Serangan Al-Aqsa, Krisis Politik Israel, dan Sinyal Perburukan Konflik
Di tengah situasi politik internal Israel yang karut-marut, serangan ke Masjid Al-Aqsa ini bisa jadi sinyal akan makin memburuknya situasi konflik di kawasan tersebut selama beberapa waktu ke depan.
Masjid Al-Aqsa di Jerusalem adalah salah satu situs keagamaan terpenting di dunia, suci bagi umat Muslim hingga umat Yahudi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, situs ini justru jadi titik konflik antara pasukan Israel dan warga sipil Palestina.
Masjid Al-Aqsa terletak di kota tua Jerusalem dan merupakan situs tersuci ketiga dalam Islam. Selama berabad-abad, kawasan ini telah menjadi simbol identitas agama dan budaya bagi Muslim dan Yahudi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Israel telah meningkatkan kontrolnya atas wilayah tersebut, yang menyebabkan meningkatnya ketegangan dan kekerasan.
Pemerintah Israel telah memperluas permukiman Yahudi di Jerusalem Timur, yang dilihat orang Palestina sebagai ancaman langsung terhadap kehidupan mereka di daerah tersebut. Pemerintah Israel juga telah membatasi akses Muslim ke daerah ini, yang pada akhirnya semakin meningkatkan ketegangan kedua belah pihak.
Sama dengan tahun-tahun sebelumnya, serangan terhadap Masjid Al-Aqsa pada Ramadhan 2023 saat ini oleh pasukan Israel telah mengakibatkan kecaman luas dari komunitas internasional.
Peristiwa itu bermula pada Jumat pertama Ramadhan. Ribuan jemaah berkumpul di masjid untuk shalat ketika pasukan Israel menyerbu daerah itu, menembakkan peluru karet dan gas air mata ke arah kerumunan.
Serangan itu mengakibatkan ratusan orang luka-luka, dengan banyak orang menderita karena menghirup gas air mata. Bahkan, terdapat laporan yang menyebutkan bahwa selongsong gas air mata sengaja ditembakkan ke dalam masjid yang disesaki oleh jemaat yang sedang beribadah.
Serangan itu dikecam secara luas oleh para pemimpin Muslim dan kelompok HAM, yang menyerukan diakhirinya kekerasan dan mendorong dimulai kembalinya dialog perdamaian.
Namun, Pemerintah Israel berdalih bahwa tindakannya merupakan aksi ”bela diri” akibat kekerasan yang dimulai oleh jemaah Muslim di Palestina.
Pemerintah Israel menuduh para pengunjuk rasa yang melakukan aksi di sekitar wilayah masjid melemparkan batu dan benda lain ke pasukan Israel. Sebelumnya, adanya larangan untuk beribadah di kawasan Masjid Al-Aqsa ini memicu protes dari warga Muslim Palestina.
Masjid Al-Aqsa di Jerusalem adalah salah satu situs keagamaan terpenting di dunia, suci bagi umat Muslim hingga umat Yahudi
Alasan Pemerintah Israel yang menyalahkan para demonstran Palestina ini dimentahkan oleh kelompok-kelompok HAM. Mereka menunjukkan bukti bahwa protes yang dilakukan warga Palestina berjalan damai.
Justru pasukan Israel-lah yang akhirnya membuat situasi menjadi ricuh hingga akhirnya mereka ”harus” menggunakan kekuatan untuk ”menertibkan” warga.
Baca juga: Pasca-penyerbuan Masjid Al Aqsa, Ratusan Warga Palestina Ditahan Israel
Al-Aqsa target serangan
Sebagai salah satu situs paling bersejarah bagi agama Abrahamik, Masjid Al-Aqsa ini pun menjadi target yang empuk bagi Pemerintah Israel. Penguasaan kompleks situs keagamaan ini menjadi kemenangan simbolis yang mereka butuhkan di tengah kecaman dari komunitas internasional.
Tak heran, serangan ke masjid ini telah terjadi bahkan selama lebih dari empat dekade terakhir. Pada masa Intifadah pertama (1987-1993), misalnya, kompleks Masjid Al-Aqsa ini kerap menjadi titik pertempuran antara para pejuang Palestina dan tentara Israel.
Kuatnya Masjid Al-Aqsa sebagai simbol ini juga menjadikannya tak hanya sebagai titik pertempuran secara fisik, tetapi juga secara politik. Hal ini tampak salah satunya dari peristiwa pecahnya Intifadah kedua.
Saat itu, pemberontakan warga Palestina terjadi akibat mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon mengunjungi Masjid Al-Aqsa. Tindakan ini dianggap kontroversial karena adanya larangan bagi umat Yahudi untuk datang dan beribadah di kompleks masjid tersebut.
Selama empat dekade terakhir, terdapat sembilan peristiwa konflik Israel-Palestina yang terjadi di kompleks Masjid Al-Aqsa. Namun, memang terdapat peningkatan frekuensi dan intensitas dari serangan ke kawasan tersebut. Selama sekitar satu dekade terakhir, terdapat enam insiden di kompleks masjid ini. Jumlah ini relatif lebih banyak dibandingkan tiga dekade sebelumnya.
Baca juga: Waswas ”Status Quo” Masjidil Aqsa
Krisis politik
Meningkatnya intensitas serangan di situs Al-Aqsa ini tak terlepas dari situasi politik internal Israel yang karut-marut. Hal ini ditandai dengan serangkaian hasil pemilu yang kontroversial, pemerintahan koalisi yang disfungsional, dan tumbuhnya perpecahan di antara berbagai golongan masyarakat.
Krisis politik saat ini di Israel semakin parah dengan kejatuhan ekonomi pascapandemi Covid-19 dan menguatnya golongan ekstremis sayap kanan.
Sumber dari krisis politik saat ini di Israel dapat ditelusuri kembali ke pemilihan umum 2019, di mana tidak satu pun dari dua partai politik utama, Likud dan Biru Putih, memenangkan mayoritas yang jelas. Hal ini menyebabkan alotnya negosiasi kedua partai yang berujung koalisi yang tak kunjung disepakati. Setelah terbentuk, koalisi pun gampang pecah hingga pemilu ulang harus diselenggarakan.
Pada puncaknya, bahkan Israel harus menyelenggarakan pemilu sebanyak tiga kali dalam setahun. Kebuntuan politik akhirnya pecah pada Mei 2020 ketika Likud dan Biru Putih membentuk pemerintahan persatuan di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu.
Namun, pemerintahan persatuan terbukti berumur pendek dengan ketidaksepakatan kedua pihak mengenai isu-isu seperti aneksasi Tepi Barat dan penanganan pandemi Covid-19 yang menyebabkan keruntuhannya pada Desember 2020.
Hal ini menyebabkan Israel kembali menyelenggarakan pemilu pada Maret 2021, yang keempat dalam dua tahun. Hasilnya, blok sayap kanan Netanyahu memenangi 52 kursi, sedangkan blok kiri tengah yang dipimpin oleh Yair Lapid memenangi 45 kursi. Kedua belah pihak gagal membentuk pemerintahan koalisi dan pemilihan kelima diselenggarakan pada November 2022.
Hasil dari pemilu di akhir November lalu ini menguatkan tren penguasaan golongan kanan dan ekstremis di pemerintahan Israel. Tidak ada lagi poros liberal yang cukup sentris seperti Partai Biru Putih yang mendapat suara cukup besar di pemilu kali ini. Artinya, perolehan suara benar-benar didominasi oleh partai berhaluan kanan dan ekstrem kanan.
Selain dari hasil pemilu, tren politik sayap kanan ini juga tampak dari makin banyaknya partai dengan haluan tersebut. Sebagai contohnya Partai Otzma Yehudit, yang secara terbuka mendukung pandangan rasis dan anti-Arab.
Pemerintahan diisi oleh orang-orang ekstrem kanan ini pun secara otomatis menghasilkan kebijakan yang kanan dan ekstrem juga. Salah satu contoh dari kebijakan ekstrem kanan yang selaras dengan ideologi pemerintahan Israel saat ini ialah meningkatkan eskalasi dengan Palestina.
Konkretnya, kebijakan-kebijakan ini tampak dari tindakan tentara Israel yang makin represif, rencana pemerintah yang mensponsori perluasan permukiman ilegal warga Israel di wilayah Palestina, hingga serangan ke Masjid Al-Aqsa yang terjadi belum lama ini.
Asumsi ini juga tampak selaras dari melonjaknya jumlah warga Palestina yang meninggal akibat serangan Israel. Selama 2017-2020, jumlah korban jiwa berada di kisaran 25-47 jiwa.
Namun, angka ini melonjak jadi 75 orang di 2021 dan bahkan 146 orang di 2022. Artinya, terdapat peningkatan jumlah korban jiwa secara signifikan selama terbentuknya koalisi pemerintahan sayap kanan yang kini tengah memegang kendali pemerintahan Israel. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Aparat Kepolisian Israel dan Warga Palestina Bentrok di Masjid Al-Aqsa