Negara dengan sisa kuota karbon yang relatif banyak seperti Indonesia dapat memperoleh pendanaan dari perdagangan karbon global sehingga berguna untuk program aksi iklim atau investasi mereduksi emisi karbon.
Oleh
Yoesep budianto
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Suasana asri dengan pepohonan yang rimbun di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Tarakan, Kalimantan Utara, Senin (18/7/2022). Kawasan dengan luas 22 hektar ini diresmikan sejak Juni 2003 yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan benteng hijau yang melindungi dari abrasi. Selain mangrove, kawasan ini juga dihuni oleh bekantan (Nasalis larvatus). Hutan mangrove memiliki peran penting dalam mereduksi emisi karbon di atmosfer.
Pasar karbon berbasis kepatuhan dan sukarela akan terus berkembangdi berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Basis perdagangan kredit karbon ini adalah skema tercepat untuk memaksimalkan dekarbonisasi sekaligus meningkatkan investasi pada pengelolaan ekosistem.
Pasar karbon merupakan skema global untuk menekan laju pemanasan global melalui transaksi kuota emisi karbon. Skema tersebut dinilai mampu mengurangi emisi dengan biaya yang efektif. Hingga saat ini, sistem perdagangan karbon terpantau meningkat, salah satunya sistem perdagangan emisi Uni Eropa (EU ETS). Negara lain yang turut mengembangkan adalah Kanada, China, Jepang, Selandia Baru, Swiss, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Secara global, mekanisme pasar karbon disepakati pasca-perumusan Protokol Kyoto tahun 1971. Saat itu, ada tiga mekanisme yang diperbolehkan dalam pengelolaan karbon secara komersial,yaitu perdagangan emisi, implementasi bersama (joint implementation), dan pembangunan bersih (clean development mechanism). Meskipun peresmian Protokol Kyoto sudah sejak tahun 1971, ratifikasi dan implementasinya baru dimulai tahun 2005.
Seiring implementasi perdagangan karbon, ada sejumlah perubahan yang menjadi urgensi negara-negara dunia, yaitu bagaimana pasar karbon dapat menyentuh berbagai lapisan entitas di dunia. Protokol Kyoto menitikberatkan pada negara maju sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas krisis iklim. Kemudian muncul Perjanjian Paris tahun 2015 yang memiliki cara kerja secara kolektif.
Perjanjian Paris memberikan dasar yang kuat dan ambisius untuk menggunakan pasar internasional dan memperkuat target global. Alhasil, kerangka kerja pasar karbon dapat dibuat melalui mekanisme pasar baru yang lebih terstruktur. Hal tersebut turut menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas setiap negara anggota.
Mengapa saat ini banyak negara berpartisipasi dalam perdagangan karbon? Latar belakang munculnya pasar karbon disebabkan adanya kesenjangan besar antara jumlah emisi karbon yang dilepas dan kemampuan sebuah entitas atau negara untuk menyerapnya kembali. Banyak negara yang melepas karbon dalam jumlah miliaran ton dalam setahun sehingga kian memperburuk kondisi bumi.
Demi menutup celah pengelolaan emisi karbon, maka dibutuhkan peran negara yang memiliki kemampuan lebih untuk menyerap karbon melalui tutupan lahannya, yaitu hutan. Akhirnya, setiap negara dihadapkan pada dua kemungkinan, yaitu mengurangi emisi karbon sesuai targetnya agar krisis iklim teratasi atau negara pelepas emisi membeli kredit karbon kepada negara yang memiliki cadangan kredit lebih tinggi.
Dalam pasar karbon, komoditas yang diperdagangkan adalah hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setara satu ton karbon ekuivalen. Hak atas emisi yang dimaksud adalah hak untuk melepas karbon dan hak untuk menurunkan emisi. Keterangan ekuivalen digunakan untuk mengelompokkan sedikitnya empat gas, yaitu karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, dan sulfur heksafluorida.
Urgensi pasar karbon
Setelah stabil selama 12.000 tahun terakhir, saat ini kondisi ekologi bumi terpantau menurun setiap dekade karena intervensi besar (aktivitas) manusia. Sebuah penelitian yang berjudul ”Safe and Just Earth System Boundaries” yang rilis pada Mei 2023 mengungkap bahwa dari delapan parameter penentu daya dukung bumi untuk makhluk hidup, tujuh parameter telah melampaui batas amannya.
Implikasi terbesarnya adalah makin lebarnya paparan bahaya yang signifikan bagi kehidupan karena kegagalan sistem ekologi dunia. Intervensi manusia selama ribuan tahun telah mendorong munculnya degradasi ekologis yang menggerus ruang hidup berbagai spesies makhluk hidup di muka bumi.
Salah satu ancaman terbesar adalah pemanasan global karena emisi karbon tak terbendung selama satu abad terakhir. Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC merilis laporan keenam (AR6) yang menegaskan bahwa emisi karbon masih meningkat di semua sektor utama secara global. Berdasarkan kondisi tersebut, para ilmuwan memperingatkan bahwa pemanasan hingga 2 derajat celsius akan terlampaui pada abad ke-21 ini.
Bagian gunung es dari gletser San Rafael mengapung di Danau San Rafael di wilayah Aysen, Chile selatan, Minggu (13/2/2022).
Konferensi Para Pihak (COP) yang dihadiri ratusan negara di seluruh dunia setiap tahunnya secara berkala merumuskan kebijakan pengurangan emisi karbon secara kolektif. Sayangnya, ikhtiar yang dilakukan harus dihadapkan pada rintangan besar, yaitu ketangguhan fiskal secara global dan nasional. Sangat besar investasi yang dibutuhkan dalam upaya dekarbonisasi ini.
Negara-negara berkembang akan membutuhkan sedikitnya 6 triliun dollar AS atau setara Rp 89.649 triliun pada tahun 2030 untuk membiayai sekitar 50 persen program iklim mereka. Padahal, banyak negara posisi ekonominya tiga hingga enam kali lebih rendahdari kebutuhan dana yang harus disiapkan untuk memitigasi perubahan iklim itu.
Semua negara dihadapkan pada dilema besar, antara memitigasi perubahan iklim atau menanggulangi dampaknya. Kedua hal tersebut sama-sama menuntut biaya tak sedikit. Jadi, bagaimana cara menggerakkan negara untuk membiayai dan bertransformasi demi mengatasi krisis iklim? Disini letak peran sentral dari pasar karbon dengan skema lebih dinamis.
Pasar karbon terbagi menjadi dua skema, yaitu kepatuhan (mandatory) dan sukarela (voluntary). Pasar karbon kepatuhan diatur oleh entitas nasional, regional, atau internasional. Di level internasional, entitas tersebut adalah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Sementara itu, pasar karbon sukarela adalah perdagangan kuota karbon, di mana negara yang menghasilkan karbon melampaui batasnya wajib membeli kuota dari negara yang memiliki kelebihan kuota.
Pasar karbon sukarela menguntungkan kedua belah pihak. Bagi negara dengan emisi besar, kelebihan rilis karbon dapat ditanggulangi oleh negara penjual kuota sehingga tidak memperparah pemanasan global. Di sisi lainnya, negara dengan sisa kuota karbon banyak memperoleh pendanaan dari perdagangan karbon tersebut. Dana ini dapat digunakan untuk mengoperasikan program aksi iklim.
Tidak ada dasar hukum untuk berpartisipasi di dalam pasar karbon sukarela. Semua entitas berpedoman pada komitmen sukarela untuk mengimbangi jejak karbon mereka. Komitmen tersebut terbangun karena ketentuan nasional, tekanan publik terhadap transformasi hijau, hingga kehendak pemilik entitas itu sendiri. Contoh pasar karbon sukarela yang telah berjalan adalah emissions trading system (ETS), verified carbon standard (VCS), gold standard, plan Vivo, dan community and biodiversity standards (CCBS).
Langkah Indonesia
Sebagai salah satu negara dengan tutupan hutan terluas di dunia, Indonesia memegang peran penting dalam sistem pasar karbon global. Pemerintah Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyiapkan penyelenggaraan pasar karbon untuk mendukung program aksi iklim nasional. Indonesia memiliki banyak keuntungan dari perdagangan karbon.
Dengan luas hutan tropis sekitar 125 juta hektar, Indonesia diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon. Serapan tersebut belum termasuk hutan bakau dan lahan gambut yang tersebar dari Sumatera hingga Papua. OJK memperkirakan nilai pendapatan dari pasar karbon di Indonesia bisa mencapai 565,9 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 8.453 triliun.
Apabila tidak ada hambatan, peluncuran pasar karbon nasional akan dilakukan pada September 2023. Langkah Indonesia untuk merumuskan pasar karbon dimulai sejak peluncuran Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon yang berorientasi pada target nationally determined contribution (NDC), yaitu pengurangan emisi karbon hingga 41 persen pada 2030.
Pasal 47 menyatakan bahwa salah satu pelaksanaan nilai ekonomi karbon melalui perdagangan karbon dalam negeri dan luar negeri. Persoalan tentang batas emisi karbon dan surplus kuota, pada Pasal 54 ditegaskan mekanisme yang ditempuh adalah melalui bursa karbon atau perdagangan langsung. Setelahnya, aturan turunan dari Perpres No 98/2021 tersebut dirilis, yaitu Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.
Perdagangan karbon menyasar berbagai sektor di Indonesia. Salah satu sektor kunci adalah kehutanan. Aturan pasar karbon sektor kehutanan kemudian diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Di dalam aturan tersebut, ada enam kawasan hutan yang menjadi target pasar karbon, yaitu kawasan hutan negara yang tidak dibebani perizinan dan hak pengelolaan, areal kerja unit persetujuan, areal kerja hak pengelolaan, kawasan hutan adat, area hutan hak, dan hutan negara yang bukan merupakan kawasan hutan.
Upaya Pemerintah Indonesia dalam membangun skema perdagangan karbon perlu mendapat apresiasi. Sayangnya terdapat kekhawatiran serius dalam mekanisme pasar karbon, yaitu pelanggaran hak asasi manusia dan greenwashing atau tindak pencucian uang dan data emisi. Oleh karena itu, membangun integritas adalah kunci. Pengurangan dan penghapusan emisi karbon harus selaras dengan target NDC. (LITBANG KOMPAS)