Popularitas Presiden Zelenskyy Jelang Pemilu Ukraina 2024
Ukraina diagendakan menggelar pemilihan umum untuk memilih presiden pada 2024. Di atas kertas, Presiden Volodymyr Zelenskyy masih memiliki tabungan popularitas untuk melanjutkan kepemimpinannya.
Di tengah peperangan menghadapi invasi Rusia, Ukraina mempunyai hajatan politik, yaitu menggelar pemilihan umum untuk memilih presiden. Sebagaimana di Indonesia, pemilihan presiden atau pilpres di Ukraina dilakukan lima tahun sekali.
Konstitusi Ukraina menyebutkan, Presiden Ukraina dipilih untuk periode lima tahun dengan masa jabatan maksimal selama dua periode. Ukraina terakhir menyelenggarakan pilpres pada 2019. Dengan demikian, masyarakat Ukraina akan kembali memilih presidennya pada 2024.
Waktu pelaksanaan pilpres diatur dalam Pasal 103 Konstitusi Ukraina, yaitu pada hari Minggu terakhir pada bulan terakhir di tahun kelima pemerintahan presiden Ukraina. Jika mengacu pada aturan ini dan pilpres terakhir yang diadakan pada 2019, pilpres akan dilaksanakan pada 31 Maret 2024.
Kondisi tersebut akan sama terjadi seperti pada Pilpres 2019. Pilpres lima tahun lalu dilaksanakan pada 31 Maret 2019. Saat itu, tidak ada pemenang mayoritas sehingga pilpres dilaksanakan dalam dua putaran. Dua kandidat yang lolos ke putaran kedua pada April 2019 ialah petahana Presiden Petro Poroshenko dan pesaingnya, Volodymyr Zelenskyy, yang sebelumnya dikenal sebagai aktor.
Data dari Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE) yang mengutip Komisi Pemilihan Pusat Ukraina memperlihatkan, Volodymyr Zelenskyy berhasil meraih 73,22 persen suara, unggul jauh atas Petro Poroshenko yang meraup dukungan 24,45 suara.
Tingginya elektabilitas Zelenskyy yang kini menjadi Presiden Ukraina membuatnya masih memiliki peluang untuk melanjutkan periode pemerintahannya. Namun, sejauh mana elektabilitas Zelenskyy dalam setahun jelang Pemilu 2024?
Peluang dan tantangan Zelenskyy saat ini setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek. Terdiri dari dinamika elektabilitas Zelenskyy, popularitas calon-calon pesaingnya, serta pengaruh dari peristiwa-peristiwa ekonomi-politik dalam lima tahun pemerintahan Zelenskyy.
Faktor pertama ialah dinamika elektabilitas Presiden Zelenskyy. Lima tahun lalu, Zelenskyy berhasil mengalahkan politisi-politisi kuat Ukraina. Jejak terpilihnya Zelenskyy pada 2019 muncul sejak pilpres putaran pertama.
Saat itu, Zelenskyy sudah memimpin dengan memperoleh 30 persen suara, sedangkan calon petahana Poroshenko hanya memperoleh 16 persen suara. Kala itu, Zelenskyy bukan hanya unggul dari Presiden Poroshenko, tetapi juga mengalahkan mantan PM Ukraina Yulia Tymoshenko.
Saat itu Zelenskyy nyaris menyapu bersih kemenangan di seluruh wilayah Ukraina. Dukungan terkuat bagi Zelenskyy berada di wilayah Luhansk, yaitu sebesar 89,4 persen suara. Satu-satunya wilayah yang minor suaranya bagi Zelenskyy ialah Lviv. Di daerah ini, Poroshenko berhasil menarik mayoritas suara (62,8 persen), sedangkan Zelenskyy hanya mendapat 34,5 persen suara.
Gejolak isu
Namun, bulan madu kemenangan Zelenskyy langsung berhadapan sejumlah gejolak pada awal-awal pemerintahannya, baik itu di bidang politik, ekonomi, maupun kesehatan. Permasalahan politik yang dihadapi Zelenskyy saat itu tidak terlepas dari situasi jelang Pilpres AS tahun 2020.
Pangkal masalahnya berawal dari telepon Presiden AS saat itu, Donald Trump, kepada Presiden Zelenskyy pada 25 Juli 2019. Selain mengucapkan selamat atas terpilihnya Zelenskyy, Trump juga meminta bantuan presiden baru tersebut untuk menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan keluarga pesaingnya di Ukraina. Kasus Trump yang menyeret Ukraina ini membuat sorotan dunia juga mengarah kepada Zelenskyy.
Di luar pusaran kasus Trump, Zelenskyy juga menghadapi guncangan ekonomi akibat datangnya pandemi Covid-19. Catatan Bank Dunia, tingkat pertumbuhan PDB Ukraina pada 2020 minus 3,8 persen atau turun 6,9 persen dari tahun 2019. Tekanan ekonomi akibat pandemi menjadi pukulan berat pemerintahan Zelenskyy di awal masa jabatannya.
Selain dua problem itu, Zelenskyy juga menghadapi ancaman ketidakstabilan geopolitik kawasan dari tetangga dekatnya, Rusia. Keinginan pemerintahan Zelenskyy untuk bergabung dengan Uni Eropa dan NATO menjadi keresahan besar bagi Rusia. Puncaknya ialah saat Zelenskyy menghadiri KTT Uni Eropa-Ukraina pada Juni 2020. Kehadiran Zelenskyy dan munculnya kesepakatan Ukraina-Uni Eropa membawa pesan berseberangan posisi dengan Rusia.
Rusia beraksi keras atas kebijakan Zelenskyy yang lebih mengarah ke Barat dengan mengerahkan armada besarnya di perbatasan Ukraina pada awal Desember 2021. Mobilisasi militer Rusia ini bukan hanya menjadi ancaman nyata peperangan, tetapi juga menebar dampak negatif pada popularitas Zelenskyy.
Kedatangan puluhan ribu pasukan asing di perbatasan negara menjadi simbol kegagalan diplomasi luar negeri dan rendahnya stabilitas keamanan dalam negeri Ukraina. Terlebih, upaya perdamaian di wilayah Donbas yang menjadi titik lama konflik dengan Rusia juga tak kunjung terwujud. Padahal, mewujudkan perdamaian di Donbas merupakan salah satu janji kampanye Zelenskyy.
Kala Zelenskyy disorot karena belum mampu menghadapi diplomasi Rusia, di saat bersamaan muncul fenomena penurunan penilaian publik terhadap dirinya. Jajak pendapat yang dilakukan sejumlah lembaga, seperti Institut Perang dan Perdamaian (IWPR), Razumkov Centre, Institut Sosiologi Internasional Kyiv (KISS), Lembaga Sosiologi Ukraina, Info Sapiens, Politikum, Rating, dan SOCIS memperlihatkan penurunan popularitas Zelenskyy sejak 2020 hingga 2021. Kumpulan hasil survei sejumlah lembaga itu diakses dari laman ukraine-elections.com.ua.
Pada periode Februari 2020-Juni 2020, elektabilitas Zelenskyy berada di rentang 34,6-51,3 persen. Periode berikutnya pada Juli 2020-Desember 2020 mengalami penurunan, yaitu pada besaran 26,5-33,7 persen. Tren penurunan kembali terlihat pada semester 1-2021, yaitu di rentang 19,8-32,4 persen dan semester II-2021 di rentang 21,8 dan 27,8 persen.
Dampak perang
Ketegangan diplomasi dengan Rusia menjadi tekanan bagi pemerintahan dan citra Zelenskyy. Namun, seiring perkembangan waktu, dinamika konflik yang berujung pada serangan Rusia ke Ukraina justru mendorong kembali popularitas Zelenskyy. Jika sebelum serangan Rusia Zelenskyy dinilai minor karena upaya diplomasinya yang belum maksimal, sejak keputusannya melawan agresi Rusia yang dilancarkan mulai 24 Februari 2022 lalu membuat popularitasnya kembali naik.
Zelenskyy membuktikan keberaniannya bahwa ia serius menjalankan agenda transisi kebijakan politik dan ekonomi pemerintahannya untuk kemajuan Ukraina. Keberanian melawan Rusia ditunjukkan dengan keputusannya untuk tetap berada di Kyiv saat militer Rusia terus mencoba menguasai ibu kota Ukraina itu dan menghujani wilayah Kyiv dengan rudal-rudal jelajah yang mematikan.
Komitmen Zelenskyy juga ditunjukkan dengan mengunjungi pasukan Ukraina di garis depan pertempuran di wilayah Bakhmut, Donetsk. Kedatangannya memberikan semangat bagi para pejuang Ukraina untuk mempertahankan kedaulatan negara. Zelenskyy juga mengunjungi kota Kherson pada November 2022 setelah pasukan Ukraina berhasil memukul mundur militer Rusia dari kota itu. Bersama pasukan Ukraina, Zelenskyy menyanyikan lagu kebangsaan saat bendera Ukraina dikibarkan kembali di kota tersebut.
Keberanian dan komitmen yang ditunjukkan Zelenskyy turut menguatkan jiwa nasionalisme warga Ukraina dan menumbuhkan kepercayaan pada kemampuan pemerintah dan angkatan bersenjata. Dukungan kepercayaan ini turut terpantau pada tingkat elektabilitas Zelenskyy dan pemerintahannya sejak serangan Rusia.
Dalam satu tahun terakhir, sejak Maret 2022 hingga Februari 2023, dukungan publik Ukraina kepada Zelenskyy berada di angka 59-82,5 persen. Tingkat dukungan ini naik signifikan dibandingkan tahun 2020 dan 2021.
Pada 1 Maret 2023, rerata elektabilitas Zelenskyy hasil kompilasi data survei yang dikumpulkan lembaga Ukraine Elections berada di angka 63,03 persen. Melihat peta kekuatan sejumlah tokoh yang disebut-sebut dapat tampil di Pilpres 2024, kondisi itu setidaknya memberikan dua gambaran yang menarik dicermati.
Pertama, elektabilitas Zelenskyy merupakan yang tertinggi. Jarak dukungan Zelenskyy, yang dinobatkan menjadi Tokoh 2022 versi majalah Time, dengan sejumlah kandidat lain, seperti mantan Presiden Petro Poroshenko atau politisi muda Sergey Pritula, terpaut cukup jauh. Melihat nama-nama yang bersaing saat ini, Zelenskyy cenderung lebih berpeluang mengingat sebagian besar di antaranya merupakan pesaing-pesaing di Pilpres 2019.
Kedua, peningkatan dukungan yang didapatkan saat masa perang. Dalam konteks ini, Zelenskyy berhasil menarik simpati publik di saat krisis. Konflik dan peperangan yang biasanya lebih banyak memberikan narasi negatif bagi publik, seperti jatuhnya korban, kerusakan, hilangnya masa depan, berhasil diyakinkan Zelenskyy dengan membangun narasi kebangsaan dan jiwa rela berkorban.
Pesaing baru
Sejumlah keberhasilan tersebut membuat Zelenskyy memiliki modal dukungan yang kuat dan hampir mendekati keberhasilannya saat memenangi pilpres lima tahun lalu. Dalam situasi perang saat ini, Zelenskyy mampu menebar harapan bagi rakyat Ukraina sehingga ia berpeluang terpilih kembali. Fenomena demikian juga pernah dialami mantan Presiden AS George W Bush pada 2004. Saat itu, Presiden Bush yang sedang memimpin perang melawan Al Qaeda di Afghanistan berhasil terpilih kembali sebagai presiden.
Namun, sebagaimana pasang-surut elektabilitas yang pernah dilalui, situasi politik Ukraina juga penuh dinamika yang terus mencari celah untuk mengkritisi berbagai kebijakan Zelenskyy. Munculnya calon kompetitor baru menjadi salah satu dinamika yang akan mewarnai isu pilpres dalam satu tahun mendatang.
Baca juga: Dinamika Ukraina-Rusia, dari Presiden Kravchuk hingga Zelenskyy
Nama Panglima Angkatan Bersenjata Ukraina, Valery Zaluzhny, mulai disebut potensial sebagai pesaing Zelenskyy. Terlebih di sejumlah pemberitaan, Jenderal Zaluzhny santer menjadi calon yang lebih disukai pihak Barat. Nama Zaluzhny muncul elektabilitasnya di sejumlah survei sejak April 2022.
Di luar munculnya Zaluzhny, kepentingan politik Rusia juga tidak dapat dianggap remeh. Pertaruhan besar Rusia menjauhkan Ukraina dari pengaruh Barat membuat Moskwa akan terus mencari peluang mendukung calon presiden yang memiliki kesamaan visi dengan Rusia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Apa yang Dicari Vladimir Putin di Ukraina?