Harapan akan hal baik dan optimisme menjadi kunci menyambut Tahun Baru Imlek. Sejauh mana saat ini publik memandang Imlek dan membangun harapan di tahun 2023?
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·5 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Atraksi liong di hadapan para pengunjung Ancol di area Plaza Lagoon Ancol, Jakarta Utara (22/1/2023). Taman Impian Jaya Ancol menjadi salah satu destinasi wisata bagi warga yang ingin menghabiskan liburan Tahun Baru Imlek.
Tahun 2023 merupakan Tahun Kelinci yang dipercaya sebagai simbol harapan dan keberuntungan menurut astrologi Tionghoa. Senada dengan hal itu, publik menunjukkan harapan kuat dan optimisme tinggi bahwa pada tahun ini kehidupan akan dekat dengan hal-hal baik.
Tahun Baru Imlek dapat dirayakan kembali secara terbuka sejak tahun 2000 setelah Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang mengatur pembatasan perayaan Imlek di ruang publik. Bahkan, sejak 2003, Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui keputusan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Kebijakan ini membuat masyarakat Tionghoa dapat merayakan Imlek dengan beribadah ke kelenteng dan melakukan beragam ritual dengan sukacita. Tahun ini Imlek dirayakan hanya berselang 22 hari setelah tahun baru Masehi. Momentum dua tahun baru dalam waktu berdekatan ini tentu membawa kemeriahan. Menariknya, bagaimana saat ini publik memandang Imlek?
Dalam benak publik, Imlek identik dengan sebuah perayaan. Hal ini tergambar dari jajak pendapat Litbang "Kompas" pada 18-20 Januari 2023. Bagian terbesar responden, yaitu sebanyak 44,4 persen, mengaku makna ”perayaan” segera muncul dalam benak dan terucap saat mendengar kata Imlek. Pada urutan kedua, sekitar 14,5 persen responden mengidentikkan kata Imlek dengan ”Tionghoa”.
Tiga kata berikutnya yang muncul dalam benak responden tatkala mendengar kata Imlek secara berurutan adalah barongsai, hujan, dan angpau. Secara umum, temuan jajak pendapat ini memberikan gambaran pengenalan publik terhadap momentum Tahun Baru bagi masyarakat Tionghoa. Hanya sekitar 6,1 persen responden yang tak tahu harus mengidentikkan Imlek dengan apa.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN (SET)
Warga Tionghoa bersembahyang menyambut Tahun Baru Imlek di Wihara Dharma Jaya Toasebio di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat (21/1/2023).
Inklusif
Hampir separuh responden mengasosiasikan Imlek dengan perayaan juga menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati. Publik saat ini memahami Imlek sebagai perayaan bahkan mengungguli kata-kata seperti Tionghoa, barongsai, ataupun angpau. Boleh jadi masyarakat Indonesia tak lagi memandang Imlek sebatas milik etnis Tionghoa, tetapi sudah menjadi perayaan bagi semua khalayak.
Fakta ini sekaligus menegaskan pencabutan pembatasan perayaan Imlek berhasil mencapai titik utama tujuannya, yakni penghargaan terhadap keragaman latar belakang suku dan ras di Indonesia. Temuan ini juga menguatkan kecenderungan inklusivitas yang telah direkam Litbang "Kompas" dalam jajak pendapat tahun 2014. Kala itu, tak kurang dari 80,3 persen publik mengaku perayaan Imlek sudah jadi bagian dari budaya bangsa Indonesia (Kompas, 4/2/2014).
Indikasi bahwa perayaan Imlek makin inklusif juga tampak ketika publik sebenarnya tidak tahu secara rinci hal-hal spesifik, misalnya shio tahun 2023 adalah kelinci. Hanya 15,7 persen responden yang tahu soal ini. Sisanya, 84,3 persen responden menjawab salah atau tidak tahu. Artinya, penerimaan tradisi Imlek dalam diri publik lebih berciri kultural umum. Maksudnya, publik cenderung lebih dekat dengan kebudayaan Tionghoa yang dapat dirayakan bersama seperti perayaan barongsai, lampion, ataupun pertunjukan lainnya.
Anggapan ini terkonfirmasi dari antusiasme publik menyaksikan pertunjukan seni budaya Tionghoa. Sebanyak 59,7 persen responden mengaku tertarik menyaksikan pertunjukan budaya Tionghoa. Bahkan, 14,5 persen mengaku sangat tertarik. Hanya sekitar seperempat dari total responden yang merasa tidak tertarik.
Selanjutnya, memberi ucapan selamat tahun baru Imlek juga bukan hal yang problematik bagi publik. Tak kurang dari 77 persen responden mengaku mau memberikan ucapan selamat kepada teman atau kenalan beretnis Tionghoa yang merayakan Imlek. Ini makin menguatkan bahwa perayaan Imlek di Indonesia semakin inklusif.
FAKHRI FADLURROHMAN
Seorang warga menerima angpao di Rumah Pesta Tan Kim Yok, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten (20/1/2023). Sejumlah warga keturunan Tionghoa membagikan sembako dan angpau jelang Imlek.
Harapan
Jika kembali pada sejarah, perayaan Imlek sejatinya merupakan festival musim semi. Musim yang menandai masa tanam bagi petani. Tak mengherankan jika Imlek senantiasa lekat dengan pengharapan. Harapan agar tanaman petani di China tumbuh subur hingga panen. Perayaan ini berlangsung selama 15 hari, dimulai sejak tanggal 1 bulan Cia Gwee, yakni bulan pertama, hingga berakhir tanggal 15.
Dalam masyarakat modern, rangkaian 15 hari diisi dengan berbagai kegiatan mulai dari berdoa bersama, makan bersama keluarga, silaturahmi antarkerabat, hingga perayaan Cap Go Meh. Berbagai kegiatan itu menjadi simbol syukur atas tahun yang telah lalu dan harapan akan rezeki di tahun yang baru.
Ciri syukur dan harapan ini pula yang ditangkap responden dalam menyambut perayaan Imlek 2023. Pertama-tama publik menyatakan persetujuan, Tahun Kelinci sepatutnya menjadi momentum menumbuhkan optimisme. Tak kurang dari 63,7 persen responden mengaku setuju untuk menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai momentum untuk menumbuhkan optimisme menyambut tahun 2023. Lebih lagi, ada 12,2 persen responden sangat setuju dengan hal ini.
Responden juga tampak optimistis, dalam kehidupan pribadi, hal-hal baik akan menaungi pada tahun 2023. Sebanyak 55,6 persen responden mengaku optimistis dan 39,9 persen menyatakan sangat optimistis bahwa kehidupan pribadi mereka pada tahun ini akan dekat dengan hal baik.
FAKHRI FADLURROHMAN
Antrean warga saat akan mengambil sembako di Rumah Pesta Tan Kim Yok, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten (20/1/2023). Sebanyak 800 sembako dibagikan kepada warga yang membutuhkan.
Terlihat bahwa isu tahun politik hingga ancaman resesi ekonomi tidak lantas membuat masyarakat bergulat dalam pesimisme. Sebaliknya, sembilan dari 10 publik menjadikan optimisme sebagai fondasi menyambut Tahun Kelinci.
Apa sejatinya yang diharapkan membaik dan didapat pada tahun 2023? Keuangan atau sisi finansial masih menjadi hal yang paling diharapkan membaik. Sebanyak 32,6 persen responden mengharapkan segi finansial pribadi dan keluarga akan membaik. Menariknya, sisi yang materialistik ini diimbangi oleh 30,6 persen responden yang berharap sisi kesehatan yang lebih baik. Pada urutan ketiga, karier dan pekerjaan diharapkan membaik oleh 19,4 responden. Kembali pada ranah non-materialistik, pada urutan keempat membaiknya relasi keluarga menjadi harapan bagi 7,6 persen responden.
Terkait dengan optimisme, dengan pertanyaan terbuka alasan optimisme muncul, tak kurang dari 77,4 persen responden optimistis didasari keyakinan bahwa kehidupan pada tahun 2023 akan lebih baik dari sebelumnya. Alasan berikutnya, sebanyak 12,2 responden mengaku perekonomian yang meningkat menjadi landasan optimisme mereka.
Optimisme yang muncul dalam hasil jajak pendapat ini tak bisa dilepaskan dari situasi pandemi yang makin membaik. Apalagi, akhir tahun 2022, Presiden Joko Widodo sudah mencabut kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di seluruh Indonesia.
Hal ini secara kuat ditangkap oleh publik bahwa dicabutnya PPKM akan berpengaruh terhadap roda perputaran ekonomi yang kembali lancar. Sementara dari sisi kesehatan, pencabutan PPKM menandakan situasi Covid-19 tak lagi genting.
Akhirnya, kembali pada filosofi Tahun Kelinci, harapan akan hal baik adalah kunci menyambut 2023. Ketika harapan dan optimisme dirajut, tantangan hidup yang pelik tidak menjadi soal.
Dalam tataran hidup bermasyarakat, optimisme ini harus dibagikan pula kepada mereka yang masih bergulat dengan kemiskinan dan pengangguran. Dengan cara ini, Imlek bukan sebatas dimaknai sebuah perayaan ritual, tetapi menjadi langkah nyata gotong royong menuai panenan alias bangkit bersama dari keterpurukan setelah pandemi.
Harapan kuat dan langkah konkret saling membantu tersebut menjadi modal penting menangkis bayang-bayang resesi ekonomi dan menjaga semangat persatuan bangsa di tengah mulai menghangatnya isu politik pada tahun ini. (LITBANG KOMPAS)