Keterampilan Para Pekerja untuk Menghadapi AI di Masa Depan
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan adalah keniscayaan, tetapi manusia tetaplah aktor utamanya.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·5 menit baca
Cepat atau lambat, perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) akan menyatu dengan aktivitas keseharian manusia, terutama dalam hal mata pencarian. Perusahaan-perusahaan global kini sedang berpacu mengadopsi serta mengembangkan AI dalam sistem bisnis mereka. Para pekerja dan calon pekerja dipaksa untuk beradaptasi dan mengembangkan kecakapan yang belum terjangkau AI.
Dalam beberapa waktu ke depan, kemampuan yang dibutuhkan pasar kerja tidak hanya berfokus pada kecakapan teknis (hard skill) semata. Tidak lagi sebatas membuat program, menciptakan mesin pembelajaran, menjaring serta mengolah mahadata (big data), ataupun sejenisnya. Diperlukan juga aspek kemampuan nonteknis (soft skill). Bahkan, keterampilan ini menduduki indikator prioritas yang dicari perusahaan global dan dapat diterapkan di berbagai bidang, termasuk industri kreatif.
Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) merilis laporan pada Juni 2023 mengenai tren pekerjaan dan kemampuan pekerja dalam kurun lima tahun ke depan. WEF menganalisis kecakapan atau kemampuan pekerja mulai dari berbagai posisi jabatan di perusahaan global serta survei khusus dengan pimpinan perusahaan bersangkutan. Menurut WEF, terdapat 23 kecakapan utama yang perlu dimiliki para pekerja di perusahaan global.
Dua teratas diisi kemampuan kognitif yang terdiri dari kemampuan berpikir analitis dan berpikir kreatif. Selanjutnya, disusul kecakapan karakter yang terdiri dari daya tahan, fleksibilitas, dan ketangkasan pribadi, lalu didukung pula oleh kemampuan motivasi dan kesadaran diri serta keinginan belajar berkelanjutan. Posisi keenam diisi kecakapan kemampuan teknis, seperti halnya literasi digital.
Namun, dalam konteks tantangan lima tahun ke depan, diperkirakan akan ada perubahan prioritas kecakapan yang dibutuhkan oleh sejumlah perusahaan global. Posisi pertama dan kedua masih ditempati kemampuan berpikir analitis dan berpikir kreatif. Berikutnya, disusul penguasaan AI dan big data, yang artinya menggeser kemampuan karakter yang saat ini menempati posisi ketiga. Lalu, posisi keempat dan kelima diisi kemampuan memimpin dan ketahanan serta fleksibilitas dan ketangkasan pribadi.
Proyeksi itu menunjukkan bahwa kemampuan berpikir analitis dan berpikir kreatif adalah dua kecakapan prestisius karena masih dipandang penting oleh pimpinan perusahaan global meskipun teknologi sudah sangat mutakhir. Kecakapan tersebut sangat dibutuhkan oleh berbagai bidang pekerjaan, termasuk bidang industri yang sarat teknologi sekalipun.
Hanya, mendapatkan sumber daya manusia yang memiliki kecakapan tersebut tidaklah mudah. Pasalnya, kedua kemampuan itu tidak jatuh dari langit atau terkait bakat bawaan seseorang. Sebaliknya, kedua kecakapan ini muncul berkat latihan atau kebiasaan berpikir yang disiplin diterapkan sehari-hari.
Kemampuan berpikir analitis dimiliki oleh seseorang yang dapat mengidentifikasikan masalah atau melihat duduk perkara, lalu mengekstrak informasi kunci dari data atau fakta yang ada. Semua informasi itu dirangkai untuk mengidentifikasikan permasalahan secara holistik. Selanjutnya, ditelaah untuk mencari solusi guna memecahkan masalah inti. Tidak berhenti di situ, solusi yang ditemukan di awal perlu diuji, diverifikasi, dan bahkan diulang prosesnya sehingga dapat menjadi acuan atas masalah serupa di waktu berbeda.
Mirip dengan kemampuan berpikir analitis, kemampuan berpikir kreatif juga menekankan langkah berpikir secara konseptual hingga abstraksi. Kemudian, konsep dan abstraksi itu dapat diperas menjadi ide-ide yang berlaku sebagai solusi atas masalah atau inovasi berkelanjutan. Kedua kemampuan ini tidak identik melekat pada seseorang yang memiliki gelar akademik tinggi atau lulusan universitas ternama. Hanya, pendidikan menjadi salah satu faktor penting yang dapat melatih kedua kecakapan tersebut.
Konteks Indonesia
WEF juga memberikan analisis dan rekomendasi kepada Indonesia terkait pekerjaan serta gambaran rekrutmen perusahaan saat ini. Dalam laporannya, Indonesia masuk dalam kategori negara berkembang yang masih berupaya mengadopsi penerapan AI dan mengembangkan sistem teknologi konektivitas internet (internet of things). Jika dibandingkan dengan negara maju, jelas terlihat terlambat karena arah pembuatan AI dan komputasi kuantum dalam era Revolusi Kuantum Kedua.
Tidak heran, jenis pekerjaan di Indonesia yang saat ini menjadi rujukan masih diisi oleh para ahli teknologi informatika. Sebut saja spesialis AI dan mesin pembelajaran (machine learning), analis data, serta pengembangan bisnis berkelanjutan yang mengandalkan teknologi internet. Namun, untuk jenis pekerjaan yang bersifat administratif (entri data, sekretaris, kasir, dan sebagainya), polanya sama seperti pasar tenaga kerja global yang terus menunjukkan penurunan jumlah (pengurangan dari perusahaan).
Dengan menimbang arah perusahaan besar di Indonesia saat ini, WEF memberikan rekomendasi yang tidak jauh dengan pasar tenaga kerja internasional. WEF menilai bahwa dari delapan kecakapan yang dibutuhkan, setidaknya bidang keterampilan kognitif, efikasi diri, dan keterampilan teknologi menjadi tiga kecakapan utama yang sangat diperlukan oleh tenaga kerja di Indonesia. Dengan kata lain, tiga kecakapan inilah yang perlu diperhatikan bagi mereka yang kini sedang dalam tahap melamar pekerjaan atau menimbang untuk berpindah tempat bekerja.
Selain itu, WEF juga menyarankan agar perusahaan juga aktif terlibat dalam mengembangkan kecakapan bagi para pekerjanya. Dalam 10 daftar fokus kemampuan yang perlu dikembangkan oleh pekerja, tiga prioritas utamanya diisi oleh kemampuan berpikir kreatif, AI dan big data, serta kemampuan berpikir analitis. Perusahaan dapat mengembangkan kemampuan pekerjanya dengan berbagai pelatihan, studi lanjut, atau kursus yang berkaitan dengan kemampuan tersebut.
Menurut WEF, selain terus mengaplikasikan teknologi yang mutakhir, perusahaan juga perlu berinvestasi mengembangkan sumber daya manusia dalam jangka panjang. Hal ini diperlukan agar para pekerja tidak gagap dalam menerapkan teknologi dan adaptif terhadap sistem kerja yang akan terus dinamis.
Menariknya, WEF tidak begitu menyorot kemampuan bersosialisasi dan etiket dalam bekerja karena bisnis global ke depan makin mengarah pada hal yang bersifat taktis berkat teknologi. Misalnya, rapat makin ringkas dengan perantara internet, efisiensi biaya perjalanan, dan tidak mewajibkan kehadiran seratus persen di kantor. Namun, pada praktiknya saat ini di Indonesia, banyak perusahaan masih mengedepankan dua kemampuan tersebut dalam regenerasi di level manajerial ataupun menerapkan sistem kerja yang cenderung tidak sangkil dan mangkus.
Humanisasi pekerja
Mengacu pada laporan WEF tersebut, secara aksiologis dapat dilihat bahwa penerapan teknologi baru dalam sistem kerja perusahaan dan industri, cepat atau lambat, akan terjadi. Teknologi AI berjalan seturut keilmuannya di bidang sains dan membutuhkan investasi yang relatif tidak sedikit. Maksudnya, penerapan dan pengembangan AI akan berjalan cepat karena disokong kekuatan ekonomi industri dan berlaku pula sebaliknya.
Bagi para pekerja, AI bisa menjadi ancaman yang dapat merebut posisi pekerjaannya. Di sisi lain, AI juga berpeluang dapat membantu dan mempermudah pekerjaan teknis yang memakan waktu pengerjaan lama sehingga berpotensi membuka lapangan usaha baru. Dari sini terlihat bahwa diterapkan atau tidaknya AI di perusahaan pada akhirnya semua kembali pada sumber daya manusia yang memiliki kendali atas sarana teknologi yang mereka gunakan.
Meskipun teknologi terlihat memberi ancaman bagi keberlangsungan sejumlah profesi di masa depan, tetap saja ada sejumlah kemampuan nonteknis yang tidak mampu diakuisisi oleh teknologi mutakhir sekalipun. Artinya, faktor sumber daya manusia di balik teknologi tetaplah yang terpenting karena manusialah yang menciptakan, mengembangkan, dan menjalankan teknologi canggih itu.
Teknologi AI ataupun pembelajaran mesin tidak serta-merta mereduksi eksistensi para pekerja. Justru kehadirannya menantang para pekerja untuk terus mengembangkan potensi dirinya agar tidak lekas puas dengan capaian prestisius yang identik dengan posisi jabatannya. Dengan pengembangan kemampuan secara optimal, para pekerja tetap berjalan dalam proses humanisasi di era serba teknologi. (LITBANG KOMPAS)