Terus Mengupayakan Perdamaian bagi Rusia dan Ukraina
Upaya perundingan dan perdamaian antara Rusia dan Ukraina harus terus digalakkan demi menciptakan kondusivitas situasi sosial, ekonomi, dan politik dunia.
Upaya Menteri Pertahanan Prabowo Subiato yang mengusulkan proposal perdamaian bagi konflik Rusia-Ukraina pada awal Mei ini patut diapresiasi. Meskipun usulan yang disampaikan itu mendapat banyak penolakan, setidaknya hal tersebut merepresentasikan bahwa bangsa Indonesia lebih mengedepankan perundingan dan perdamaian daripada pertikaian.
Selain terkait dengan urusan kemanusiaan, invasi Rusia ke Ukraina itu harus segera didamaikan karena berimbas serius bagi perekonomian global. Semakin lama perang berlarut, maka gejolak situasi global menjadi sangat tidak menentu. Ukraina yang mendapat dukungan dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) membuat berbagai kebijakan politik internasional NATO yang dapat berimbas serius bagi situasi perekonomian global.
Invasi Rusia ke Ukraina yang berlangsung sejak 24 Februari 2022 itu menimbulkan sejumlah tekanan perekonomian global yang dipicu oleh politik internasional masing-masing pihak yang berkonflik. NATO sebagai pendukung Ukraina menyatakan melakukan sejumlah embargo ekonomi terhadap Rusia. Negara-negara Uni Eropa yang sebagian besar tergabung dalam NATO menyatakan menolak produk-produk komoditas dari Rusia. Pun demikian Rusia membalas dengan mengurangi dan memutuskan suplai ekspor energi yang menjadi kebutuhan penting bagi Uni Eropa. Eskalasi kebijakan embargo itu terus meningkat proporsinya dan pada 2023 ini embargo ekonomi terhadap Rusia diberlakukan secara maksimal oleh negara-negara Eropa.
Tujuan dari embargo itu adalah menurunkan produktivitas perekonomian Rusia sehingga negara ”Beruang Merah” itu mau bernegosisasi dan menghentikan invasinya di Ukraina. Sayangnya, meskipun perekonomian Rusia terimbas dan menurun signifikan, negara berkekuatan militer terkuat kedua di dunia ini tetap tidak menghentikan invasinya ke Ukraina. Bahkan, Rusia tampaknya terus beradaptasi dengan situasi sulit ini dengan terus mendorong kemajuan ekonominya dengan mencari pangsa pasar baru bagi komoditas unggulannya. Terutama produk-produk energi dan pertambangan yang menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Rusia.
Baca juga: Energi Fosil Mendorong Ketidakpastian Ekonomi
Mencari negara pembeli komoditas unggulan tersebut sangat penting karena sekitar 40 persen produk ekspor Rusia itu sebelumnya ditujukan pada negara-negara kawasan Eropa. Dengan adanya politik embargo, maka sekitar 40 persen komoditas menjadi tidak ”bertuan” dan over supply bagi Rusia. Hal itu mendorong Rusia harus segera mengalihkan komoditas tersebut kepada pembeli-pembeli baru di luar Uni Eropa. Sayangnya, langkah ini juga tidaklah mudah karena sejumlah negara lain juga takut membeli produk energi yang relatif murah dari Rusia. Meskipun disertai diskon besar sekalipun di bawah harga rata-rata pasar internasional, pembeli produk energi dari Rusia tetap waswas. Pasalnya, takut dinilai negara-negara kuat (NATO dan sekutunya) turut mendukung invasi militer Rusia ke Ukraina sehingga dapat memengaruhi kebijakan internasional negara bersangkutan.
Imbas perang
Salah satu komoditas yang berimbas signifikan dari invasi Rusia ke Ukraina adalah meroketnya harga minyak bumi dan produk turunannya. Sebelum terjadi perang, harga minyak bumi di pasaran global sekitar 90 dollar AS per barel, tetapi begitu perang terjadi langsung melonjak di atas 100 dollar AS per barel dan bertahan pada durasi waktu yang cukup lama. Pada awal Maret 2022 sempat mencapai harga tertinggi lebih dari 120 dollar AS/ per barel. Sepanjang 2022, harga minyak dunia relatif stabil tinggi di atas 100 dollar AS per barel. Sempat turun tajam pada September 2022 hingga di bawah 90 dollar AS, tetapi langsung meningkat lagi cukup signifikan. Harga kembali mulai menurun pada akhir tahun 2022 dan bertahan cukup lama hingga di bawah 80 dollar AS sampai sekarang.
Gejolak harga minyak dunia itu berimbas serius bagi perekonomian global karena turut memengaruhi kenaikan harga-harga secara umum. Komoditas ekspor harganya melonjak karena terjadi kenaikan harga distribusi barang dan jasa yang dipicu kenaikan harga energi dunia. Kenaikan harga itu membuat harga-harga secara umum menjadi lebih mahal sehingga memicu kenaikan inflasi di sejumlah negara. Inflasi yang besar umumnya terjadi pada negara-negara yang memiliki ketergantungan impor energi yang besar dari asing.
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki ketergantungan impor energi minyak yang sangat besar hingga lebih dari 50 persen membuat alokasi anggaran subsidi pemerintah menjadi sangat berat. Dengan harga Indonesia Crude Price (ICP) yang dipatok pada APBN 2022 sebesar 63 dollar AS per barel membuat pemerintah harus realokasi anggaran lagi guna menyuplai permintaan bahan bakar minyak (BBM) di pasaran domestik. Akibatnya, pada September 2022 pemerintah akhinya menaikkan sejumlah komoditas BBM bersubsidi menjadi lebih mahal guna mengurangi beban subsidi yang sangat besar karena mahalnya harga minyak dunia.
Tentu saja kenaikan harga minyak dunia itu turut berimbas pada sejumlah komoditas impor lainnya di Indonesia. Sejumlah bahan pangan, seperti tepung terigu, gula, jagung, dan kedelai yang mayoritas disuplai dari asing turun mengalami kenaikan harga karena meningkatnya ongkos pengiriman dari negara pengekspor.
Kenaikan harga-harga itu pada akhirnya mendorong terjadinya inflasi lebih tinggi dan berimbas pada daya beli masyarakat yang menurun. Dampak akhirnya dapat berupa laju pertumbuhan ekonomi nasional yang tersendat dan tidak meningkat seperti yang diperkirakan sebelumnya.
Baca juga: Bersiap Menghadapi Lonjakan Inflasi dan Penurunan Laju Ekonomi
Namun, secara umum, dampak global dari invasi Rusia ke Ukraina tersebut bagi Indonesia relatif tidak terlalu berat. Menurut proyeksi IMF, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2023 ini masih berkisar 5 persen, tidak jauh dari posisi tahun 2022. Ini berbeda jauh dengan negara-negara di kawasan Eropa yang pertumbuhan ekonominya susut secara drastis. Misalnya saja Italia, Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, dan Jerman yang rata-rata pertumbuhan ekonominya susut cukup signifikan dibandingkan dengan 2021. Bahkan, pada 2023 ini diperkirakan pertumbuhan ekonominya masih dalam fase sangat rendah, yakni rata-rata di bawah 1 persen. Sebagian di antaranya, seperti Jerman dan Italia, diperkirakan akan mengalami pertumbuhan negatif pada akhir tahun ini.
Rendahnya kemajuan ekonomi Eropa itu seiring dengan anjloknya pertumbuhan ekonomi di Rusia. Politik embargo yang diterapkan Uni Eropa pada Rusia berimbas pada tren pertumbuhan negatif pada negara terluas di dunia itu. Pada 2022, Rusia mengalami defisit pertumbuhan hingga minus 3,4 persen. Kondisi itu diperkirakan masih berlangsung hingga sekarang dan diproyeksikan pertumbuhan ekonominya masih suram, yakni negatif 2,3 persen pada akhir tahun ini.
Belum membaiknya kondisi perekonomian blok Eropa dan juga Rusia itu menunjukkan bahwa potensi gejolak ekonomi global masih sangat besar, mengingat kedua pihak ini memiliki andil besar dalam perekonomian dunia. Eropa sebagai penghasil dan konsumen komoditas barang dan jasa unggulan serta Rusia sebagai salah satu produsen energi terbesar di dunia. Akibatnya, turbulensi perekonomian yang terjadi di kedua pihak tersebut berpotensi mendorong situasi dunia yang serba tidak pasti dan penuh gejolak. Hal ini tentu saja membuat posisi sejumlah negara, terutama yang miskin, negara berkembang, dan negara-negara importir sangat rentan terimbas efek negatif dari gejolak global itu.
Upaya damai
Ketidakpastian global tersebut akan mereda seiring dengan hadirnya perdamaian dan pulihnya hubungan ekonomi kawasan Eropa dan juga Rusia. Oleh karena itu, upaya perundingan dan perdamaian harus terus digalakkan demi menciptakan kondusivitas situasi sosial, ekonomi, dan politik dunia.
Ada sejumlah cara yang dapat ditempuh untuk mendorong perdamaian itu. Indonesia sebagai salah satu negara yang berhaluan nonblok dapat berperan dalam proses tersebut. Hadirnya Presiden Joko Widodo untuk menemui Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Ukraina dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Rusia pada akhir Juni 2022 merupakan langkah nyata untuk mendorong kerja sama bilateral dan juga simbol untuk perdamaian. Pun demikian dengan upaya Menteri Pertahanan Prabowo Subiato yang mengusulkan proposal perdamaian bagi Rusia-Ukraina pada awal Mei ini menjadi salah satu bentuk kepedulian yang perlu dipertimbangkan bagi kedua belah pihak.
Baca juga: OPEC Memainkan Peran Kekuatan Geopolitik Energi Dunia
Memang untuk mendorong perdamaian bagi kedua belah pihak itu tidaklah mudah. Apalagi, konflik tersebut telah melibatkan kekuatan geopolitik dunia yang sangat kuat, yakni NATO dan juga negara-negara di kawasan Eropa. Oleh karena itu, perlu kerja sama dengan negara-negara lainnya guna mendorong upaya perdamaian yang memiliki kekuatan besar ”setara”. Misalnya, menggandeng sebagian negara-negara G20 untuk berperan aktif mendorong perdamaian Rusia-Ukraina. Selain itu, dapat pula menggandeng negara-negara Timur Tengah atau GCC (negara-negara Teluk) yang memiliki sumber daya minyak berlimpah. Negara-negara Timur Tengah ini dapat mendorong negara-negara eksportir minyak (OPEC) untuk terlibat dalam upaya perdamaian tersebut.
OPEC dan Timur Tengah sangat penting dalam upaya itu karena di saat bersamaan negara-negara Eropa juga meminta OPEC untuk meningkatkan produksi minyak buminya guna menyuplai kawasan Eropa yang defisit energi. Dengan demikian, komoditas minyak dari kawasan Timur Tengah dan OPEC memiliki kekuatan soft diplomacy dalam konteks perdamaian itu.
Langkah lainnya juga dapat ditempuh dengan menggandeng negara kuat seperti halnya China untuk mendorong perdamaian. China sebagai negara yang kuat dalam hal perekonomian dan juga persenjataan dapat sebagai penyeimbang pengaruh Amerika Serikat (AS) di ranah global. Dengan ikatan ekonomi yang kuat antara China dan Rusia serta tingginya ketergantungan ekonomi AS terhadap China membuat posisi negeri ”Tirai Bambu” ini menjadi sangat sentral dalam mendorong perdamaian. Terutama mendorong AS sebagai pemimpin aliansi Barat dan NATO untuk menurunkan tensi ketegangan dan juga mendorong Rusia untuk membuka ruang perundingan damai.
Memang, tidak mudah mendorong upaya perdamaian tersebut. Apalagi, melibatkan sejumlah negara-negara besar dan makmur yang memiliki kepentingan masing-masing. Meskipun demikian, upaya ini tetap harus ditempuh guna mendorong stabilitas global dan kondusifnya situasi sosial-ekonomi dunia. Dengan terciptanya perdamaian dunia maka masyarakat global segera fokus menghadapi musuh besar yang dihadapi seluruh bangsa, yakni pemanasan global yang mengancam keberlangsungan umat manusia di masa depan. (LITBANG KOMPAS)