Hampir 40 persen wilayah perkotaan di Indonesia masuk kategori wilayah dengan tingkat risiko tinggi bencana alam. Kota-kota tersebut dikepung berbagai bencana, mulai dari hidrometeorologi hingga geologi.
Oleh
YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Tingginya risiko bencana kota-kota di Indonesia tecermin dari dua hal, yaitu masifnya frekuensi bencana dan indeks risiko bencana. Dari aspek frekuensi bencana, selama satu dekade terakhir, total bencana alam yang melanda Indonesia mencapai 30.771 kejadian. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, tidak ada satu daerah pun di Indonesia yang bebas bencana.
Ini artinya, hampir setiap tahun terjadi lebih dari 2.700 bencana selama periode 2012-2022. Catatan bencana terbesar terjadi pada tahun 2020 yang mencapai 5.003 kejadian. Dalam sepuluh tahun terakhir, kejadian bencana alam mengalami tren kenaikan dengan rata-rata peningkatan hingga 6 persen. Dari ribuan bencana tersebut, ada sejumlah kejadian yang parah dan menyebabkan banyak korban jiwa dan kerugian ekonomi.
Salah satu bencana terparah terjadi tahun 2018 yang menyebabkan kematian hingga 5.000 jiwa. Saat itu terjadi tsunami di area pesisir Lampung dan Banten, disusul gempa, tsunami, likuefaksi di kota Palu dan sekitarnya, hingga gempa bumi beruntun di Lombok. Kejadian di Palu dan Lombok saja telah menewaskan lebih dari 1.500 jiwa dengan total kerugian sedikitnya Rp 41 triliun akibat kerusakan rumah dan bangunan.
Ribuan kejadian bencana tersebut menggambarkan besarnya ancaman bencana di Indonesia. Risiko makin besar apabila terjadi bencana di wilayah perkotaan yang menjadi konsentrasi penduduk dan pembangunan infrastruktur.
Melalui Indeks Risiko Bencana Indonesia oleh BNPB, terlihat bahwa semua ibu kota provinsi memiliki risiko bencana alam sedang hingga tinggi. Dari 34 ibu kota provinsi, 76,5 persen masuk kategori berisiko sedang, sementara sisanya memiliki risiko tinggi.
Dari pemetaan ini, ada sedikitnya 26,5 juta penduduk yang hidup di bawah bayang-bayang bencana. Dari 34 ibu kota provinsi, ada delapan kota yang memiliki risiko bencana tinggi, yaitu Banda Aceh, Padang, Bulungan, Mamuju, Sofifi, Serang, Palu, dan Manokwari.
Apabila diekstrapolasi ke wilayah setingkat kabupaten/kota lainnya, maka polanya serupa. Sebanyak 60 persen wilayah berkategori risiko sedang, sisanya 40 persen masuk kategori risiko tinggi bencana alam. Hal tersebut menegaskan bahwa tidak ada satupun wilayah di Indonesia yang bebas dari ancaman bencana.
Sejumlah kota berada di jalur sesar yang merupakan sumber gempa, seperti Bandung, Yogyakarta, Palu, dan Bengkulu. Kota lainnya tumbuh di daerah rawan bencana kepesisiran banjir rob, seperti Semarang dan Jakarta. Ada pula kota yang dekat dengan zona rawan kebakaran hutan dan lahan, seperti Jambi, Pekanbaru, Pontianak, dan Banjarmasin.
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan risiko bencana di perkotaan Indonesia sangat tinggi. Pertama, konsentrasi penduduk yang diiringi pembangunan infrastruktur berisiko menimbulkan korban jiwa serta kerugian finansial tak sedikit. Apalagi, BPS memproyeksikan penduduk perkotaan akan meningkat hingga 73 persen pada 2045.
Kedua, risiko bencana tak lepas dari sumber-sumber penyebab munculnya bencana. Secara regional, Indonesia memiliki kerentanan bencana hidrometeorologi dan geologi yang sangat besar. Posisi geografis yang ada di khatulistiwa dan diapit dua benua serta dua samudera menyebabkan kondisi cuaca dan iklim terbilang dinamis. Banyak anomali cuaca yang terjadi dan memicu munculnya bencana, seperti banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, serta kebakaran hutan dan lahan.
Sementara secara geologi, Indonesia berada di jalur cincin api dunia. Bagian selatan terbentuk zona subduksi besar antara lempeng Indo-Australia dengan Eurasia. Sementara bagian utara juga menunjam lempeng Filipina dan Pasifik. Akibatnya, ada 13 zona megathrust dengan amplitudo gempa yang sangat besar hingga skala M 9,0.
Tidak hanya gempa, zona megathrust turut memicu terjadinya gelombang tsunami dengan daya rusak dahsyat. Sebaran zona tersebut adalah Aceh-Andaman, Nias-Simeulue, Batu, Mentawai-Siberut, Mentawai-Pagai, Enggano, Selat Sunda, barat-tengah Jawa, Timur Jawa, Sumba, utara Sulawesi, Filipina, dan Papua.
Selain mengurangi dampak bencana, kota yang memiliki daya resiliensi tinggi mampu menekan kerugian finansial yang diakibatkan bencana alam. Kemenkeu mencatat setiap tahunnya kerugian negara karena bencana mencapai Rp 22,85 triliun selama 15 tahun terakhir.
Daya pulih kota
Besarnya risiko bencana yang mengintai wilayah Indonesia menuntut kesiapan kota-kota dalam menghadapi bencana serta mampu pulih dengan cepat. Salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah mewujudkan kota-kota dengan tingkat resiliensi tinggi atau tangguh dan memiliki daya pulih cepat.
Menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction, resiliensi merupakan kemampuan suatu sistem, komunitas, atau masyarakat yang terpapar bahaya untuk menghadapi dan pulih dari dampak bahaya secara tepat waktu serta efisien.
Di sisi lain, konsep kota tangguh bencana menekankan pada penyelenggaraan ruang perkotaan yang dapat bertahan dan beradaptasi dalam segala gangguan atau tekanan, khususnya bencana. Empat pilar utama mewujudkan resiliensi kota adalah kesehatan dan kesejahteraan, ekonomi dan komunitas, infrastruktur dan lingkungan, serta kepemimpinan dan strategi.
Salah satu kota di Indonesia yang telah menerapkan konsep resiliensi adalah Kota Semarang, Jawa Tengah. Tidak hanya Semarang, dalam program Making Cities Resilient 2030 (MCR 2030), ada sedikitnya 50 kota yang telah dinilai. Contohnya tahun 2019 ada di Kota Kediri, Kabupaten Lumajang, dan Kota Ambon. Sedangkan tahun 2020 di Kota Samarinda dan Kabupaten Badung. MCR 2030 merupakan program internasional dari PBB dan telah diikuti 4.300 kota di seluruh dunia.
Membangun kota yang tangguh bencana tidak mustahil. Sebuah penelitian tahun 2014 oleh Ratih Dyah Kusumawati dan kawan-kawan di Kabupaten Cilacap dan Kota Padang menunjukkan kedua wilayah tersebut memiliki resiliensi cukup tinggi. Namun, implementasi mitigasi bencana dan mempersingkat periode pemulihan masih menjadi catatan tersendiri.
Selain mengurangi dampak bencana, kota yang memiliki daya resiliensi tinggi mampu menekan kerugian finansial yang diakibatkan bencana alam. Selama ini bencana alam menjadi salah satu sumber risiko fiskal bagi perekonomian nasional atau APBN. Kemenkeu mencatat setiap tahunnya kerugian negara karena bencana mencapai Rp 22,85 triliun selama 15 tahun terakhir.
Penanggulangan bencana
Konsep resiliensi wilayah perkotaan telah dikembangkan secara komprehensif. Sejumlah kota di Indonesia telah berusaha mengimplementasikan konsep tersebut. Namun untuk menjamin keberhasilan pembangunan kota tangguh bencana, dibutuhkan kolaborasi dan komitmen sejumlah pihak dimulai dari pemerintah daerah.
Pembangunan kota yang memiliki resiliensi tinggi terhadap bencana selaras dengan aktualisasi konsep mitigasi bencana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, tiga poin mitigasi bencana adalah penataan ruang berdasarkan analisis risiko bencana, pembangunan infrastruktur tangguh bencana, dan penyelenggaraan edukasi konvensional serta modern.
Berbagai upaya untuk menciptakan kota yang tangguh bencana selayaknya menjadi urgensi secara nasional. Hal tersebut dilatarbelakangi tren peningkatan kejadian bencana dari tahun ke tahun yang makin mengancam keselamatan warga dan berpotensi menimbulkan kerugian finansial serta infrastruktur secara masif.