Mayoritas publik mendukung jika buruh menyuarakan aspirasinya dengan turun ke jalan. Namun, dalam perjuangan menuntut dibatalkannya Undang-Undang Cipta Kerja, publik menganggap upaya dengan unjuk rasa saja tak cukup.
Oleh
GIANIE/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Hampir setiap ada isu ketenagakerjaan yang dianggap merugikan, buruh langsung turun ke jalan. Aksi demonstrasi dengan turun ke jalan dianggap efektif untuk memperjuangkan nasib yang sulit diwujudkan hanya melalui pembahasan atau lobi-lobi di ruang tertutup. Pada peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 1 Mei lalu, aksi besar-besaran berlangsung di Jakarta dan sejumlah daerah lain menyuarakan tuntutan kesejahteraan, termasuk menuntut agar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dibatalkan.
Hingga saat ini, buruh di Indonesia masih berkutat soal kesejahteraan. Tak heran, dilihat dari indikator rata-rata upah minimum saja, besarannya masih rendah, yakni di bawah Rp 3 juta per bulan. Tidak sampai separuh dari total provinsi di Indonesia yang upah minimumnya di atas Rp 3 juta per bulan. Di beberapa provinsi, upah minimumnya bahkan di bawah Rp 2 juta per bulan, seperti Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah.
Kenaikan upah sering kali tidak sesuai dengan harapan buruh. Untuk upah minimum tahun 2023, misalnya, kenaikan atau penyesuaian upah minimum tidak boleh melebihi 10 persen. Hal itu tertuang dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022. Publik pun menilai kesejahteraan buruh masih buruk. Hasil jajak pendapat Kompas awal April 2023 memotret hal tersebut. Sebanyak 39,6 persen responden menyatakan kesejahteraan buruh saat ini masih buruk dan 24,6 persen bahkan menyatakan semakin buruk. Hanya 20,7 persen responden yang menyatakan kesejahteraan buruh sudah baik dan 12 persen lainnya menyatakan semakin baik.
Perhatian pemerintah terhadap nasib atau kesejahteraan buruh dianggap masih belum memadai. Hal itu disampaikan 75,8 persen responden. Oleh sebab itu, publik cenderung setuju jika buruh menyuarakan aspirasinya dengan aksi turun ke jalan (74,8 persen). Responden laki-laki (80,6 persen) lebih banyak yang menyetujui aksi turun ke jalan buruh dibandingkan dengan responden perempuan (69 persen).
Jika dilihat berdasarkan status sosial ekonomi, kelompok responden yang lebih permisif terhadap aksi buruh turun ke jalan lebih banyak berasal dari kelompok menengah-bawah (79,4 persen) ketimbang responden menengah-atas (70,2 persen) dan kelompok atas (68 persen). Hal ini bisa dipahami karena kelompok menengah-atas dan atas kesejahteraannya sudah lebih mapan atau stabil.
Gerakan murni
Publik menganggap gerakan buruh dengan berdemonstrasi ini murni untuk memperjuangkan kesejahteraan. Demonstrasi merupakan cara praktis dan efektif bagi buruh untuk memengaruhi kebijakan pemerintah meski itu terkadang harus dilakukan berulang kali dan memerlukan waktu yang lama.
Salah satu tekanan dari buruh yang berhasil memengaruhi kebijakan ketenagakerjaan adalah ketika Kementerian Tenaga Kerja tahun lalu menerbitkan aturan baru mengenai syarat usia pencairan dana jaminan hari tua (JHT). Dalam aturan baru tersebut, JHT baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun (usia pensiun) atau karena pekerja meninggal (untuk ahli waris), cacat total tetap, dan berganti kewarganegaraan. Aturan itu mengubah aturan lama yang memungkinkan pekerja peserta BP Jamsostek mengklaim dana JHT satu bulan setelah mengundurkan diri dari perusahaan atau seusai mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Karena aturan baru dinilai merugikan pekerja, muncul penolakan yang diikuti demonstrasi di banyak daerah. Menyikapi perkembangan situasi itu, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Ketenagakerjaan merevisi aturan baru tersebut dan mempermudah tata cara pencairan JHT.
Setelah berhasil mempertahankan aturan yang lebih menguntungkan, buruh masih berjuang menolak UU Cipta Kerja. Sejak UU Cipta Kerja masih dibahas di parlemen, unjuk rasa buruh sudah berlangsung. Buruh menganggap UU omnibus law ini hanya memberikan karpet merah bagi investor dan mengesampingkan kepentingan buruh.
Sebanyak 42,1 persen responden jajak pendapat ini sepakat dengan buruh bahwa UU Cipta Kerja yang disahkan DPR lebih menunjukkan keberpihakan kepada pengusaha/investor ketimbang buruh/pekerja. Salah satu buktinya adalah minimnya dialog dengan pihak buruh.
Sejak ide tentang UU Cipta Kerja dilontarkan pada 20 Oktober 2019 oleh Presiden Jokowi, pembahasannya kurang dari satu tahun hingga disahkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 pada 5 Oktober 2020. UU yang prosesnya supercepat, sementara muatannya menggabungkan aturan dari 78 UU ini terus menuai penolakan dari buruh.
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021 menyatakan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. MK memberikan waktu kepada pemerintah untuk memperbaiki UU itu dalam kurun dua tahun dengan syarat melibatkan partisipasi publik secara bermakna.
Keputusan MK ini menjadi harapan baru bagi buruh agar aspirasinya diperhatikan. Namun, keputusan MK itu dijawab Presiden Jokowi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Pada 21 Maret 2023 DPR kemudian mengesahkan Perppu No 2/2022 menjadi UU No 6/2023 tentang Cipta Kerja. Buruh kembali turun ke jalan.
Perjuangan panjang
Sudah dua tahun lebih buruh memperjuangkan nasibnya dengan menolak UU Cipta Kerja. Beberapa poin penting yang menjadi tuntutan buruh adalah soal upah yang layak, hak-hak pekerja terkait pemutusan hubungan kerja, batas waktu yang tidak jelas dalam peraturan terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), serta ketentuan alih daya (outsourcing) yang dianggap merugikan. Secara ekstrem, buruh sejak awal pembahasan menuntut agar kluster ketenagakerjaan dikeluarkan dari omnibus law. Unjuk rasa menuntut pembatalan atau revisi UU Cipta Kerja tampaknya masih belum akan surut selama aspirasi buruh belum didengar. Namun, publik memandang untuk mewujudkan aspirasi tak cukup hanya dengan turun ke jalan.
Langkah utama yang dianggap paling efektif dilakukan buruh untuk memperjuangkan nasib setelah berlakunya UU Cipta Kerja adalah melakukan komunikasi tripartit yang lebih intensif (36,8 persen). Di samping juga melakukan uji materi ke MK (35,7 persen). Multi-upaya harus ditempuh karena aksi unjuk rasa semata dinilai efektif hanya oleh sebagian kecil responden (13,9 persen). Apalagi, ada 43,4 persen responden yang berpendapat gerakan buruh bisa ditunggangi kepentingan politik tertentu.