Survei Litbang “Kompas”: Besarkah Faktor Jokowi pada Pemilih Mula?
Di mata sebagian pemilih mula, Presiden Joko Widodo tidak hanya sebatas kepala negara atau pemerintahan, namun menjadi sosok referensi dalam pilihan politik.
Oleh
Bestian Nainggolan
·4 menit baca
Sejatinya, masa jabatan kepemimpinan Presiden Joko Widodo berakhir di tahun 2024 mendatang. Sebagai sosok politik, ia tidak lagi punya kesempatan untuk memperpanjang masa jabatan kepresidenannya. Dua periode masa jabatan kepresiden yang berhasil ia raih sebelumnya, otomatis membatasi karir kepemimpinannya.
Akan tetapi, adanya batasan masa jabatan kepresidenan tidak berarti pula menguapkan kekuatan pengaruh politik yang ia miliki. Dalam arti, sosok bisa saja berganti, namun pengaruh dapat berlanjut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pemandangan inilah yang tampak dalam wacana perpolitikan yang semakin dinamis belakangan ini. Di balik keriuhan upaya pencalonan tokoh-tokoh politik yang dirasakan layak menjadi calon presiden Pemilu 2024 mendatang, Presiden Jokowi berkali-kali turut berkomentar, seraya mengukuhkan pengaruh politiknya.
Dalam sambutannya saat Rakernas V Projo di Borobudur Magelang (21/5/2022) misalnya, ia sempat melontarkan pernyataan yang selanjutnya menjadi wacana politik berkepanjangan. Semua barkaitan dengan munculnya nama Ganjar Pranowo sebagai calon presiden pilihan barisan pendukung Jokowi itu. “Ojo kesusu sik. Jangan tergesa-gesa,” ujar Jokowi.
Namun belakangan ini, pandangan Jokowi terhadap dinamika politik pencalonan presiden justru menjadi semakin intens. Terbaru, dalam pidatonya di hari ulang tahun Partai Perindo, di Jakarta (7/11/20220), saat Jokowi berpesan kepada Hary Tanoesoedibjo dan Perindo agar selektif dan tidak sembrono memilih capres-cawapres Pilpres 2024. Namun, ia juga mengingatkan agar deklarasi capres-cawapres juga tidak terlambat, agar bisa memberikan pelajaran politik yang baik pada masyarakat.
Masih pada momen yang sama, mengutip paparan Hary Tanoesoedibjo, keberhasilannya memenangkan berbagai pertarungan pemilu, mulai dari Pilkada Solo, DKI Jakarta, hingga akhirnya dua kali Pilpres mengalahkan pesaingnya, Prabowo Soebianto. "Mohon maaf Pak Prabowo. Kelihatannya setelah ini jatahnya Pak Prabowo," ungkap Jokowi yang sontak disambut gemuruh dan tepuk tangan peserta yang hadir.
Dalam politik, apa yang disampaikan Jokowi sebagaimana yang dikutip berbagai media massa itu dapat dibaca sebagai pesan politik yang dapat diinterpretasikan dengan beragam pemaknaan. Namun terlepas dari itu semua, Jokowi tampaknya berupaya dan sekaligus berhasil menunjukkan pengaruh politik yang ia miliki.
Menjadi persoalan, apakah di mata masyarakat pengaruh Jokowi masih tampak sedemikian besar? Lebih khusus lagi, bagi kalangan pemilih mula, mereka yang baru pertama kalinya akan menggunakan hak pilih dalam Pemilu 2024 mendatang, apakah sosok Jokowi menjadi referensi politik mereka?
Becermin pada hasil survei opini publik yang dilakukan Litbang Kompas, kaum pemula dalam kontestasi politik ini masih memandang tinggi sosok Jokowi. Hal demikian tampak tidak hanya dari sisi penilaian terhadap keberhasilan Jokowi akan perannya sebagai kepala negara ataupun pemimpin kabinet pemerintahan, namun juga dalam kapasitas pengaruh politik yang ia miliki.
Menariknya, hasil survei ini juga menunjukkan, bahwa segenap apresiasi keberhasilan dan kapasitas pengaruh politik Jokowi bagi kalangan pemilih mula agak berbeda dengan yang dinyatakan oleh kalangan yang lebih tua, ataupun berpengalaman dalam politik. Kendatipun, para pemilih mula ini sebelumnya bukan para pendukung ataupun simpatisan politik Jokowi, namun derajat penilaian mereka relatif tergolong lebih tinggi.
Terkait dengan penilaian terhadap kinerja pemerintahan, misalnya, kalangan proporsi pemilih mula yang menyatakan rasa “puas” terhadap Jokowi, lebih besar dibandingkan dengan para pemilih berpengalaman. Tidak kurang dari 71,9 persen dari para pemilih mula yang memberikan apresiasi.
Sisanya, 28,1 persen menyatakan “tidak puas” terhadap segenap kinerja pemerintahan. Jika dibandingkan dengan kalangan pemilih berpengalaman, perbedaannya relatif signifikan. Pada kelompok ini, sekitar 60,9 persen responden saja yang merasa “puas” dan sebaliknya, 39,1 persen merasa “tidak puas”.
Apresiasi kalangan pemilih muda kepada Jokowi yang tampak tinggi ini sejalan dengan baiknya citra Jokowi di mata mereka. Hasil survei menunjukkan, hanya 19,4 persen yang menyatakan “buruk” dan “buruk sekali”. Sebaliknya, lebih dari tiga perempat bagian pemilih mula menyatakan “baik” dan “baik sekali”.
Sisi positif kinerja kepemimpinan Jokowi yang terbentuk pada sebagian kalangan pemilih mula, pada kesempatan yang sama sedikit banyak turut memengaruhi segenap orientasi politik yang mereka tunjukkan. Paling kongkret, persoalan demikian tergambarkan dalam proses penentuan sosok calon presiden idaman mereka. Dalam hal ini, faktor Jokowi sedikit banyak menjadi referensi kalangan pemilih mula dalam menentukan sosok calon presiden pilihan mereka.
Berdasarkan hasil survei, tampak jika kalangan pemilih mula menjadikan Jokowi sebagai referensi politik. Tidak kurang dari 55,1 persen responden pemilih mula yang menyatakan akan mempertimbangkan ataupun memikirkan calon presiden yang dirujuk Jokowi sebagai calon presiden.
Dari sejumlah tersebut, terpilah menjadi dua bagian, yaitu mereka yang mengkuti sepenuhnya referensi calon presiden Jokowi (17,1 persen) dan terdapat pula 38 persen para pemilih mula yang sebatas mempertimbangkan ataupun memikirkan apa yang menjadi referensi Jokowi.
Pada sisi yang lain, terdapat pula kalangan pemilih mula yang sama sekali tidak terpengaruh oleh referensi kekuatan politik Jokowi. Dalam survei ini setidaknya terdapat 29, 4 persen yang mengaku tidak akan menggunakan Jokowi sebagai referensi dirinya dalam memilih tokoh calon presiden.
Dibandingkan dengan para pemilih berpengalaman, proporsi pemilih mula yang menjadikan Jokowi sebagai referensi politik mereka relatif lebih tinggi. Sebagai gambaran, dalam memilih sosok calon presiden, tidak kurang sekitar 14,8 persen saja. Begitu pula, mereka yang tidak akan mempertimbangkan referensi Jokowi relatif agak lebih besar, menjadi 30,2 persen.
Adanya perbedaan yang ditunjukkan oleh kedua kelompok pemilih menunjukkan jika pamor politik Jokowi lebih banyak mendapat tempat pada kalangan pemilih mula. Padahal dari sisi politik, kelompok mula ini sama sekali tidak berkait dengan kemunculan ataupun kemenangan Jokowi sebagai presiden di masa lalu.
Menjadi pertanyaan yang selanjutnya menarik dikaji, faktor apa yang menjadi pendorong kalangan pemula politik ini untuk menyandarkan preferensi politiknya pada preferensi Jokowi? (LITBANG KOMPAS)