Fenomena Anak Stunting di Perkotaan, Dekat dengan Keseharian
Kondisi anak yang mengalami stunting merupakan keadaan gagalnya pertumbuhan akibat akumulasi kekurangan nutrisi yang berlangsung cukup lama. Mulai dari masa kehamilan hingga usia anak 24 bulan atau bawah dua tahun.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·4 menit baca
Anak dengan kondisi stunting atau tengkes masih menjadi persoalan kesehatan di Indonesia, bahkan di wilayah perkotaan. Menjadi ironi ketika akses terhadap layanan kesehatan dan asupan pangan begizi relatif lebih terjangkau, namun masih ada anak mengalami kekurangan gizi dan terhambat tumbuh kembangnya.
Jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 4-6 April 2023 mendapatkan gambaran kondisi stunting pada anak Indonesia di mata publik. Terdapat tiga dari sepuluh responden yang menyatakan bahwa stunting pada anak berelasi dengan kondisi utamanya yang disebabkan oleh kurangnya asupan makanan begizi. Selain itu ada 28,2 persen responden yang menyatakan bahwa stunting disebabkan oleh kurangnya gizi pada ibu hamil.
Pendapat responden jajak pendapat selaras dengan definisi serta faktor-faktor penyebab terjadinya stunting. Kondisi anak yang mengalami stunting merupakan keadaan gagalnya pertumbuhan akibat akumulasi kekurangan nutrisi yang berlangsung cukup lama. Mulai dari masa kehamilan hingga usia anak 24 bulan atau bawah dua tahun (baduta).
Dekat dengan keseharian
Stunting merupakan muara dari persoalan pemenuhan gizi pada ibu mengandung dan pada fase awal tumbuh kembang anak. Keberadaan kasus stunting dapat diidentifikasi berdasar beberapa ciri umum, yaitu tinggi dan berat badan lebih rendah dibandingkan anak sebayanya. Pertumbuhan tulang dan gigi juga terhambat. Kemudian bisa dilihat juga dari kondisi anak yang kurang aktif serta rentan mengalami gangguan kesehatan.
Pada hasil jajak pendapat Kompas, sejumlah 506 responden dari 34 provinsi yang disurvei secara spontan mampu mengidentifikasi ciri kondisi stunting pada anak tersebut. Dengan pertanyaan “apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata anak stunting?” terungkap bahwa publik mengidentifikasi stunting dengan adanya kondisi gizi buruk, anak berbadan kurus, berbadan pendek, dan pertumbuhan anak tidak berlangsung dengan semestinya.
Dengan pengetahuan dasar itulah para responden mampu mengenali keberadaan anak stunting di sekitar mereka. Hal ini terungkap dari pernyataan 42,1 persen responden yang tinggal di pedesaan, menyatakan bahwa di lingkungan tempat tinggal dan di lingkaran pertemanan terdapat anak dalam kondisi stunting. Sementara 34 persen responden yang bermukim di perkotaan mengungkapkan pernyataan senada. Bahkan ada 7 persen responden yang mengaku terdapat anak stunting di lingkaran keluarga mereka.
Temuan ini menunjukkan bahwa keberadaan anak dengan kondisi stunting dekat dengan keseharian responden. Bahkan di perkotaan yang notabene memiliki akses relatif lebih baik terhadap layanan kesehatan dan sumber makanan bergizi nyatanya masih belum terbebas dari stunting.
Merujuk dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2021 dan 2022 menunjukkan kondisi terkini prevalensi stunting di Indonesia. Khusus daerah perkotaan masih banyak yang menghadapi tingginya angka stunting. Beberapa di antaranya yaitu Kota Subulussalam di Provinsi Aceh, Kota Batu di Jawa Timur, Kota Bima yang berada di Nusa Tenggara Barat, Kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah, Kabupaten Mamuju sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, serta Kota Sorong yang berada di provinsi baru Papua Barat Daya. Sederet kota tersebut masih dihantui prevalensi yang paling tinggi dari masing-masing wilayah, mulai dari Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan juga Maluku serta Papua.
Menangani stunting
Kondisi stunting yang tidak segera diatasi dapat menimbulkan dampak jangka panjang. Stunting berpotensi menghambat perkembangan dan kerja otak pada anak. Hal ini bisa memicu keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, serta risiko terserang penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan tuberkulosis. Stunting juga bisa menyebabkan terhambatnya tumbuh kembang saat usia remaja, yaitu mengalami keterlambatan masa pubertas.
Berkaitan dengan tindakan pencegahan dan menangani stunting, publik memiliki pemahaman yang relatif cukup baik dalam mengupayakannya. Upaya yang dilakukan ada dua fase, yaitu saat fase anak dalam kandungan dan kemudian ketika sudah dilahirkan.
Terdapat 7 dari sepuluh responden yang menyampaikan bahwa menerapkan pola komposisi makanan yang beragam dan seimbang bagi ibu hamil bisa menurunkan risiko stunting. Selain itu ada juga cara lain yang dilakukan oleh publik, seperti mengonsumsi suplemen makanan, penambah darah, serta menerapkan kebiasaan sarapan setiap hari.
Selanjutnya ketika anak sudah dilahirkan, menurut pandangan dari 40,9 persen responden bahwa pemberian ASI eksklusif, tanpa disertai makanan lain, kepada bayi berusia kurang dari 6 bulan menjadi suatu keharusan. Selain itu pemeriksaan kesehatan dan pertumbuhan balita ke posyandu atau puskesmas minimal sebulan sekali turut menekan risiko anak jatuh dalam kondisi gizi buruk dan stunting.
Menurut pendapat para responden, ketersediaan layanan kesehatan posyandu dapat dikatakan terbilang sudah mumpuni. Ada sejumlah 94,2 persen responden yang menyatakan bahwa di lingkungan tempat tinggal mereka terdapat posyandu yang minimal melayani masyarakat sekali dalam sebulan. Namun masih ada 3,9 persen responden yang menyatakan tidak ada aktivitas posyandu.
Cakupan layanan kesehatan yang di atas kertas sudah tampak mumpuni juga dilihat oleh para responden jajak pendapat. Hal ini utamanya terkait dengan target pemerintah pusat untuk menekan angka stunting nasional. Saat ini prevalensi stunting pada anak sebesar 21,6 persen. Ditargetkan dapat ditekan hingga 14 persen di tahun 2024.
Berkaitan dengan target tersebut, 70,8 persen responden menyatakan yakin bahwa pemerintah Indonesia mampu mencapai target tersebut sesuai tenggat waktu yang sudah ditentukan. Optimisme publik terhadap upaya pemerintah mengatasi stunting melalui Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) menjadi modal moril bahwa upaya yang sedang dilakukan dapat berbuah hasil seperti yang diharapkan. (LITBANG KOMPAS)