”Shoppertainment”, Roda Penggerak Belanja Daring 2023
Belanja daring berbalut hiburan disebut ”shoppertainment”. Hal ini berkaitan dengan kegiatan jualan ”online” dimotori konten di media sosial yang bersifat menghibur, edukatif, dan komunal.
Tren belanja daring shoppertainment di kawasan Asia Pasifik memiliki potensi nilai transaksi yang relatif besar. Pada tahun 2025, diperkirakan transaksi nilai ekonomi di seluruh kawasan, termasuk Indonesia, mencapai 1 triliun dollar AS. Munculnya tren ini didorong oleh masifnya aktivitas belanja warganet melalui kanal media sosial, terutama dari aplikasi Tiktok.
Perubahan lanskap medsos yang begitu masif membentuk beragam perubahan dalam dinamika kehidupan masyarakat dunia. Salah satu yang mendapatkan pengaruh cukup kuat adalah aktivitas berbelanja secara daring. Belanja kini tidak hanya sekadar membeli barang, tetapi juga melibatkan unsur hiburan, edukasi, hingga ikatan sosial dari sesama konsumen yang terbentuk melalui konsumsi suatu produk.
Belanja daring berbalut hiburan itu disebut dengan istilah shoppertainment. Definisi ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan daring yang dimotori oleh konten di medsos yang bersifat menghibur dan mengedukasi sekaligus berkaitan erat dengan komunitas. Muara dari model shoppertainment ini memang bertujuan untuk menjual produk. Perbedaanya dengan iklan konvensional adalah dalam proses pemasaran dan membujuk calon pembeli memanfaatkan konten digital yang tidak memaksa (hard selling) audiens membeli produk.
Merujuk dari riset yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) berjudul ”Shoppertainment APAC’s Trillion-Dollar Opportunity”, nilai pasar belanja daring nan menghibur itu sangat fantastis. Diperkirakan pada tahun 2022, nilainya mencapai 500 miliar dollar AS di seluruh kawasan Asia Pasifik. Pada tahun 2025 nanti, nilai nominalnya berlipat ganda menjadi sekitar 1 triliun dollar AS. Estimasi ini menunjukkan bahwa pangsa pasar shoppertainment itu sangatlah besar sehingga bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha, terutama dengan kanal e-dagang.
Negara yang dijadikan sampel riset oleh BCG di kawasan Asia Pasifik itu meliputi Indonesia, Thailand, Vietnam, Australia, Korea, dan Jepang. Ada sekitar 2.400 responden yang dilibatkan dari sejumlah negara tersebut. Negara-negara itu terpilih sebagai lokus survei karena dinilai representatif untuk memetakan perilaku dan preferensi warganet dalam ber-shoppertainment sehari-hari.
Baca juga : Kebiasaan Belanja ”Online” Berlanjut meski Pandemi Melandai
Kawasan Asia Pasifik menjadi sangat menarik untuk diteliti karena masyarakat di wilayah ini menghabiskan waktu dengan gawai yang tekoneksi internet dalam durasi cukup panjang. Sebagai perbandingan, konsumen internet di Asia Pasifik beraktivitas secara daring sekitar 6,7 jam per hari. Sementara itu, warganet di Amerika Utara menghabiskan waktu sekitar 5 jam dan netizen Eropa hanya 3,4 jam sehari.
Deskripsi tersebut menunjukkan betapa panjang waktu yang dihabiskan untuk berinternet masyarakat kawasan Asia Pasifik. Kebiasaan ini berpotensi besar untuk terpapar konten-konten berjenis shoppertainment yang sangat beragam dan masif.
Aspek emosi
Menurut data dari We Are Social tahun 2022, terdapat 50 persen pengguna medsos di Indonesia yang bertujuan mencari referensi suatu kegiatan atau produk yang hendak dibeli melalui kanal medsos. Pada tahap ini warganet secara acak antara mencari atau terpapar oleh konten digital yang menawarkan produk terntentu.
Sementara itu, ada 36,2 persen warganet yang secara spesifik mencari informasi tentang produk yang hendak dibeli. Berbeda dengan motivasi sebelumnya, pada posisi ini audiens sudah lebih dekat posisinya dengan keputusan pembelian. Di sinilah konten-konten digital berperan penting mendorong calon konsumen untuk memutuskan ”klik” berbelanja secara daring melalui kanal medsos.
Merujuk hasil penelitian Boston Consulting Group, terdapat faktor kunci yang harus diperhatikan dalam menyajikan konten ”penggoda” supaya audiens memutuskan berbelanja, yaitu menyentuh aspek emosional dari target pasar yang dituju. Temuan ini senada dengan yang disampaikan oleh Gerald Zaltman, penulis buku How Customers Think: Essential Insights into the Mind of the Market (2003). Zaltman menyatakan bahwa perangkat komunikasi atau bahkan produk perawatan pribadi dapat memunculkan perasaan dan ikatan yang mendalam tentang ikatan sosial.
Pernyataan Zaltman tersebut sangat relevan setidaknya dalam tiga aspek. Pertama, di era digital, perangkat komunikasi bersifat sangat personal dengan adanya ponsel pintar. Keberadaan ponsel pintar bisa menyalurkan informasi tanpa batasan ruang publik ataupun privat. Ketika era iklan konvensional, ruang yang bisa digunakan hanya media massa dan ruang publik. Namun, dengan adanya ponsel pintar, tidak ada batasnya lagi untuk memapar audiens dengan konten digital.
Aspek kedua, produk yang ditawarkan dirancang sedemikian rupa sehingga mengena pada aspek emosional. Misalnya, produk perawatan tubuh yang dipasarkan dengan label aman dan halal. Bisa juga membuat variasi produk yang begitu banyak untuk sebuah produk dagangan yang secara fungsi sebetulnya tidak ada perbedaan antara jenis satu dan jenis lain. Salah satu contohnya adalah buku catatan atau notebook. Sering kali seseorang membeli buku catatan karena pernak-perniknya. Penampilan notes-nya menjadi ”lucu” atau menggugah emosi sehingga mendorong untuk membeli. Padahal, secara fungsi sama, yakni buku catatan.
Terakhir, aspek tentang ikatan sosial para konsumen produk. Contoh klasiknya adalah pengguna produk Apple yang secara imajiner ataupun riil terwujud dalam kelompok pengguna Apple. Komunitas yang ”membanggakan” suatu produk ini berusaha dibangun oleh berbagai produsen karena memiliki dampak penetrasi pasar yang sangat kuat untuk menjaring konsumen baru.
Ketiga aspek tersebut saling berkaitan dalam mendorong calon konsumen agar segera memutuskan untuk membeli suatu produk. Bentuk dorongan yang kini kian populer adalah berupa konten medsos yang bersifat menghibur dan edukatif dengan muatan ulasan produk tanpa ada ajakan atau paksaan untuk membelinya. Seolah audiens dianggap sebagai pihak yang secara bebas menentukan keputusan belanja tanpa paksaan dari konten digital di medsos.
Medsos dan belanja daring
Salah satu platform yang paling populer digunakan sebagai aktivitas shoppertainment adalah Tiktok. Hasil survei dari Social Shopping Survey menunjukkan bahwa 20,6 persen responden sering belanja daring melalui ”bujuk rayu” konten dari Tiktok. Survei tersebut dilakukan oleh Bazaarvoice dengan melibatkan 14.000 pengguna internet berusia di atas 13 tahun dari Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Perancis, dan Jerman yang menjadi bagian dari komunitas Influenster. Survei digelar pada periode Desember 2021 hingga Januari 2022.
Terdorongnya tren shoppertainment dipicu oleh fasilitas berbagai kanal medsos yang menyediakan fitur toko daring terintegrasi di dalamnya. Tiktok memiliki fitur Tiktok Shop, kemudian ada juga Instagram Shop. Selain itu, ada juga fitur live shopping yang disediakan di platform Youtube.
Baca juga : Belanja Daring Sebelum Era Internet
Tidak dapat dimungkiri bahwa aktivitas bermedsos sudah menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari para pengguna internet. Warganet di Indonesia sedikitnya menghabiskan waktu 3 jam 17 menit per hari untuk mengakses medsos. Dengan demikian, aplikasi medsos berpotensi besar menjadi ruang untuk mengembangkan pangsa pasar berbagai produk dagangan. Fenomena demikian membuat sejumlah aplikasi toko daring, seperti Tokopedia, Bukalapak, Shoppee, Lazada, dan Blibli, kini bersaing dengan ruang dagang online yang ada di aplikasi medsos.
Peran medsos kini telah merangsek hingga ke fungsi-fungsi aplikasi yang sebelumnya hanya disediakan secara terpisah oleh beragam aplikator. Saat ini sudah mulai terjadi pemusatan aktivitas kegiatan daring di medsos yang dapat mengakomodasi interaksi antar-pengguna, menikmati konten hiburan, serta berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Hasil survei dari Boston Consulting Group menunjukkan bahwa komoditas yang paling populer dibeli melalui skema shoppertainment adalah pakaian dan aksesori dengan pangsa pasar hingga 18 persen. Kemudian disusul oleh produk kencantikan dan perawatan tubuh (14 persen) serta produk makanan dan minuman (13 persen) yang termasuk di dalamnya kebutuhan sehari-hari lainnya.
Data tersebut menunjukkan bahwa saat ini audiens konten digital di medsos secara tidak langsung sudah menjadi pangsa pasar produk barang dan jasa. Platform medsos tidak lagi terbatas untuk menyalurkan konten, tetapi juga mempertemukan konsumen dan produsen atau distributor berbagai produk secara lebih personal sekaligus bersifat komunal.
Bersifat personal karena konten digital mampu menembus ruang personal melalui kanal medsos. Sementara itu, bersifat komunal merujuk pada komunitas konsumen yang memiliki kecenderungan mengonsumsi suatu produk yang sama. Dari sini dapat muncul perasaan yang mirip seragam sebagai pengguna produk sejenis, seperti yang secara klasik telah terjadi pada produk unggulan Amerika Serikat, Apple. (LITBANG KOMPAS)