Mengejar Target Indonesia Layak Anak 2030
Program Indonesia Layak Anak 2030 berusaha mewujudkan perlindungan anak mulai dari tingkatkan keluarga hingga level pemerintahan provinsi.
Upaya perlindungan yang dirancang dalam program Indonesia Layak Anak 2030 mulai tampak hasilnya. Indikasinya terlihat dari semakin banyaknya kabupaten/kota yang mendapat peringkat Kota Layak Anak (KLA). Meskipun masih jauh dari target, capaian ini menunjukkan upaya serius pemerintah untuk melindungi masa depan generasi bangsa.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan dalam Pasal 20 bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal tersebut menerangkan bahwa perlindungan anak membutuhkan keterlibatan pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilembagakan serta diatur dalam program yang diinisiasi pemerintah untuk menjadi arahan dalam penerapan perlindungan anak. Di bawah payung program Indonesia Layak Anak 2030 itu, perlindungan anak berusaha diwujudkan mulai dari tingkatkan keluarga hingga level provinsi.
Targetnya, pada tahun 2030 sebanyak 87 juta anak harus terlindungi. Harapan itu selanjutnya diterjemahkan dalam sejumlah sasaran, di antaranya meraih target 65 juta Keluarga Ramah Anak, 79.075 Desa/Kelurahan Layak Anak (Dekala), 6.793 Kecamatan Layak Anak (Kelana), 516 Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), dan 34 Provinsi Layak Anak (Provila).
Langkah perlindungan yang ramah anak sejak lingkup keluarga hingga provinsi tersebut tampaknya memperlihatkan hasil yang positif. Terlihat dari peningkatan jumlah daerah yang mendapatkan penghargaan KLA.
Pada tahun 2022, jumlah daerah yang menerima penghargaan KLA sebanyak 312 kabupaten/kota. Angka tersebut naik secara gradual dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2018, jumlah KLA masih 126 daerah, lalu meningkat menjadi 177 daerah pada tahun 2019, naik lagi pada tahun 2020 menjadi 247 daerah, dan tahun 2021 bertambah sedikit menjadi 275 daerah. Dengan capaian itu, hal tersebut menandakan 60,7 persen dari total kabupaten/kota di seluruh Indonesia telah mendapatkan peringkat KLA.
Baca juga: Desa dan Kelurahan Kunci Wujudkan Kota Layak Anak
Penetapkan peringkat KLA itu berdasarkan penilaian skor terhadap lima kategori yang dimonitor. Kategori penilaiannya terbagi mulai dari skor terendah hingga tertinggi, yang terdiri dari peringkat pratama, madya, nindya, utama, dan KLA. Jadi, daerah dengan kesiapan KLA terendah berada pada kategori pratama dan yang tertinggi berada pada kategori KLA.
Pada tahun 2022, belum ada satu daerah pun yang sudah sampai pada tahapan KLA. Peringkat tertinggi yakni kategori utama hanya diperoleh oleh delapan kabupaten/kota. Sementara itu, pada peringkat nindya ada 66 daerah, madya 117 daerah, dan peringkat pratama 121 daerah.
Skor angka yang dinilai terus meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Maksudnya, semakin banyak daerah yang peringkat penilaian KLA-nya lebih tinggi dari periode sebelumnya. Pada tahun 2021, misalnya, hanya ada 100 daerah yang masuk kategori madya, 38 daerah di kategori nindya, dan 4 daerah di kategori utama.
Semakin banyaknya daerah yang peringkat KLA-nya lebih tinggi berarti semakin banyak daerah yang semakin siap menyongsong KLA. Hanya saja, capaian tersebut masih jauh dari target Indonesia Layak Anak 2030 dengan sasaran sebanyak 514 KLA. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menyediakan lingkungan ramah anak di seluruh Indonesia.
Penurunan skor
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat ada penurunan skor indikator KLA pada tahun 2022 dibandingkan tahun 2021. Dari 20 indikator yang terbagi dalam lima kluster, terdapat tujuh indikator yang skornya menurun, yaitu indikator peraturan/kebijakan daerah tentang KLA, penguatan kelembagaan KLA, peran lembaga masyarakat-media massa-dan dunia usaha, serta ketersediaan fasilitas informasi anak. Selain itu, juga indikator pelembagaan partisipasi anak, pencegahan perkawinan anak, dan wajib belajar 12 tahun.
Menariknya, dari ketujuh indikator itu, tiga di antaranya termasuk dalam kluster kelembagaan. Ketiga indikator ini adalah peraturan, kelembagaan, dan peran masyarakat dalam mewujudkan KLA. Hal ini cukup menjadi kontras dengan capaian peringkat KLA yang kian banyak diraih oleh daerah-daerah.
Baca juga: Perkuat Komitmen Wujudkan Kota Layak Anak
Menurut hasil evaluasi Kementerian PPPA, ada penurunan skor indikator peraturan/kebijakan terkait KLA di 20 provinsi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya kemunduran penyediaan peraturan/kebijakan daerah terkait KLA. Padahal, peraturan dan kebijakan tersebut merupakan landasan awal untuk menciptakan lingkungan yang ramah anak.
Akibatnya, belum semua kabupaten/kota memiliki payung hukum penyelenggaraan KLA. Berdasarkan penelusuran di mesin pencarian, pada tahun 2023 baru beberapa daerah saja yang menerbitkan aturan tentang hal tersebut, di antaranya Kota Semarang, Kabupaten Jember, Kabupaten Konawe, dan Kabupaten Sumbawa Barat.
Dengan disahkannya Perpres Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak, harapannya semakin menginisiasi penyusunan dan pengesahan aturan KLA di sejumlah daerah. Aturan ini mempertegas bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan KLA yang diatur dalam peraturan daerah. Tidak hanya itu saja, perpres itu juga menguatkan intensi penyelenggaraan KLA di daerah di mana perlunya peran masyarakat dan gugus tugas KLA yang dibentuk oleh bupati ataupun wali kota.
Perpres tersebut dapat menjadi pemantik daerah-daerah untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan peran masyarakat. Sebab, kedua parameter itu menjadi indikator yang skornya terus menurun pada evaluasi Kementerian PPPA.
Ada sejumlah cara untuk menguatkan kelembagaan, yakni melalui gugus tugas KLA, rencana aksi daerah KLA, koordinasi dan evaluasi KLA, dan pembentukan UPTD PPA. Sementara itu, penguatan peran masyarakat dapat dilakukan dengan menyasar pada perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga pendidikan. Untuk memperkuat dukungan secara khusus, perpres menegaskan perlunya peran media massa dan dunia usaha dalam penyelenggaraan KLA.
Secara umum, kluster kelembagaan itu menjadi langkah lanjut untuk mewujudkan amanah UU tentang Perlindungan Anak, di mana pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab atas perlindungan itu. Jadi, penurunan skor kelembagaan yang terjadi pada tahun 2022 itu menjadi fokus penting untuk segera ditangani.
Level desa/kelurahan
Hingga saat ini, program lingkungan ramah anak di level kecamatan dan desa masih menyisakan pekerjaan rumah. Pada level kecamatan, Kementerian PPPA mencatat penerapan indikator KLA pada umumnya sudah meningkat di tahun 2022. Hanya saja masih tersisa sepuluh provinsi yang skor penerapan indikator KLA di tingkatan kecamatannya menurun.
Sementara itu, pada level desa/kelurahan, hampir semua penerapan indikator KLA mengalami kemunduran pada tahun 2022. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan nilai rata-rata implementasi indikator KLA di tingkat desa/kelurahan secara nasional, yakni dari 55,83 pada 2021 menjadi 29,84 pada 2022. Nilai penurunan tersebut cukup signifikan, yakni 25,99 poin.
Baca juga: NTB Belum Menjadi Provinsi Layak Anak
Penurunan tersebut menjadi cerminan sulitnya menerapkan indikator KLA di tingkat desa/kelurahan. Ada sejumlah indikator yang skornya sulit tercapai, di antaranya tidak ada perkawinan anak, tidak ada anak dengan masalah gizi, dan semua anak mendapat pendidikan formal/nonformal. Selain itu, indikator adanya anggaran perlindungan anak yang berasal dari keuangan desa/kelurahan juga sulit diterapkan.
Setiap desa/kelurahan memiliki sumber daya materi dan sumber daya manusia yang berbeda-beda. Bagi desa/kelurahan dengan sumber daya materi dan SDM yang minim, maka penerapan KLA di daerahnya akan lebih sulit. Anggota tim penyusun Petunjuk Teknis Penyelenggaraan KLA di Desa/Kelurahan, Taufieq Uwaidha, mengatakan, tidak semua desa/kelurahan paham permasalahan anak (Kompas, 16 Januari 2023).
Untuk itu, implementasi KLA membutuhkan kerja sama berbagai pihak. Petunjuk teknis penyelenggaraan KLA di desa/kelurahan yang diluncurkan Januari 2023 menjadi arahan bagi desa/kelurahan untuk mengimplementasikan KLA. Bimbingan dan sosialisasi dari instansi terkait dari tingkat pusat hingga daerah sangat dibutuhkan. Begitu pula dengan pendanaan untuk program pemenuhan hak dan perlindungan anak yang bersifat lintas sektoral perlu didorong untuk terus meningkat.
Kini, evaluasi implementasi KLA yang telah dilakukan diharapkan dapat menjadi landasan untuk perbaikan di kemudian hari. Apalagi, berbagai aturan dan petunjuk teknis pelaksanaan KLA seperti Perpres Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak sudah disahkan.
Oleh sebab itu, Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli menjadi momen yang baik untuk menggerakkan seluruh elemen pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi dan melindungi hak anak. Pada subtema ”Wujudkan Lingkungan yang Aman untuk Anak” mengingatkan kita untuk membangun kepedulian dan kesadaran bersama untuk menyukseskan agenda program Indonesia Layak Anak 2030. Kepedulian terhadap hak anak-anak ini diharapkan dapat menyasar segenap lapisan masyarakat mulai dari orangtua, pengasuh, guru, masyarakat, dunia usaha, dan juga pemerintah. (LITBANG KOMPAS)