Analisis Litbang “Kompas” : Tiga Tahun Pandemi dan Kenaikan Utang Pemerintah
Pandemi Covid-19 semakin mempertebal utang pemerintah. Kondisi ini akan membayangi wajah ekonomi di tahun 2023, apalagi di tengah potensi terjadinya resesi.
Selama ini, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) terjaga di bawah 30 persen. Namun, akibat pandemi, rasio utang pemerintah terhadap PDB sempat tembus di atas 40 persen.
Utang pemerintah di akhir tahun 2020 atau setahun pandemi berjalan mencapai Rp 6.074,56 triliun atau naik sebanyak Rp 1.295,96 triliun (27 persen) dibandingkan setahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan utang pemerintahan Presiden Joko Widodo di awal periode pertama, angkanya telah naik dua kali lipat.
Penambahan utang di tahun pertama pandemi tersebut tidak lepas dari melebarnya defisit anggaran negara. Defisit anggaran pada tahun 2020 tercatat Rp 947,7 triliun. Angka ini meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2019. Hal ini akibat belanja pemerintah membengkak untuk penanganan Covid-19.
Karena alasan Covid-19 itu pula pemerintah beberapa kali mendapatkan pinjaman dari lembaga-lembaga internasional. Berdasarkan laporan APBN Kita Tahun 2020, setidaknya terdapat tiga macam pinjaman yang diterima oleh pemerintah.
Pertama, pinjaman program “Covid-19 Active Response and Expenditure Support Program (CARES)” senilai 750 juta dollar AS dari Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Pinjaman ini bertujuan untuk menyediakan dukungan anggaran dalam rangka menghadapi pandemi Covid-19.
Kedua, pinjaman program “Additional Financing for Social Assistance Reform Program” senilai 400 juta dollar AS dari Bank Dunia (World Bank). Tujuannya untuk mendukung penguatan dan perluasan Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial lainnya serta mendukung pemerintah dalam upaya penanggulangan pandemi Covid-19.
Ketiga, pinjaman program “Indonesia Emergency Response to Covid-19” yang merupakan pembiayaan bersama (co-financing) antara AIIB senilai 250 juta dollar AS dan Bank Dunia senilai 250 juta dollar AS. Pinjaman ini bertujuan untuk mencegah, mendeteksi, dan menanggapi ancaman yang ditimbulkan oleh Covid-19 dan memperkuat sistem nasional untuk kesiapan kesehatan masyarakat.
Di tahun 2021, Indonesia kembali mendapat pinjaman dari Bank Dunia senilai 500 juta dollar AS untuk Additional Financing for Indonesia Emergency Response to Covid-19, yang bertujuan untuk mendukung penguatan sistem kesehatan, dukungan berkelanjutan untuk merespons Covid-19, dan kesiapan pelaksanaan vaksin (APBN Kita edisi Juli 2021).
Setelah itu, pada November 2021 pemerintah melakukan penandatanganan perjanjian pinjaman baru antara lain dari AIIB dan Kreditanstalfur Wiederaufbau (KfW), juga terkait respons terhadap Covid-19.
Baca juga : Analisis Litbang ”Kompas”: Mengelola Defisit Anggaran di Bawah 3 Persen
Komposisi
Setelah tiga tahun pandemi, posisi utang pemerintah pada November 2022 sudah mencapai Rp 7.554,25 triliun. Penambahan utang di tahun 2022 berhasil ditekan tidak sebesar dua tahun sebelumnya. Namun, nilai utang tersebut naik 58 persen dibandingkan tahun sebelum pandemi.
Komposisi utang pemerintah masih didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN). Porsi SBN ini terus meningkat selama pandemi, dari 84,02 persen pada 2019, menjadi 85,96 persen pada 2020, lalu menjadi 88,15 persen pada 2021, dan 88,66 persen pada 2022.
Nilainya pada 2022 adalah Rp 6.697,83 triliun, yang terdiri atas SBN domestik (rupiah) senilai Rp 5.297,81 triliun dan SBN valuta asing yang setara dengan Rp 1.400,02 triliun.
Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya penerbitan SBN ini adalah membaiknya peringkat utang Indonesia yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga pemeringkat internasional. Perbaikan peringkat ini memengaruhi minat beli investor seiring dengan risiko yang semakin rendah.
Dengan dominasi SBN domestik yang lebih besar, pemerintah berharap porsi utang dengan mata uang asing akan menurun. Hal itu sekaligus juga untuk menjaga dari risiko kenaikan nilai tukar. Kepemilikan SBN saat ini didominasi oleh perbankan dan Bank Indonesia. Kepemilikan oleh investor asing terus menurun.
Sementara, komposisi utang pemerintah yang merupakan pinjaman, meski porsinya terus menurun, nominalnya terus meningkat sejak pandemi. Tahun 2019 nilai pinjaman pemerintah masih tercatat sebesar Rp 763,79 triiun (porsi 15,98 persen).
Tahun 2022 angkanya menjadi Rp 856,42 triliun (porsi 11,34 persen). Dari nilai tersebut, yang merupakan pinjaman luar negeri adalah sebesar Rp 838,90 triliun.
Baca juga : Defisit Melebar, Utang Pemerintah Bertambah
Masih aman
Meski terus meningkat, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih dalam batas yang aman. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batasan utang pemerintah yang dianggap aman adalah tidak melebihi 60 persen dari PDB.
Batasan ini mengikuti konsensus internasional yang didasarkan pada ketentuan Maastrich Treaty, yaitu perjanjian di antara negara-negara Uni Eropa pada tahun 1992 di Maastrich, Belanda, untuk memperkuat perekonomian.
Tahun 2020, karena penambahan utang sebanyak Rp 1.295,96 triliun, rasio utang terhadap PDB Indonesia naik cukup tinggi, yaitu menjadi 38,68 persen. Pada tahun 2019, rasio utang terhadap PDB masih di bawah 30 persen, tepatnya 29,8 persen.
Setelah itu, rasio utang terhadap PDB pada tahun 2021 kembali naik menjadi 41 persen. Angka ini adalah yang tertinggi sejak Indonesia bangkit dari krisis multidimensi tahun 1999. Berdasarkan data Bank Dunia, Indonesia pernah mencapai rasio utang terhadap PDB di atas 40 persen, yaitu pada tahun 1999 dengan besaran 45,2 persen.
Tahun 2022, meski utang pemerintah sudah mencapai Rp 7.554,25 triliun, rasionya terhadap PDB menurun, yaitu menjadi 38,65 persen. Hal ini karena dampak perekonomian yang mulai bangkit dari pandemi yang memperbesar nilai PDB.
Di antara sejumlah negara di Asia, berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF), rasio utang terhadap PDB Indonesia ini masih yang tergolong rendah. Jepang bahkan mencatatkan rasio utang tertinggi di dunia di saat pandemi. Tahun 2020, rasio utang terhadap PDB Jepang mencapai 251,91 persen dan tahun berikutnya turun menjadi 221,32 persen.
Negara tetangga, Singapura, juga mencatat rasio utang terhadap PDB yang tinggi, yakni 112,95 persen pada tahun 2020 dan naik menjadi 163,89 persen pada tahun 2021. Berkebalikan dengan tren rasio yang naik di tahun kedua pandemi seperti yang dialami Singapura ini, rasio di tahun kedua pandemi di India dan Vietnam justru menurun.
Setelah tiga tahun pandemi, posisi utang pemerintah pada November 2022 sudah mencapai Rp 7.554,25 triliun
Rasio utang terhadap PDB India tahun 2020 di angka 74,3 persen, lalu turun menjadi 54,27 persen pada tahun 2021. Adapun rasio utang terhadap PDB Vietnam tahun 2020 sebesar 45,67 persen, tahun 2021 angkanya turun menjadi 39,09 persen.
Meski rasio utang terhadap PDB Indonesia lebih rendah dibandingkan banyak negara Asia lainnya, penambahan utang harus lebih dikendalikan. Terutama di tahun 2023 yang dibayangi resesi global. Rasio utang terhadap PDB berpotensi meningkat tatkala perekonomian yang melambat karena dampak kondisi global dapat menurunkan PDB. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Pemerintah Bertekad Kurangi Penerbitan Utang