Faktor Cawapres dalam Peta Koalisi Partai
Penentuan sosok calon wakil presiden menjadi perkara yang tak mudah, bahkan sangat mungkin mengubah peta politik yang sudah ada.
Di luar tujuan pemenangan, sosok calon wakil presiden potensial yang diusung dalam sebuah koalisi selayaknya dapat memberikan efek positif bagi perluasan dukungan hingga kian memperteguh soliditas koalisi partai. Dalam hal ini, penentuan posisi ”sang wakil” pun menjadi perkara yang tak mudah, bahkan sangat mungkin mengubah peta politik yang sudah ada.
Terus menguatnya figur calon presiden (capres) potensial yang telah dideklarasikan secara terbuka oleh partai-partai pengusungnya juga membuka pertanyaan besar pada siapa sosok calon wakil presiden (cawapres) yang tepat untuk mendampingi. Kini tiga nama papan atas bakal capres masih berdiri tanpa wakil di tengah manuver politik yang begitu dinamis berjalan.
Kehadiran figur cawapres sejatinya memang akan melengkapi berbagai hal untuk melebur menjadi sebuah pasangan capres-cawapres yang ideal. Sosok cawapres akan menggenapi kekosongan yang melekat pada figur presiden, termasuk dalam hal perluasan dukungan untuk menyasar segmen-segmen pasar pemilih yang lebih besar.
Sama halnya pada pengusungan capres, dalam hal menentukan figur wakil ini setiap partai politik pun memiliki tujuan yang sama untuk mendulang keuntungan efek elektoral.
Kehadiran figur cawapres sejatinya memang akan melengkapi berbagai hal untuk melebur menjadi sebuah pasangan capres-cawapres yang ideal.
Selain itu, dalam konteks pengusungan yang didasarkan pada kesepakatan dalam sebuah wadah koalisi, tentulah sosok cawapres yang mendapatkan tiket pun sudah semestinya dapat semakin membangun soliditas koalisi.
Kepentingan dan tujuan yang kompleks itu menjadikan ada banyak pertimbangan dan partai-partai tampak cukup berhati-hati dalam berkalkulasi.
Saat ini, sekalipun bursa pencalonan terus diramaikan dengan sosok bakal capres unggulan, yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, yang telah dideklarasikan dan didukung secara terbuka, hal itu bukan berarti menjadi sebuah konfigurasi yang final.
Seperti diketahui, berbagai manuver politik yang terus berjalan dan dilakukan oleh elite-elite partai maupun figur potensial lainnya tentu akan sangat memungkinkan untuk membuat sebuah keputusan baru yang dapat mengubah peta politik eksisting. Kedinamisan ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor kuat untuk menghadirkan sosok cawapres yang tepat untuk diusung oleh partai.
Baca juga : Perburuan Cawapres Semakin Signifikan
Kesepakatan koalisi
Bagaimanapun, pengusungan kandidat oleh partai politik dalam gelanggang pemilihan presiden berupa pasangan calon presiden beserta wakilnya. Itu artinya, pengusungan pasangan calon itu telah menjadi kesepakatan bersama dalam sebuah koalisi, baik pada figur capres maupun cawapresnya.
Kesepakatan dalam koalisi ini yang tentu tidak mudah untuk dicapai. Tidak dimungkiri, dengan kepentingan untuk mendapat efek elektoral dari pengusungan di pilpres, partai-partai tentu berlomba untuk bisa memajukan sosok capres atau cawapres yang berlatar politik dari partainya.
Bagi partai politik, dapat memanggungkan kader partainya maju sebagai kandidat capres ataupun cawapres menjadi suatu keberhasilan tersendiri.
Terlepas nantinya kandidat akan kalah atau menang dalam pilpres, tetapi setidaknya kondisi itu sontak akan membuat efek kejut bagi popularitas sampai dengan keuntungan dukungan suara yang didapatkan.
Konfigurasi koalisi yang pastinya akan diisi oleh beberapa partai politik tentu akan mendapati perdebatan yang alot untuk bisa memformulasikan pasangan kandidat. Hal ini wajar terjadi, terlebih jika koalisi diisi oleh lebih dari dua partai politik.
Dalam konteks Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), misalnya, yang sudah mendeklarasikan dan sepakat untuk mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres, hingga saat ini figur pendamping untuk seorang Anies belum juga ditentukan.
Meskipun dalam berbagai kesempatan, partai-partai yang tergabung dalam KPP, yaitu Nasdem, PKS, dan Demokrat, terus menegaskan bahwa sejak awal berkomitmen untuk menyerahkan keputusan bakal cawapres langsung kepada Anies, PKS dan Demokrat masih berupaya untuk dapat memperoleh kesempatan sebagai sang wakil itu.
PKS, misalnya, telah merekomendasikan lima nama yang berasal dari kader-kader terbaiknya untuk dapat dipilih Anies sebagai wakil yang mendampinginya. Begitu pula Demokrat, yang terus mengunggulkan ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), untuk menjadi bakal cawapres yang maju bersama Anies.
Hal yang sama terbaca dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang juga tak kunjung mendeklarasikan dukungan bersama pada figur yang menjadi bakal capres ataupun bakal cawapres.
Belakangan bahkan PPP, salah satu anggota koalisi, justru memiliki sikap terpisah untuk turut berada sebarisan dengan PDI-P yang mendukung Ganjar Pranowo sebagai bakal capres. Bahkan, untuk formasi koalisi yang berasal dari dua partai pun kesepakatan itu tidak serta-merta bisa dicapai.
Dinamika yang sama terjadi pada Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) yang dimotori oleh Gerindra dan PKB. Kedua partai ini sebetulnya telah bersepakat untuk mendukung Prabowo kembali maju dalam gelanggang pemilihan.
Bertalian dengan itu, kesepakatan untuk menjadikan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai sosok yang akan menjadi wakil Prabowo semestinya dapat dilakukan. Namun, keputusan tersebut nyatanya belum final dan masih berjalan dengan berbagai kemungkinan lain.
Baca juga : Survei Litbang “Kompas”: Cawapres Menjadi Penentu
Manuver politik
Tujuan utama partai-partai dalam membentuk penggabungan kekuatan politik dalam wadah koalisi salah satunya untuk dapat mengusung kandidat yang maju dalam pilpres.
Namun, kedinamisan sikap yang ditunjukkan partai-partai, sekalipun telah menjadi bagian dari koalisi, telah menguatkan narasi bahwa masih terbuka banyak kemungkinan perubahan peta koalisi.
Di tengah pertanyaan besar pada komitmen soliditas koalisi partai itu, figur-figur capres yang telah muncul dan bahkan dideklarasikan pun masih berada dalam kondisi ketidakpastian.
Berbagai manuver politik yang gencar dilakukan dalam rangka menemukan kesepakatan pada pengusungan pasangan kandidat pun sangat dimungkinkan untuk mengubah lanskap politik.
Partai-partai tentu akan mengejar peluang besar yang lebih baik dan menguntungkan untuk menghadapi pemilu. Kepentingan itu pun tentu terkalkulasi hingga pada pascapemilu kelak sehingga koalisi yang dibangun benar-benar akan mendatangkan keuntungan, bukan hanya pemenangan.
Kini, manuver-manuver yang ditunjukkan para elite partai pun makin masif terlihat. Bahkan, partai-partai politik yang notabene telah tergabung dalam koalisi tak segan saling bertemu melakukan lobi untuk menemukan alternatif yang lebih menguntungkan dan tentu dapat disepakati dalam sebuah koalisi yang mengusung kandidat pilpres.
Berbagai langkah strategis tidak hanya ditunjukkan oleh para petinggi partai, tetapi juga figur-figur potensial yang bergerak bukan lagi pada garis partai, seperti Sandiaga Uno, yang seperti diketahui telah resmi mengundurkan diri dari Gerindra pada 23 April 2023.
Keputusan Sandi itu berlanjut dengan dirinya yang bergabung dengan PPP dan didukung untuk maju menjadi bakal cawapres Ganjar. Namun, belakangan, oleh sebagian pihak, endorse politik yang coba diupayakan itu gagal seiring dengan berbaliknya sikap Sandi untuk mendekati PKS, yang notabene mengusung Anies.
Langkah politik lainnya pun terbaca dari figur Erick Thohir yang juga digadang cukup potensial untuk maju menjadi cawapres. Erick tampak getol mendekati partai yang perlu mendukungnya maju sebagai salah satu kandidat di pilpres mendatang, salah satunya PAN yang dalam sejumlah kesempatan menyatakan dukungannya kepada sosok Menteri BUMN itu untuk maju sebagai cawapres Ganjar.
Pada akhirnya, segenap kedinamisan yang terlihat sejauh ini pada peta politik memang masih membuka lebar berbagai kemungkinan. Ini tentu juga menjadi hal yang lumrah di saat partai-partai maupun kandidat perlu mencari peluang yang dianggap paling menguntungkan dan dapat disepakati dalam sebuah wadah koalisi.
Kedinamisan ini selayaknya pula dapat menemukan alternatif keputusan yang dapat memecah kebuntuan politik untuk menghadapi pemilu yang terus berkejaran dengan waktu. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Survei Litbang ”Kompas”: Keterpilihan Sosok Cawapres Kian Kompetitif