Film ”Sri Asih”, Resep Adaptasi Marvel Universe Versi Indonesia
Sineas Indonesia kembali memproduksi film bergenre superhero dari dalam negeri berjudul ”Sri Asih”. Karakter ini diciptakan oleh RA Kosasih pada awal 1950-an dan dituangkan dalam karya buku komik.
Kehadiran film Sri Asih membawa angin segar bagi film Indonesia bergenre superhero. Langkah Semesta Sinematik Bumilangit meniru skema perfilman Marvel patut diapresiasi. Dengan demikian, muncul harapan yang menjanjikan untuk dapat menggairahkan panggung pahlawan super lokal di layar lebar.
Tokoh Sri Asih dapat dibilang merupakan karakter pahlawan super (superhero) khas Indonesia yang paling tua. Karakter ini diciptakan oleh Raden Ahmad Kosasih atau lebih dikenal dengan nama RA Kosasih. Karakter Sri Asih diciptakan pada awal tahun 1950-an dan dituangkan dalam karya publikasi berwujud buku komik.
Sebagai sebuah film adaptasi, film Sri Asih (2022) mengambil tokoh dan alur cerita yang ada pada cerita komik. Proses adaptasi ini menjadi metode yang lazim dilakukan dalam menciptakan produk budaya populer. Salah satunya seperti menghidupkan lakon dalam komik atau buku-buku cerita lainnya menjadi karya film.
Saat ini, penonton layar lebar di Indonesia sudah terbiasa menyaksikan film-film jagoan super besutan Hollywood seperti dari Marvel dan DC Comics. Namun, untuk film sejenis dari sineas dalam negeri masih terbilang minim.
Semesta Sinematik Bumilangit adalah salah satu produsen yang berupaya menyuguhkan film-film layar lebar bertemakan pahlawan super yang diangkat dari komik-komik Indonesia. Ada sejumlah karya yang sudah diproduksi dan dipasarkan. Selain itu, juga direncanakan akan ada sederet film laga superhero yang akan diproduksi kembali oleh Bumilangit.
Film perdananya, yakni Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot, sudah tayang pada Agustus 2019. Respons audiens pun terbilang cukup menggembirakan. Tercatat 1,7 juta penonton datang ke bioskop untuk menyaksikan aksi Gundala yang diperankan oleh Abimana Aryasatya.
Selanjutnya, film Sri Asih yang tayang perdana pada 17 November 2022 menjadi film kedua dari Semesta Sinematik Bumilangit. Audiens pun antusias menyambut perilisan film ini. Dalam waktu lima hari sejak tayang perdana, sudah lebih dari 300.000 penonton datang ke bioskop untuk menontonnya.
Baca juga: Antusiasme Penonton Film Indonesia Melampaui Penonton Film Hollywood
Dari data terkini yang dirilis oleh laman filmindonesia.or.id, perolehan jumlah penonton film Sri Asih mencapai 507.445 penonton (28/11/2022). Masih terlalu dini untuk dapat melihat respons atau apresiasi penonton secara keseluruhan terhadap film yang diperankan oleh Pevita Pearce sebagai tokoh utamanya itu. Ada kemungkinan film ini mampu mengimbangi Gundala dalam segi jumlah penonton.
Apa pun hasilnya nanti, entah itu akan menandingi jumlah penonton Gundala ataupun tidak, film Sri Asih itu layak mendapat apresiasi. Pasalnya, film bergenre pahlawan super buatan dalam negeri itu masih terbilang sangat minim. Jumlahnya sangat timpang apabila dibandingkan dengan film yang lebih pasaran seperti film horor, film drama roman, dan drama religi.
Proses kreatif
Ada tantangan besar dalam memproduksi film genre superhero karya dalam negeri. Salah satunya harus berhadapan langsung dengan film-film impor bergenre serupa. Tidak dapat dimungkiri bahwa film rilisan Hollywood telah mengakar dan menancapkan hegemoni di benak penonton film pahlawan super di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Dengan demikian, penonton di Indonesia pun mengharapkan kualitas tampilan yang kurang lebih sama dengan film-film karya Hollywood itu.
Sederhananya, untuk dapat menciptakan film yang bisa diterima oleh masyarakat, minimal bisa mendekati kualitas film-film Hollywood yang sering kali menjadi box office di Indonesia. Hal ini wajar terjadi pada industri kreatif dan industri produk budaya populer. Oleh karena itu, sang pencipta karakter Sri Asih pun melakukan serangkaian proses kreatif demi menghasilkan karya yang berkualitas.
Salah satunya dengan menelusuri aspek sejarahnya. Latar belakang penciptaan karakter Sri Asih bermula dalam medium komik. Selanjutnya, berupaya membuat pola produksi film jagoan super yang menerapkan metode serupa, yaitu mengadaptasi cerita dan tokoh komik.
Tulisan Seno Gumira Ajidarma di harian Kompas edisi 29/7/2012 dengan judul ”Raden Ahmad Kosasih (1919-2012): Komik dan Identitas Indonesia” bisa dijadikan salah satu pijakan dalam mengkaji film Sri Asih dari sisi historis. Tulisan Seno berkenaan dengan momen meninggalnya RA Kosasih pada 24 Juli 2012. Dalam artikelnya, Seno menerangkan nilai indentitas keindonesiaan yang tertuang pada karya-karya komik RA Kosasih.
Baca juga: Rembuk Rakyat Bumilangit di Jagat Maya
Proses penciptaan karya oleh seseorang tak akan lepas dari pengaruh referensi yang ia peroleh. Tidak terkecuali RA Kosasih, ia mengenal medium komik dari karya orang luar negeri. RA Kosasih mengenal baris komik (comic strip) ketika bekerja sebagai juru gambar di Instituut voor Plantenziekten atau Balai Penyelidikan Hama dan Penyakit Tanaman (BPHPT) di Kota Bogor. Sekarang organisasi ini menjadi Badan Karantina Pertanian.
Perkenalan RA Kosasih dengan comic strip diawali saat melihat dan mempelajari serial Flash Gordon, Tarzan, serta adaptasi komik Alexandre Dumas pada majalah Star Weekly, Jakarta. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1953 (Kompas, 29/7/2022). Artinya, daya cipta RA Kosasih dipengaruhi oleh produk budaya asing, yaitu komik dari Amerika Serikat. Pada tahapan selanjutnya ia melakukan proses adaptasi secara konten, salah satunya dengan menciptakan karakter komik superhero dengan latar belakang dan identitas lokal Indonesia.
Identitas lokal yang bisa ditemui pada penokohan pahlawan super ialah unsur mistis yang kental. Unsur mistis biasanya menjadi kerangka logis untuk memberikan sumber atau asal kekuatan super masing-masing tokoh. Kemudian, kostum dan ornamen mengacu pada motif-motif lokal, seperti batik salah satunya.
Meski demikian, acuan model bentuk penyajian (bentuk komik dan corak gambar) serta alur cerita kepahlawanan berkiblat pada komik-komik Barat. Standardisasi yang terjadi pada produk budaya populer lazim dilakukan. Pasalnya, produk yang diadaptasi sudah terbukti kepopulerannya sehingga mewujud menjadi produk budaya populer dan dapat diterima oleh masyarakat luas.
Adaptasi dan inovasi
Salah satu tujuan menciptakan produk budaya populer adalah meraih keuntungan dalam pemasaran. Produk yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi keinginan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, demi menciptakan permintaan yang tinggi, ada sejumlah proses adaptasi dan inovasi dalam menghidupkan komik Sri Asih menjadi sebuah film. Film superhero karya Hollywood dari semesta Marvel dan DC Comics menjadi salah satu acuan para sineas dalam merancang kreativitas film pahlawan super di Indonesia.
Hal tersebut terlihat dari upaya Upi Avianto sebagai sutradara film Sri Asih serta Joko Anwar sebagai penulis naskah sekaligus produser eksekutif di jagat sinema Bumilangit. Komponen ramuan film superhero dari aspek visual seperti CGI (computer generated image), keterjalinan cerita antartokoh dengan film lain dalam Bumilangit universe, serta adanya plot twist, dan juga potongan misteri terkait film selanjutnya yang disisipkan pada bagian credit tittle. Semua ini bercorak khas Marvel.
Hal itu baik dilakukan karena memang sesuai dengan selera penonton film pahlawan super saat ini. Meskipun demikian, orisinalitas tetap disajikan dalam alur cerita, penokohan tiap-tiap karakter, serta penampilan ritual kebudayaan yang khas Indonesia. Dalam hal ini, baik RA Kosasih yang mengadaptasi bentuk medium komik maupun para sineas yang terlibat dalam produksi film Sri Asih sama-sama melakukan proses adaptasi dengan medium serta selera audiens sesuai zamannya.
Film Sri Asih merupakan film kedua dari sederet film yang bernaung di bawah payung Jagat Pusaka yang sudah direncanakan oleh Bumilangit. Diawali oleh Gundala (2019) dan disusul oleh Sri Asih pada tahun ini. Pada tahun 2023 direncanakan akan ditayangkan film Patriot Taruna: Virgo and the Sparklings. Film ini mengangkat tokoh sempalan (spinoff) dari tokoh Virgo yang ada di dalam komik Kapten Halilintar ciptaan komikus Jan Mintaraga pada tahun 1973.
Baca juga: Sri Asih, Kekuatan Pahlawan Super Lokal
Ada sederet film selanjutnya yang belum diumumkan oleh Bumilangit terkait produksi dan penayangannya. Di antaranya adalah Godam & Tira, Si Buta dari Gua Hantu: Mata Malaikat, Gundala: Putra Petir, Mandala: Golok Setan, serta Patriot. Total terdapat delapan film yang ada pada bundle yang disebut sebagai Semesta Sinematik Bumilangit Jilid I.
Model perencanaan produksi film seperti itu baru pertama kali dilakukan oleh sineas di Indonesia. Dapat dikatakan langkah yang dilakukan Bumilangit merupakan sebuah inovasi yang menjanjikan.
Upi Avianto selaku sutradara Sri Asih dalam video bertajuk di balik layar menyampaikan bahwa dirinya melakukan riset terhadap selera dan ekspektasi penonton film pahlawan super di Indonesia. Dengan kondisi pasar film superhero yang didominasi oleh Hollywood, tentu acuannya tidak jauh-jauh dari basis fan yang sudah ada.
Sebagai pihak yang memproduksi film, memperhatikan selera penonton adalah wujud dari dedikasi dalam upaya memuaskan penonton. Harapannya, film pahlawan super lokal mulai mendapat perhatian dan diminati oleh audiens film di Indonesia. Semoga Sri Asih dan film-film jagoan super lokal selanjutnya bisa memenuhi harapan penonton sekaligus memberi kepuasan bagi para penikmat film. (LITBANG KOMPAS)