Dalam tiap pemilu, kaum muda selalu menjadi target incaran suara para kontestan. Hanya saja, belum banyak kebijakan yang berpihak pada generasi muda. Generasi muda perlu dipandang sebagai subyek politik.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·4 menit baca
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) bernyanyi seusai menjumpai anak-anak muda di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (5/4/2023). Dalam kesempatan itu, ia menyerap berbagai keresahan anak-anak muda di masa sekarang.
JAKARTA, KOMPAS — Warga yang berusia 40 tahun ke bawah memiliki persentase suara dominan pada Pemilu 2024. Mereka yang tergolong pemilih muda ini berasal dari generasi Z dan generasi milenial, yaitu sebanyak 115,6 juta orang atau 56 persen dari total pemilih.
Hasil survei Kompas, Mei 2023, proyeksi partisipasi pemilih muda pada pemilu nanti juga terbilang besar. Sebanyak 77,9 persen responden dari generasi milenial muda (25-33 tahun) menyatakan akan memilih calon presiden, partai, dan calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024. Sementara dari generasi milenial madya (34-41 tahun) sebesar 73,1 persen dan generasi Z (kurang dari 25 tahun) sebesar 67,8 persen.
Besarnya antusiasme pemilih muda ini tidak sekadar dalam jumlah, tetapi juga terkait kesadaran mereka untuk menjadikan pemilu sebagai momentum menunjukkan aspirasi politiknya. Menurut pegiat hak asasi manusia, Nisrina Nadhifah Rahman, sebagian besar anak muda sudah punya literasi cukup dalam melihat politik.
”Adanya kegaduhan politik setiap pemilu, para elite dan parpol yang mengusung isu relatif sama, hingga cara komunikasi yang monoton justru membuat anak muda makin kritis. Mereka juga merasa sebagai subordinat dan diperlakukan sebatas pasar kampanye,” kata Nisrina di Jakarta, Kamis (22/6/2023).
Tidak heran, sejak awal tahun ini pun Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah membuat kampanye untuk mendorong partisipasi pemilih muda. Partai politik dan caleg sudah aktif menyusun strategi dan berkampanye guna meraup suara dari generasi muda. Sementara para konsultan dan analis politik sudah jauh-jauh hari mengingatkan parpol untuk berfokus di ”lahan pertempuran” tersebut.
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Suasana diskusi bertajuk "Partisipasi Anak Muda dalam Pemantauan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024" di Jakarta (12/8/2022).
Mereka mengusung jargon ”pemuda” dan aktif menaikkan konten di media sosial. Disebut-sebut, suara dan peran kaum muda dapat membawa perubahan dan gagasan baru bagi negeri. Hanya saja, perhatian kepada generasi muda ini biasanya terhenti bersamaan dengan selesainya pemilu.
Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang diturunkan dalam sejumlah program selama ini. Adanya program dengan embel-embel gen Z atau milenial, seperti program petani milenial, program hunian milenial, dan program wirausaha milenial, belum sepenuhnya dapat menjawab permasalahan generasi muda.
Data Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2023 menunjukkan, dari total 100 penganggur, 44 orang diisi kaum muda (15-24 tahun). Kelompok umur ini juga memegang persentase tingkat pengangguran terbuka (TPT) terbesar, yakni 34,4 persen. Penghitungan TPT mengesampingkan penduduk yang masih sekolah dan mengurus rumah tangga.
Begitu juga di lingkup pendidikan lanjut dan pendidikan vokasi yang masih tersendat. Data Pendidikan BPS 2022 memperlihatkan, penduduk berusia 19-24 tahun yang tidak melanjutkan pendidikan tinggi mencapai 73,07 persen. Jika disandingkan dengan data ketenagakerjaan, pengangguran muda paling banyak dihuni mereka yang hanya mengenyam pendidikan setingkat SMA atau sederajat. Ironisnya, inilah generasi muda yang disebut-sebut sebagai calon sumber daya manusia unggul untuk 2045.
KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Drumband sekolah mengikuti pawai Hari Sumpah Pemuda (27/10/1978). Kaum muda banyak berperan dalam tonggak-tonggak sejarah bangsa seperti saat membuat komitmen kebangsaan melalui Sumpah Pemuda pada 1928.
”Ada kekosongan identitas anak muda karena masih dipandang sebagai satu entitas tunggal yang diasosiasikan generasi digital native dengan gaya hidup urban,” ujar Nisrina.Padahal, ada kaum muda dari masyarakat adat, kaum muda perdesaan, kaum muda korban kekerasan, atau kaum muda tertinggal. Pemerintah dan elite politik masih bias dalam mendefinisikan generasi muda sehingga kebijakannya pun tidak tepat sasaran.
Hal ini bisa dirunut dari aturan tentang inkonsistensi definisi ”anak muda”. Merujuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, pemuda adalah penduduk warga negara Indonesia berusia 16-30 tahun. Rentang usia itu berbeda jika disandingkan dengan UU Ketenagakerjaan, acuan usia angkatan kerja menurut BPS, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan sebagainya.
Di satu sisi, inkonsistensi ini menjadikan istilah ”kaum muda”, ”generasi muda”, dan seterusnya dipakai secara berlebihan. Dalam narasi politik, istilah pemuda juga diromantisasi dengan mengulang-ulang peristiwa seperti Rengasdengklok pada Agustus 1945, gerakan revolusi 1965/1966, hingga gerakan reformasi 1998.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat hadir menjadi pembicara dalam acara Youth On Top National Conference (YOTNC) 2023 di pusat perbelanjaan Kota Kasablanka, Jakarta (15/7/2023). Ganjar mengapresiasi generasi muda yang berhasil menggerakkan roda ekonomi Indonesia melalui berbagai inovasinya.
Di sisi lain, kerancuan definisi anak muda akhirnya turut memengaruhi pandangan terhadap soliditas generasi ini. Mereka dilihat memang berani di ruang media sosial, tetapi cenderung lemah jika dihadapkan pada permasalahan di lapangan. Padahal, belakangan ini banyak permasalahan terangkat dari isu di media sosial.
Menurut Nisrina, romantisisme pemuda itu terus dimunculkan karena saat ini tidak ada narasi besar yang satu dan utuh untuk menggerakkan anak muda. Misalnya, saat aksi demo ”Reformasi Dikorupsi” atau penolakan omnibus law, masih banyak anak muda yang memilih sibuk bekerja dan tidak peduli dengan isu ini. ”Lagi pula, ada politisi muda yang tampaknya tidak terlihat berpihak kepada generasinya,” ucapnya.
Generasi muda sebenarnya berada dalam dilema, antara terus dituntut untuk peduli keadaan negeri dan memenuhi tuntutan sosial serta kebutuhan hidupnya. Romantisisme gerakan pemuda pun perlu dilihat seturut konteks zaman. Penggunaan narasi berlebihan dari para elite justru membuat generasi muda menjadi apatis dan jengah dengan dunia politik.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengakui, langkah pemerintah terkait politik di kalangan pemuda masih lebih fokus pada partisipasi ketimbang substansi. ”Soal anak muda, ada kebutuhan mendasar seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang belum mampu disediakan secara maksimal oleh pemerintah,” ucap Bahtiar di Jakarta, Senin (26/6/2023).
Belum lagi dalam ranah politik. Menurut dia, regulasi yang ada saat ini belum bisa memfasilitasi anak muda untuk bisa terlibat aktif di ruang politik praktis. Inilah yang menyebabkan secara sistemik anak muda seolah dijauhkan dari keterlibatan politik, terutama parpol.
Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Raihan Ariatama melihat anak muda masih sebatas membincangkan politik, tetapi ketertarikan untuk terjun belum terlalu besar. ”Meski belum tertarik, anak muda jangan hanya dijadikan obyek politik, tetapi juga subyek politik,” ujar Raihan di Jakarta, Rabu (21/6/2023).
Dengan menempatkannya sebagai subyek, anak muda didorong keterlibatannya sekaligus diberikan ruang lebih lebar. Dengan demikian, keterlibatan anak muda bukan hanya ditimbang untuk meraup suara.(LITBANG KOMPAS)