Buruh, Hari Libur, dan Perjuangan Politik
Stigma terhadap buruh tak sekadar politik, tetapi juga kultural, sehingga memarginalkan gerakan politiknya. Pemilu 2024 bisa menjadi momentum bagi buruh mengambil simpati pemilih untuk memperjuangkan kepentingannya.
Sejarah buruh di Indonesia tidak sekadar kelam secara politik, tetapi juga secara kultural buruh ditempatkan menjauh dari kehidupan masyarakat. Stigma yang dikenakan pada buruh di era Orde Baru cukup efektif untuk ”meredam” gejolak politik yang melekat dari gerakan buruh. Pemilu 2024 menjadi momentum bagi kekuatan politik buruh untuk mendapatkan simpati pemilih.
Stigma ini relatif melekat di tubuh buruh, terutama dimulai sejak era Orde Baru. Di era awal Soeharto berkuasa, buruh menjadi korban stigma dari negara. Ia kemudian dicap identik dengan gerakan komunis karena lebih banyak aktivisnya yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Maka tidak heran jika di awal-awal tahun pemerintahan Orde Baru, salah satu kebijakan Soeharto ketika itu adalah menghapus kebijakan pemerintahan Orde Lama yang memberikan panggung bagi buruh untuk memperingati Hari Buruh Internasional tiap tanggal 1 Mei.
Setidaknya hal ini terekam dari pemberitaan harian Kompas pada 20 April 1968 berjudul ”Hari Buruh 1 Mei Dihapuskan”. Di berita tersebut disebutkan, pemerintah menilai buruh identik dengan kaum komunis karena itu kebijakan menghapus hari libur yang merupakan kebijakan era Soekarno menjadi langkah strategis untuk memotong kekuasaan lama.
Di era Soekarno, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Kerja, terutama Pasal 15 Ayat 2 UU menyebutkan, ”Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja”. Kebijakan ini kemudian dihapus oleh pemerintahan Orde Baru melalui Keputusan Presiden Nomor 148 Tahun 1968 yang menetapkan 1 Mei bukan hari libur, tetapi sebagai hari biasa.
Dalam berita tersebut juga disebutkan, pemerintah melalui Kepala Urusan Mass Media SPRI Presiden (Soeharto) Dwipajana menyebutkan, Hari Buruh selalu dihubungkan dengan Marxisme/Leninisme yang sudah dilarang MPRS. Dwipajana menyebutkan, Hari Buruh hanya menguntungkan PKI yang saat itu dinilai berusaha menyusun kembali kekuatannya.
Langkah pemerintah ini kemudian mendapatkan reaksi keras dari para buruh. Di berita harian Kompas lainnya disebutkan, pada 6 Mei 1968 Dewan Pimpinan Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI) tidak menyetujui kebijakan pemerintahan Soeharto yang menghapus Hari Buruh 1 Mei sebagai hari libur nasional.
Menurut mereka, Hari Buruh 1 Mei adalah peringatan atas kemenangan satu prinsip delapan jam kerja sehari. Mereka membantah anggapan bahwa Hari Buruh ada kaitannya dengan komunisme.
Namun, langkah pemerintah sudah bulat. Maka, sejak lahirnya keputusan pemerintah ini, buruh tidak bisa lagi memperingati Hari Buruh secara ekspresif sekaligus menikmati hari libur. Selain itu, sejak keputusan pemerintah ini, keberadaan buruh pun seakan selalu diidentikkan dengan kekuatan komunisme. Buruh pun diidentikkan dengan kekuatan subversif.
Tidak heran jika kemudian kebijakan Orde Baru melalui kekuatan wacananya menjadikan kata buruh sebagai kelompok kata yang mengalami konotasi sehingga cenderung negatif. Sebagai gantinya, istilah buruh kemudian diletakkan dalam posisi yang lebih ”soft” dengan istilah pekerja.
Dalam artikelnya di harian Kompas pada 1 Mei 2006, aktivis Migran Care Wahyu Susilo menuliskan, semasa Soeharto berkuasa, aksi untuk peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif karena May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis.
Menurut Wahyu, konotasi ini jelas menggelikan, karena mayoritas negara-negara di dunia (yang sebagian besar menganut ideologi nonkomunis, bahkan juga yang menganut prinsip antikomunis), menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Labour Day dan menjadikannya sebagai hari libur nasional.
Tak pelak, fobia terhadap buruh ini lebih kental dihinggapi oleh negara di bawah pemerintahan Orde Baru. Kebijakan pemerintah ini kemudian juga diikuti dengan pergantian nama Kementerian Perburuhan dengan Departemen Tenaga Kerja.
Tidak hanya berhenti di sini. Pemerintah cenderung melakukan kontrol penuh terhadap semua gerakan buruh. Sejak dihapuskannya peringatan Hari Buruh, praktis sepanjang 30 tahun lebih Orde Baru berkuasa, tidak ada yang berani merayakan Hari Buruh atau menikmati libur yang jatuh setiap 1 Mei tersebut.
Baca juga : Hari Buruh, Tuntutan Pencabutan UU Ciptaker Bakal Kembali Disuarakan
Reformasi
Di era reformasi, konstelasi sedikit berubah dan bergeser, meskipun stigma buruh yang masih dipandang kekiri-kirian dan negatif masih saja melekat.
Bahkan, urusan mengembalikan ”hak buruh” untuk merayakan kembali Hari Buruh 1 Mei pun tidak semudah dibayangkan. Pascareformasi, untuk soal ini, pemerintah juga masih gamang untuk memberikan lampu hijau bagi buruh untuk merayakan kembali hari jadinya.
Tidak heran protes dan tuntutan mengembalikan Hari Buruh sebagai hari libur nasional selalu dikumandangkan setiap peringatan Hari Buruh 1 Mei sejak era reformasi. Pada 2001, misalnya, aspirasi buruh ini kemudian direspons positif oleh Komisi VII DPR.
Salah satunya melalui anggotannya, Jacobus Mayongpadang, yang mengimbau pengusaha memberikan kesempatan kepada para buruh merayakan 1 Mei sebagai Hari Buruh.
Namun, harapan buruh belum berhasil karena warisan stigma Orde Baru terhadap buruh masih kuat melekat sehingga lampu hijau terhadap peringatan Hari Buruh belum terbuka lebar. Meskipun demikian, setiap 1 Mei berbagai unjuk rasa sudah mulai mengemuka yang dilakukan para buruh di sejumlah daerah.
Setidaknya pada 1 Mei 2002, melalui aksi demontrasi buruh yang kembali hadir dalam peringatan Hari Buruh tetap menuntut agar Hari Buruh Sedunia 1 Mei ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Sayangnya, pemerintah saat itu masih saja belum memberikan lampu hijau kepada buruh. Bahkan, tanggapan Wakil Presiden Hamzah Haz ketika itu cenderung tidak setuju dengan dengan alasan Indonesia sudah memiliki banyak hari libur nasional.
Setelah bertahun-tahun gagal mengembalikan Hari Buruh sebagai hari libur nasional, harapan itu kemudian terbuka pada 1 Mei 2013. Saat itu pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat bertemu dengan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal menyatakan pemerintah akan memberlakukan 1 Mei sebagai hari libur nasional yang berlaku pada tahun 2014 hingga berlanjut sampai sekarang.
Baca juga : Puluhan Ribu Pekerja Bakal Unjuk Rasa Peringati Hari Buruh
Kekuatan politik
Kesuksesan kekuatan buruh mengembalikan Hari Buruh sebagai hari libur nasional tidak lepas dari mulai terbukanya iklim demokratisasi setelah gerakan Reformasi 1998. Meskipun demikian, perjuangan ini hanya sebagai awal semata karena perjuangan buruh sebagai kekuatan politik sampai hari ini masih jauh dari harapan.
Setidaknya hal ini mulai terbaca dengan munculnya buruh sebagai kekuatan politik melalui pendirian partai politik. Tidak sedikit banyak bermunculkan partai berbasiskan pada massa buruh maupun pekerja. Namun, hanya sedikit yang kemudian lolos menjadi peserta pemilu.
Sayangnya, isu perburuhan belum menjadi kekuatan yang mampu menggaet elektoral bagi partai berbasis buruh ini. Setidaknya dari sedikit partai berbasis buruh ataupun pekerja yang menjadi peserta pemilu tercatat belum secara optimal mampu meraup dukungan signifikan dari pemilih.
Sebut saja dari lima pemilu yang sudah digelar di era reformasi, hanya tiga pemilu yang mampu diikuti oleh partai politik berbasis isu dan massa buruh maupun pekerja.
Di pemilu berikutnya juga mengalami nasib serupa. Pada Pemilu 2004 tercatat hanya ada Partai Buruh Sosial Demokrat yang bisa lolos menjadi peserta pemilu. Suara yang diraih pun masih tidak jauh beda dengan Partai Buruh Nasional di Pemilu 1999. Suaranya hanya mampu meraup 0,56 persen suara nasional dan lagi-lagi gagal meraih kursi DPR RI.
Kemudian pada Pemilu 2009 muncul kembali Partai Buruh dengan raihan suara mencapai 0,25 persen dan kembali gagal melalui ambang batas parlemen sehingga tidak bisa mendapatkan kursi di DPR RI. Pemilu 2009 tercatat menjadi pemilu terakhir yang diikuti partai berbasis massa buruh, sebab di Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 tidak ada satu partai yang berbasis buruh berhasil menjadi peserta pemilu.
Baru kemudian menuju Pemilu 2024 ini kembali muncul Partai Buruh yang dinyatakan menjadi salah satu partai politik yang lolos menjadi peserta pemilu. Rekam jejak di pemilu sebelumnya yang belum memberikan hasil optimal semestinya menjadi daya lecut bagi buruh untuk mendapatkan simpati pemilih.
Pekerjaan rumah yang harus digarap adalah memberikan kesadaran kepada pemilih bahwa isu-isu perburuhan sebenarnya tidak jauh dari isu keseharian rakyat. Selamat Hari Buruh! (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Baru Ditetapkan Jadi UU, Perppu Cipta Kerja Kembali Digugat ke MK