Analisis Litbang ”Kompas”: Mengelola Defisit Anggaran di Bawah 3 Persen
Bayangan ketidakpastian dengan meningkatnya risiko ekonomi global menjadi tantangan mengelola defisit anggaran. APBN harus didesain fleksibel, tetapi harus diprioritaskan pada urusan yang mendesak untuk dikerjakan.
Oleh
Gianie
·4 menit baca
Pengelolaan keuangan negara di tahun 2023 di tengah kondisi ekonomi yang suram menghadapi tantangan yang tidak mudah. Undang-undang mensyaratkan defisit anggaran tahun ini harus kembali di bawah 3 persen dari produk domestik bruto. Namun, dengan stagflasi yang membayangi, keuangan negara tentu akan terdampak.
Anggaran negara terbebani selama pandemi. Di tahun pertama pandemi Covid-19, pemerintah melakukan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 untuk mengakomodasi situasi krisis. Penyesuaian harus dilakukan karena perekonomian melambat.
Dampaknya, penerimaan negara tersendat, sementara pemerintah memerlukan dana besar untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
APBN 2020 mengalami perubahan. Semula, target pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 2.233,2 triliun, sedangkan target belanja negara sebesar Rp 2.540,4 triliun. Defisit anggaran hanya Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen dari PDB.
Pengelolaan keuangan negara di tahun 2023 di tengah kondisi ekonomi yang suram menghadapi tantangan yang tidak mudah.
APBN awal tersebut tidak lagi realistis di saat pandemi tengah mengganas. Melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020, pemerintah mengubah postur dan rincian APBN 2020. Target pendapatan negara turun menjadi Rp 1.760,8 triliun, sedangkan anggaran belanja bertambah menjadi Rp 2.613,8 triliun. Akibatnya, defisit anggaran melebar menjadi 5,07 persen dari PDB.
Agar besaran defisit anggaran tidak melanggar batas 3 persen dari PDB yang ditentukan perundang-undangan, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Perppu tersebut memperlebar batasan defisit anggaran yang bisa melampaui 3 persen dari PDB selama penanganan Covid-19. Kewenangan ini berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Pandemi diharapkan akan bisa diatasi dalam waktu tiga tahun anggaran, yakni 2020-2022.
Namun, APBN 2020 mengalami perubahan kedua setelah terbitnya perppu. Defisit anggaran kembali melebar. Terbit Perpres No 72/2020 tentang Perubahan Atas Perpres No 54/2020. Target pendapatan negara kembali diturunkan menjadi Rp 1.699,9 triliun, sedangkan anggaran belanja meningkat menjadi Rp 2.739,1 triliun. Dengan demikian, defisit melebar lagi menjadi Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari PDB.
Realisasi pendapatan negara hingga akhir tahun 2020 hanya Rp 1.647,8 triliun atau 96,9 persen, sedangkan realisasi belanja negara Rp 2.595,5 triliun atau 94,8 persen. Defisit anggaran tercatat Rp 947,7 triliun atau 6,14 persen dari PDB. Angka realisasi ini sedikit di bawah target 6,34 persen.
Besaran defisit anggaran diupayakan turun secara bertahap hingga bisa kembali menjadi di bawah 3 persen setelah tiga tahun pandemi. Dalam APBN 2021, defisit anggaran ditetapkan sebesar 5,7 persen dari PDB. Pendapatan negara sebesar Rp 1.743,65 triliun dan anggaran belanja sebesar Rp 2.750,03 triliun.
Hingga akhir tahun 2021, realisasi pendapatan negara cukup menggembirakan setelah perekonomian kembali menggeliat. Angkanya mencapai Rp 2.011,3 triliun atau 115,3 persen dari target.
Sementara realisasi anggaran belanja mencapai Rp 2.786,8 triliun atau 101,3 persen. Defisit anggaran bisa ditekan menjadi Rp 775,1 triliun atau 4,57 persen dari PDB, lebih rendah dibandingkan realisasi tahun sebelumnya.
Setelah empat triwulan berturut-turut mengalami kontraksi dengan pertumbuhan negatif, perekonomian nasional mulai pulih pada triwulan kedua 2021.
Hal ini memberi optimisme untuk penerimaan negara di tahun 2022. Sejak triwulan keempat 2021 hingga triwulan ketiga 2022, pertumbuhan ekonomi bahkan stabil di angka 5 persen.
APBN 2022 disusun dengan optimisme defisit yang lebih kecil. Dengan target pendapatan negara sebesar Rp 2.436,9 triliun dan belanja negara Rp 3.169,1 triliun, defisit diperkirakan sebesar Rp 732,2 triliun atau 3,92 persen dari PDB.
Untuk tahun 2023, defisit anggaran ditargetkan sebesar Rp 598,2 triliun atau 2,84 persen dari PDB. Anggaran pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 2.463 triliun dan belanja negara Rp 3.061,2 triliun.
Dengan melebarnya defisit anggaran sejak 2020, pembiayaan anggaran pun meningkat. Pada tahun 2020, pembiayaan anggaran meningkat tiga kali lipat, yakni dari Rp 402,1 triliun menjadi Rp 1.193,3 triliun.
Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah untuk pembiayaan utang. Pembiayaan utang juga meningkat tiga kali lipat dari Rp 437,5 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 1.229,6 triliun pada tahun 2020. Namun, seiring dengan perbaikan ekonomi yang terjadi, pembiayaan anggaran di tahun-tahun berikutnya kembali menurun. Begitu pula dengan pembiayaan utang.
Pembiayaan utang pada tahun 2021 sebesar Rp 870,5 triliun dan pada tahun 2022 menjadi Rp 757,6 triliun. Untuk tahun 2023, dengan defisit anggaran 2,84 persen dari PDB, pembiayaan utang ditetapkan sebesar Rp 696,3 triliun. Jumlah tersebut turun hampir separuh dari tahun 2020, namun belum kembali seperti kondisi sebelum pandemi.
Penurunan pembiayaan anggaran dan pembiayaan utang pada tahun 2023 karena diperkirakan perekonomian akan membaik pada 2023. Hal itu menjadi optimisme pemerintah sehingga pertumbuhan ekonomi diprediksi akan mampu mencapai 5 persen pada tahun ini.
Sebab, sepertiga kekuatan ekonomi dunia diprediksi IMF akan mengalami resesi. Meski tidak termasuk dalam yang sepertiga tersebut, imbasnya akan merembet juga ke Indonesia.
Di sinilah tantangan yang dihadapi pemerintah. Di satu sisi harus menjaga pendapatan negara tidak turun, dan sisi lain menjaga pengeluaran pemerintah tidak meningkat.
Yang paling memungkinkan dilakukan adalah yang kedua, menjaga pengeluaran pemerintah tidak meningkat. Hal ini karena pendapatan negara bergantung pada kondisi dunia usaha dan daya beli masyarakat.
Pengetatan pengeluaran pemerintah harus dilakukan di kementerian dan lembaga. Sementara anggaran pembangunan harus berdasarkan pada prioritas, mana yang paling mendesak untuk dikerjakan.
Tentu yang menjadi prioritas adalah yang terkait dengan kebutuhan utama masyarakat, seperti ketahanan pangan dan energi, pendidikan, kesehatan, serta perlindungan sosial.
APBN harus didesain fleksibel untuk menghadapi perubahan yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Prinsip kehati-hatian harus dengan mengedepankan sense of crisis. Pemerintah tentu akan sulit ketika harus melebarkan kembali defisit anggaran. Karena hal itu membutuhkan perppu seperti di tahun 2020. (LITBANG KOMPAS).